KiWi [4]

175 18 0
                                    

Sudah seharian aku di rumah Bunda, tidak menjawab telepon maupun pesan dari Wira. Aku enggan pulang, sekalipun Bunda yang menyuruhnya. Berkali-kali aku menyakinkan bahwa tindakan yang kuambil benar.

Alasan tidak mencintai Wira lagi bukan hal yang lumrah untuk bercerai, apalagi usia pernikahan kami baru seumur jagung. Maka dari itu aku memutuskan untuk tinggal sementara waktu selama hati belum stabil, dan memilih banyak diam.

"Wira yang salah, Bunda. Jadi wajar aja Kiran pergi dari rumah."

Berbalik arah aku menahan diri untuk tetap di dalam kamar, tepatnya di balik pintu. Wira. Berani sekali lelaki itu datang menyusul setelah mengabaikanku delapan jam lebih. Sungguh! Tidak tahu malu. Membuat hatiku jenuh dan semakin malas bertemu dengannya.

"Seharusnya kamu tahan, Nak. Kiran itu anaknya masih sangat labil, jadi kamu harus perbanyak sabar. Jangan lupa memahami perasaannya untuk bersikap lebih mengalah, dan lembut."

"Ya, Bunda, maaf baru datang. Wira ada kegiatan penting tadi pagi sehingga harus menyelesaikannya, maka dari itu baru bisa jemput Kiran sekarang."

"Lain kali kalau ada apa-apa utamakan lebih dulu menjemput Kiran ya, Nak."

Buru-buru aku menuju tempat tidur saat mendengar suara langkah yang mendekat, disusul dengan pintu terbuka. Menarik selimut ke atas, kututup wajah dengan perasaan jengkel. Bagaimana bisa Bunda mengajak Wira masuk? Seharusnya wanita itu menyuruhnya pulang saja.

"Yaudah, Bunda tinggal dulu." Pamit Bunda, dan hatiku pun memberontak.

Beranjak dari ranjang aku langsung protes, menatap keduanya galak. "Bunda apaan sih?! Pake ngajak dia masuk segala!"

"Loh, Kak. Wira kan suami kamu."

"Suami apaan yang ngebiarin istrinya ngambek seharian?!"

"Aku kan udah coba hubungi kamu, Ki." Wira membela diri, mengambil ponsel kemudian mengarahkannya padaku. "Nih, liat. Aku berkali-kali nelpon kamu tapi nggak diangkat."

Aku langsung membuang muka, dan mencibir Wira.

Ingin sekali rasanya aku meraup wajah polos Wira, lalu menjambak rambut ikalnya. Semenjak menikah entah kenapa darah tinggiku selalu naik, dan hendak menerkam saja. Masih dengan tatapan yang galak, aku mulai mengomel menyalahkan Wira tanpa titik koma.

"Aku mau pulang tapi ada syaratnya yang wajib kamu patuhi untuk kebaikanku, tanpa penolakan dan kamu harus menerima seluruh kekuranganku baik sekarang maupun sampai ..."

"Ops, oke, Bunda tinggal dulu." Wanita itu mengangkat tangan seakan menyerah dengan drama di depannya, dan segera mengucur pergi.

Memunggungi Wira semampunya aku bertahan, mencegah air mata yang seperti hendak menyerbu. Kehadiran Wira kembali tidak membuatku bahagia, bahkan malah mengingatkan betapa sulitnya aku bangkit dari rasa sakit. Menumbuhkan rasa benci yang baru saja aku sadari setelah menikah.

"Kiran, aku harus apa?"

"Membuat masalah padaku lalu kita bercerai." Aku menjerit tanpa hati.

"Aku nggak mau, Ki. Perceraian itu sesuatu yang sangat Allah benci sekalipun diperbolehkan," katanya.

Mengusap ujung hidung, aku menoleh berat menatap wajah Wira yang sendu. "Kamu tau? Aku benci kamu setelah itu, kamu pergi dan menyakiti hatiku, Wira!"

"Demi Allah, jiwaku memang pergi, tapi hati dan pikiranku selalu ada buat kamu, Ki. Seharusnya kamu tau kalau belajar di Pondok nggak boleh main ponsel, apalagi berkabar dengan seorang wanita. Sekarang aku udah kembali dengan cinta yang sama, bahkan mengasihi dalam ikatan yang halal."

Napasku naik turun dipacu desiran darah yang cepat, terlalu naif jika aku mencoba untuk tidak peduli. Mataku terkatup saat Wira memelukku erat menyampaikan rasa cinta yang tulus, tetapi percuma aku sudah terlanjur sakit hati.

***

Mengambil salah satu kitab milik Wira yang tergeletak, aku membuka halaman pertamanya dan mulai membaca. Tarbiyatul Aulad. Dahiku mengernyit, lalu menatap Wira yang baru datang dari arah dapur. Lelaki itu membawa dua cangkir teh, beserta toples cemilan yang berisi kacang.

"Di Pondok belajar tentang ini?" Aku bertanya bingung, Wira mengangguk.

"Semua ilmu yang bermanfaat pasti diajarkan di Pondok."

Membuka lembaran berikutnya aku semakin larut ke dalam pembahasan, memahami serta mengagumi tulisan yang begitu apik. Setiap kata mengandung makna yang mudah dimengerti. Kerap kali hatiku terenyuh, melihat betapa sempurnanya Islam memberikan ilmu mulai sejak dini kepada orang tua untuk melahirkan generasi terbaik. Shalih dan shalihah.

"Bagus ini, aku pinjam yaa!"

Wira mengangguk, tangannya memberi satu buku lagi yang baru saja dia ambil. "Baca juga yang ini, Ki, semuanya ilmu."

Bidadari yang dirindu Surga dan Wanita yang diancam Neraka.

Aku menatap Wira tajam, tetapi tidak menolak juga.

Membawa keduanya sekaligus aku meninggalkan Wira yang masih betah di depan. Setiap malam Wira memang mengulang pelajarannya saat di Pondok, pemandangan itu selalu menemaniku semenjak kami tinggal serumah.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan malam ini, hanya saja aku duduk di dekatnya sambil mencari tahu kitab apa saja yang sedang dia pelajari.

"Tehnya ketinggalan, Ki." Wira berkata.

"Minum aja, aku nggak haus," balasku.

Sesampainya di kamar aku menaruh kitab Tarbiyatul Aulad, sungguh penasaran dengan kitab yang Wira rekomendasikan. Membaca judul dan melihat sampulnya saja sudah membuatku tersindir, tetapi alangkah baiknya aku membacanya terlebih dulu.

Halaman demi halaman kubuka dengan cepat, menelan bulat-bulat nasehat yang aku temukan di dalamnya. Setiap kali aku mendapati keindahan dan kenikmatan Surga, maka aku akan tersenyum. Namun, ketika sampai pada ancaman azab yang tertulis bulu kudukku pun langsung meremang.

Ada 3 wanita yang tidak akan masuk Surga:

1. Mengkufuri kebaikan suami

2. Durhaka kepada suami

3. Istri yang meminta cerai

"Belum tidur?" Sebuah suara mengagetkanku.

Dengan tangan gemetar aku menoleh, tidak sanggup lagi menghapus air mata yang bercucuran. "Wi ..."

"Loh, Kiran. Kenapa kamu nangis?"

Lelaki itu berlari menghampiri, lantas menjangkau tubuhku yang terguncang hebat. Kedua matanya membulat penuh tanya, ketika Wira mendekapku deru napasnya pun terdengar kencang pertanda cemas. Dengan begitu tangisku spontan pecah, tidak peduli atas kemarahanku tadi pagi. Sekarang yang jelas dada ini terasa sesak sekali.

"Maafin aku Wi, maafin aku!"

Wira melepas pelukannya, lalu menatapku lembut. "Kiran, kamu kenapa? Kamu nggak ada salah kok."

"Ketiganya ada di aku semua, Wira aku takut."

Kedua tanganku meremas ujung kaus yang Wira kenakan, merengek sesuatu yang mungkin sulit dimengerti olehnya. Menutup wajah air mataku terus mengalir seakan tidak bisa berhenti, terlalu takut membayangkan azab neraka yang mengerikan.

"Kiran ..." Perlahan Wira menarik kedua tanganku yang menutupi wajah. Dia tersenyum hangat, lalu berkata lirih, "Udah aku maafin."

"Beneran?" tanyaku bergetar.

"Ya, aku mencintaimu, jadi apapun kesalahan yang kamu perbuat akan aku maafin dengan hati yang ridho."

"Wira, aku sungguh malu ..."

"Jadilah istri yang shalihah."

Ya Allah, jantungku berdebar.

Entah perasaan apa ini? Yang jelas aku bahagia.

Wira menepuk punggungku, sesekali membelainya lembut, menenangkan hati yang sempat gelabah. Tidak ada yang salah dari Wira, aku hanya terlalu mengenang rasa sakit, takut untuk meninggalkan masa lajang dan memulai pernikahan.

Bersambung ...

Mantan Pacar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang