Hampir seharian aku tidak ada makan, bahkan tidak merasa lapar sama sekali, akibat sibuk menghadapi segala sidang dan pertanyaan yang diajukan oleh beberapa wartawan, polisi, bahkan awak media. Aku tidak menyangka beritanya menyebar begitu cepat, orang-orang berdatangan silih berganti meminta penjelasan. Meski awalnya aku sangat malu, cemas dan ketakutan, semua aku tanggung dengan kepala dingin. Randu sudah dibawa ke kantor Polsek dan menjalani hukuman, tetapi entah kenapa aku masih belum lega.
"Ki, aku benar-benar minta maaf." Nada menghampiri dan duduk di sebelahku. Wajahnya sangat menyesal, menatapku penuh rasa bersalah. "Aku nggak berpikir Randu akan melakukan itu."
"Iya, semuanya udah aku maafin."
"Kiran ..." Gadis manis itu memelukku, bahkan Nada sampai menangis.
"Ini juga salahku, Nad." Tersenyum tipis, aku mencoba memahami keadaan dan tidak menyalahkan siapapun.
Tiba-tiba Nada bangkit, kemudian menyingkir dengan cepat. Penasaran, aku menoleh ke belakang menemukan kedua orang tua Randu bersama Ayah dan Bunda, tentunya juga ada Wira. Seluruh masalah sudah diselesaikan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan permusuhan, apalagi aku dan keluarga Randu juga sudah saling mengenal satu sama lain. Di luar dugaanku ibunya Randu datang mendekat, dan mendekapku sangat erat. Beliau merasa sangat malu, bahkan menyayangkan perbuatan kotor anak semata wayangnya itu.
"Maafin Randu dan Ibu ya, Ki," katanya sambil sesenggukan, aku hanya mengangguk lemah, ikut sedih melihatnya menangis. "Ibu udah gagal mendidik Randu."
"Ibuu, jangan ngomong gitu. Kiran percaya Randu anak yang baik, dia hanya nggak bisa menerima kalau Kiran udah nikah. Jadi Randu nekat melakukan sesuatu yang seharusnya nggak bisa dia ambil sesuka hati."
"Impian dan harapan Ibu udah sirna, Ki. Seharusnya hidup Randu udah senang sekarang, karena sebentar lagi dia akan teken kontrak menjadi pemain bola Nasional. Akibat kesalahannya semua orang yang berpengaruh membesarkan namanya, kini buang badan, dan malah ikut menjatuhkan tanpa memberi sedikit ruang untuk berbenah."
Tidak menjawab lagi, aku diam saja. Entah apa yang harus aku ekspresikan sekarang? Melihat ibunya bersedih membuatku sungkan berbahagia. Kupikir itu adalah salah satu hukuman yang tepat untuk menebus apa yang telah dia lakukan padaku.
Cita-citanya untuk menjadi pemain bola Nasional kandas.
"Sebenarnya Ibu malu banget sama keluarga kamu, Ki, terutama sama suamimu." Wanita itu melihat ke arah Wira, aku mengangguk paham.
"Semua udah ketentuannya, Bu. Kiran dan keluarga insya Allah udah memaafkan." Dengan senyuman yang sulit dibentuk aku berkata, berusaha menenangkan ibunya Randu yang terus merasa bersalah.
"Alhamdulillah, semoga persaudaraan kita nggak retak." Dia berkata lagi, lalu mengecup kedua pipiku. "Ibu dan Bapak pulang dulu ya, makasih banyak atas perdamaiannya."
Wanita itu beralih menghampiri Bunda, melakukan hal yang sama terhadapnya, berpelukan dan meminta maaf. Membiarkan keduanya saling bersinergi, aku menoleh ke arah Wira yang masih dingin dan seperti orang asing. Selain mogok makan seharian aku juga tidak mengobrol dengan Wira barang sepatah kata pun, kami memang berada di tempat yang sama, tetapi saling berdiaman bagaikan asing.
"Kamu ikut pulang atau mau nginap di rumah Bunda?" tanyanya saat Bunda dan Ayah mengurus kepulangan kami, sekaligus berpamitan pada pihak kepolisian.
"Ikut pulang," jawabku singkat, meski agak ragu akhirnya aku memutuskan.
"Kupikir mau nginap di sana terus."
Oh ... Aku meremas kedua ujung gamis yang kukenakan, menahan segala perasaan yang merongrong di dada. Sikap Wira yang cenderung beda membuatku bertanya-tanya apakah dia masih mencintai Kiran? Mencoba tersenyum setidaknya aku harus tampak lega hari ini, meski rasanya belum sempurna, aku hanya tidak ingin menambah beban Ayah dan Bunda. Sudah cukup melihat keduanya terluka, menanggung malu, dan berjuang demi anak yang meresahkan sepertiku.
"Ayah, Bunda, terima kasih banyak untuk hari ini." Memeluk keduanya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan aku menangis bahagia telah memiliki Ayah dan Bunda super hebat.
"Iya, Sayang, ini semua juga nggak akan berjalan kalau tanpa bantuan Wira," jawab Bunda begitu melihat Wira, yang diangguki cepat oleh Ayah.
"Hmm, Ayah, Bunda. Sepertinya kami akan pulang sekarang, mengingat hari sudah semakin malam dan cuaca juga mendung." Wira berkata seraya memerhatikan keadaan kota yang menggelap dan disertai angin kencang.
"Oh, iya, Nak. Gapapa duluan aja, ini juga udah mau selesai urusannya."
Wanita yang kusebut Bunda itu selalu tampak cerita, padahal aku tahu jika dia sangat lelah hari ini. Mendekati beliau yang tersenyum lebar, sekali lagi aku memeluknya penuh cinta, kemudian memeluk Ayah yang juga tidak pernah terlihat sedih. Setelah itu aku menyingkir, membiarkan Wira yang berpamitan pada keduanya, dan aku bersyukur sosoknya yang santun tidak berubah pada kedua orang tuaku.
Di simpang pertigaan hujan turun begitu derasnya, tetapi Wira seakan tidak peduli. Motor melaju seolah-olah tidak terjadi badai, dengan ketakutan aku hanya bisa menunduk sambil berdoa supaya cepat tiba di rumah. Sesampainya aku dan Wira langsung masuk dengan basah kuyup, dan kami berpisah untuk mengganti pakaian masing-masing masih tanpa berbicara.
Wira seperti enggan berhubungan denganku, dan menganggap semuanya belum selesai.
"Wira ..." Dari ruang depan aku memanggilnya, tentu setelah berpakaian rapi dan bersih.
Bagaimanapun aku harus berusaha memperbaiki segalanya ke sedia kala.
"Wira, kamu belum makan kan?" tanyaku seraya menghampiri saat melihatnya datang dari arah belakang.
"Sejak kapan kamu peduli?" Wira bertanya balik, terus terang aku terkejut.
"Hm, maaf, sepertinya kamu nggak butuh aku." Kutatap kedua matanya yang redup.
"Sama sekali nggak butuh, dari awal menikah aku juga ngurus diri sendiri."
Aku terenyak, begitu tertampar dengan perkataannya yang tepat mengenai ulu hati. Dengan tidak percaya aku menatapnya sedih, terlalu cepat rasanya melihat seorang Wira yang penuh kehangatan mendadak dingin. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, kini terdengar ketus dan tidak selembut dulu. Kuakui perubahan Wira membuatku semakin terluka.
Mengerjap beberapa kali aku berusaha tidak menangis, dan membiarkan Wira pergi tanpa membalas ucapannya. Mungkin, aku hanya butuh waktu penyesuaian. Cukup membiasakan diri menghadapi sikap Wira yang lain, kemudian semua akan baik-baik saja.
"Ki ..." panggilnya, kembali mendekat.
Secercah harapan muncul, aku pun tersenyum melihat Wira yang seperti berubah pikiran atau kasihan padaku.
"Sepertinya, aku nggak bisa ngelanjutin rumah tangga kita lagi."
Harapan itu buyar, tatapanku yang awalnya berbinar kini penuh oleh air mata. Hatiku hancur berkeping-keping. Talak yang Wira lantangkan sangat melukai hati ini dua kali lipat. Aku hanya diam menatapnya, tidak sanggup berkata-kata. Setelah kejadian itu Wira berubah menjadi orang yang tega.
"Ki, aku minta maaf, mungkin inilah yang terbaik. Secepatnya aku akan mengurus perceraian kita, dan aku harap kamu bisa memperoleh hidup yang lebih baik."
Dadaku naik turun dengan napas yang tidak stabil, rasanya sesak sekali, dan aku juga tidak bisa mengontrol perasaan. "Tega kamu, Wi, tega kamu ninggalin aku di saat seperti ini."
"Aku udah peringati kamu, Ki, bahkan berulang-ulang. Tinggalkan hobimu yang menyalahi kodrat itu, tapi kamu ngebantah, kamu sama sekali nggak menganggap aku sebagai suami, dan sekarang aku harus sadar diri jika kamu bukan ditakdirkan untukku. Jalan kita berbeda, aku yang mengejar akhirat, dan kamu masih cinta dunia. Aku menyerah dengan segala perjuangan dan pengorbananku untuk mendapatkan cinta yang salah. Sejauh ini aku juga udah berusaha semaksimal mungkin mengubahmu, tapi kamu tetap menjadi diri sendiri yang sulit diatur." Wira berkata dengan perasaan.
Kepalaku berputar, dan aku menangis kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
SpiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...