Wira baru saja berangkat kerja. Sosoknya yang santun dan penyabar membuat dia terpilih oleh pemilik Yayasan Darussalam menjadi pengajar tetap. Tidak lupa Wira meninggalkan pesan yang sama, dan uang belanja. Sebenarnya aku ingin sekali menjenguk ayah, mengurusnya sampai sore mumpung hari ini libur kuliah, tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk berbicara. Terkadang aku juga sadar akan statusku yang sekarang, sehingga aku tidak boleh gegabah dalam menunaikan keinginan. Selain demi kepuasan sendiri, aku juga harus menghargai sosok suami.
Sambil mematut diri di cermin aku berpikir hendak memasak apa, karena sejatinya Wira selalu senang memakan segala macam makanan. Dia pernah bilang padaku sesungguhnya nikmat yang Allah berikan sudah lebih dari cukup, dan kita hanya perlu bersyukur. Terkadang aku merasa malu, karena sering mengeluh soal makanan tidak enak, padahal banyak yang kelaparan bahkan sampai tidak makan.
"Mang sayurrr!" Dari teras rumah aku berteriak saat melihat tukang sayur.
Melambaikan tangan, aku juga melebarkan selembar kertas yang berisi catatan belanjaan. Tadi aku menulisnya untuk memudahkan proses jual beli kami, mengakalinya dengan aku tetap di rumah dan tidak keluar.
"Iya Neng." Penjual itu pun berlari menghampiri. Sepertinya dia paham.
"Beli yang ada di catatan ya Mang." Aku menyerahkan kertas padanya, si Mamang mengangguk-angguk.
"Siaap 45, saya izin mangkal di depan ya Neng." Tentu saja aku membolehkannya.
Dari teras aku terus memerhatikan dan menunggu belanjaanku datang. Banyak ibu-ibu yang berbelanja, sehingga penjualnya luput dari pengeliatanku. Kendati demikian aku masih mendengar samar-samar pembicaraan mereka yang ternyata menyindirku. Hatiku pun bergejolak disertai bola mata yang ikut memanas, sungguh merasa tidak nyaman menjadi bahan gosip dan pusat perhatian. Ingin sekali aku masuk ke dalam, tetapi rasanya tidak mungkin aku mengorbankan belanjaan yang sudah Wira amanahkan.
"Sok cantik banget ya Buk."
"Ho'oh. Kalau tadi anak Sultan sih aku maklum. Ini tampangnya aja begitu."
"Berasa Tuan Putri kali, sampai nggak level belanja di depan rumah."
"Keliatannya agamis, tapi tatapannya najis."
"Hussh, buk ibuk nggak boleh gitu. Ingat dosa! Si Neng kan diem aja nggak ada salah sama situ kan."
Bibirku bergetar, tidak sanggup lagi mendengarnya, tetapi semampunya aku menahan diri supaya tidak menangis. Saat Mang sayur datang, lelaki setengah baya itu hanya menatap iba. Aku langsung membayar tagihannya, dan membawa masuk belanjaanku ke dalam. Bersandar pada lemari aku menangis sesenggukan, menumpahkan rasa sakit di dada yang sejak tadi aku tahan. Mengikuti keinginan Wira ternyata hanya mempermalukanku saja, pikirannya yang kuno selalu membuat masalah di dalam hidupku.
"Ki, Kiran ..." Dalam bawah sadarku Wira memanggil, lelaki itu membelai sampai menepuk-nepuk pelan pipiku.
Astaghfirullah! Aku tergeragap saat membuka mata sudah ada Wira di depanku. Tidak aku bayangkan akan ketiduran sehabis menangis. Ini sudah siang dan aku belum memasak. Dengan sempoyongan aku pun bangkit, meraih sekantong belanjaan yang terdampar buru-buru aku ke dapur. Kalang kabut.
"Kok kamu bisa ketiduran Ki?" Wira mengikutiku di belakang, tetapi aku diam saja enggan menjawab.
"Kamu udah sholat dzuhur?" tanyanya, seketika gerakanku terhenti. Tersadar.
"Belum," jawabku bingung hendak melakukan apa dulu.
"Iyaudah kamu sholat dulu, biar aku aja yang masak."
"Tapi ..." ucapanku terhenti saat Wira mengambil alih belanjaan dari tanganku.
Satu sisi aku merasa beruntung menjadi istri Wira, tetapi di lain sisi aku juga keberatan dan terkekang berada di sampingnya. Untuk masalah seperti ini Wira memang banyak mengalah. Namun, jika untuk kesenanganku dia selalu ikut campur dan melarang dengan dalil-dalil yang dikuasainya.
***
Seusai salat isya, seperti biasa Wira duduk di depan dengan Kitab yang hendak dipelajarinya. Terkadang aku heran, begitu banyak kegiatan yang bisa dilakukan olehnya, tetapi dia malah mengulang mempelajari Kitab yang bentuknya sudah buluk. Membaca dua Kitab saja rasanya aku sudah jenuh, dan enggan meminjamnya lagi.
"Mau minjam lagi?"
Sontak aku menggeleng.
"Terus, mau apa dong?" tanyanya dengan nada menggoda, aku hanya mengendik.
"Jus jeruk mau?" Dia menawariku.
Untuk seperkian detik aku mendelik bahagia, mengangguk-angguk, tetapi aku teringat pada malam itu. "Kamu yaa, ngeledek aja."
"Ya, maksudnya besok aku beliin. Kalau malam tetep aku ngelarang kamu minum es." Wira tertawa pelan.
Mengerucutkan bibir aku mengomel dalam hati, memarahi Wira dengan bahasa gaul yang tidak boleh didengar olehnya. Balik badan kupikir aku ingin masuk ke kamar saja, bermain sosmed mungkin lebih menyenangkan daripada memerhatikan Wira membaca buku yang setebal Kamus.
"Mau kemana sih, Ki?" Wira menarik badanku untuk berbalik lagi, tangannya menahan pergelanganku. "Dulu aja waktu masih pacaran maunya deket aku terus, kok sekarang udah nikah malah jauh-jauhan."
Aku kaget mendengarnya, ekspetasiku terlalu jauh sehingga tidak berpikir Wira akan mengingat masa-masa kami berpacaran. Ternyata dia selucu itu.
"Terus kamu maunya apa?"
"Kamu nawari aku?"
"Nggg ..."
"Iyaudah, duduk disini aja kita ngobrol kayak pacaran dulu."
Wira menutup Kitabnya, lalu menepuk bagian kosong di sampingnya, meminta aku lekas duduk. Dengan perasaan campur aduk akhirnya aku mengikuti kata Wira, mungkin hanya menganggapnya sebagai pacar aku bisa bersikap baik. Mengobrol dan membahas segalanya dengan hati yang bahagia. Terkadang aku tertawa menikmati candaan yang Wira berikan, dengan menjadi diri sendiri bukan orang lain. Akhirnya kami bisa akur.
"Oiya, Wi, aku pengen cerita."
"Udah cerita dari tadi kali Ki."
"Wira ... Aku serius." Nadaku sedikit keras, Wira melipat tangannya di dada.
"Oke, silakan cerita sayangnya Wira."
Kedua pipiku memanas, tersipu malu. Jika Wira seperti ini terus, aku pastikan bisa jatuh cinta yang kedua kali. Namun, buru-buru aku menampiknya, kembali mengingat kejadian pagi ini yang membuatku trauma untuk berinteraksi dengan tetangga. Tanpa ragu aku menceritakan seluruhnya kepada Wira, berharap mendapatkan pembelaan serta solusi terbaik.
"Terus kamu nangis dan ketiduran?"
Mengangguk, lalu aku menunduk.
"Ki, coba dengerin dan liat mata aku."
Meski agak berat, dengan jantung berdebar aku mengangkat kepala, dan menatap kedua bola mata Wira yang penuh cinta. Aku masuk ke dalamnya, meleleh seperti cokelat yang dipanaskan.
"Jangan pikirkan apapun, apalagi omongan orang-orang yang cuma bisa bikin sakit hati. Sekarang, Kiran udah menjadi istri shalihah di mata Wira dan tentunya di mata Allah. Kiran taat pada perintah Rabb Semesta Alam dan patuh dengan perintah yang suaminya berikan. Lalu, apa yang harus dirisaukan lagi?"
"Tapi Wi, gimana kalau mereka terus ngebicarain aku yang jelek-jelek?"
"Berlepas diri dari orang-orang yang berbicara jelek tentang kita, dan urusan mereka kita kembalikan pada Allah. Kiran jangan risau, jangan minder, apalagi takut. Kita hanya boleh takut kepada Allah Ta'ala bukan orang lain." Wira memberiku nasehat.
Setiap kalimat yang Wira sampaikan mampu menyejukkan hatiku. Tidak banyak berkomentar aku mengangguk paham. Memang seharusnya aku bersikap bodo amat, tutup mata, tutup telinga, aku saja yang terlalu kebawa perasaan. Cukup menjadi istri yang baik, tanpa memedulikan penilaian orang-orang yang menganggapku aneh.
Sekarang, tugasku hanya memperbaiki diri, baik di hadapan Allah maupun Wira. Menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
SpiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...