"Randu, kamu apa-apaan sih?"
"Akhirnya aku ketemu kamu, sini deh ada yang mau aku bicarain."
"Randu, lepasin." Menarik tanganku yang digenggam olehnya, aku melotot. "Kamu nggak waras ya!"
Napasku naik turun marah, menatap Randu dengan tajam. Sikapnya yang sudah berlebihan dan tidak tahu malu membuatku benar-benar muak. Tidak pernah aku berpikir sebelumnya Randu akan semaniak ini? Terlebih lagi aku sudah memperingatinya, agar dia bisa memberi pengertian bahwa kami tidak bisa seperti dulu. Namun, sepertinya perjuanganku kemarin hanya berakhir sia-sia, Randu tidak pernah mengerti dan selalu menjadi sumber masalah.
"Ki, kamu kenapa sih?!" Randu balas membentak, aku sampai terlonjak.
"Aneh ya kamu."
"Kamu yang aneh, Ki. Aku berusaha menghubungi kamu selama tiga hari ini, tapi ponsel kamu mati. Kemana aja coba? Aku nunggu kabar dari kamu, Ki, aku benar-benar nggak bisa."
"Stres." Tanpa mendengarkan perkataannya lebih lanjut aku pun berlalu.
Ternyata melabrak Randu sama sekali tidak ada untungnya padaku, lelaki itu seolah-oleh tidak merasa bersalah. Kepalaku rasanya ingin meledak, pusing memikirkan masalah yang terus aku dan Wira hadapi. Semua memang salahku, jika aku tidak bergantung dan memanfaatkan Randu demi sepak bola, semua tidak akan terjadi sekacau ini.
Menumpukan kedua tangan pada wajah, aku seperti orang kebingungan yang menanggung banyak beban. Hari-hari yang kujalani menjadi berat, tidak tenang, dan aku selalu merasa canggung untuk berhadapan dengan Wira. Tentunya setelah kejadian Randu menelepon. Aku jadi serba salah.
"Hei, Kiran." Sebuah suara menyapa.
Aku mengangkat kepala, dan tersenyum tipis. "Iya, Nada."
Gadis manis itu menarik kursi yang ada di belakang, lalu mendudukinya tepat menghadapku. Dia pun berkata, "kamu pasti nggak enak ya digangguin terus."
Eh? Sebelah alisku terangkat, seakan meminta penjelasan yang lebih akurat.
"Randu." Dia menangguhkannya.
Aku diam saja, enggan menjawab. Setiap waktu Wira selalu menasehatiku, kali ini nasehatnya pasal menjaga aib terngiang, dan aku tidak ingin mengumbarnya.
"Gini deh, Ki. Aku mau kasi tips sama kamu supaya Randu berhenti ganggu."
"Apa?" Aku mulai tertarik.
Selama Nada berbicara, menjelaskan hal yang dianggapnya adalah tips, aku terus mendengarkan tanpa memotong. Sesekali aku mengangguk, terkadang mengernyit, dan kerap kali terhenyak. Apa tipsnya akan jitu? Jujur saja, aku tidak ingin mengambil resiko, tetapi mengingat ketidaknyamanan yang kami hadapi membuatku cukup tertarik.
"Selamat pagi." Dosen masuk dan menyapa. Buru-buru Nada kembali ke tempatnya.
"Pagiii." Kami menjawab serempak.
"Baik, kali ini kita akan belajar sistem." Lelaki setengah baya itu menulis sesuatu di papan tulis.
Kepalaku cenat cenut, memikirkan seluruh perkataan Nada yang secara perlahan mempengaruhi. Keinginan yang kuat untuk mendepak Randu dari hidupku, sehingga tidak perlu berpikir dua kali. Sepertinya aku akan mengikuti saran Nada, membuat semuanya berjalan apa adanya setelah misi berhasil.
"Pak Toni." Aku mengangkat tangan. "Saya izin ke toilet, Pak."
Lelaki itu hanya mengangguk tanpa menghentikan penjelasannya. Tidak membuang kesempatan aku langsung pergi mencari Randu, mengajaknya kencan untuk pertama kali dan terakhir. Wira tidak akan mencariku selama masih jam kuliah, dan aku berharap Randu bersedia dengan kesepakatan kali ini. Konsekuensinya memang cukup berat, tetapi aku tidak memiliki pilihan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
SpiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...