"Lama lagi ya, Wi?"
"Sebentar lagi, Ki, sabar yaa."
Aku hanya mengangguk lemah. Rasanya aku sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan, seluruh tubuhku seakan remuk, kepala pusing, dan mata yang juga sangat mengantuk. Untung saja Wira selalu menyemangati, dengan kalimat supernya yang dapat membuat hatiku tenang. Sabar.
Ini sudah ketiga kalinya motor melewati jalan rusak, badanku terlonjak-lonjak, sepertinya aku tidak tahan jika harus melaluinya dengan keadaan yang remuk. Mengulurkan kedua tanganku ke depan, aku memeluk pinggang Wira erat, menetralisir seluruh rasa sakit yang menyerang tubuh.
"Ki, kamu oke?"
Jangankan menyahut, menggeleng saja rasanya berat.
"Kiran ..." panggilnya cemas.
Melihat ada yang tidak beres akhirnya Wira menghentikan motornya di pinggir. Tanpa bertanya apapun Wira langsung menopang tubuhku yang terkulai lemas, mengusap puncak khimarku dengan lembut, seakan-akan memberi kekuatan di sisa tenagaku yang seperti terkuras habis.
"Kita istirahat dulu ya, di ujung sana ada Masjid." Wira berkata rendah, tangannya tidak berhenti mengusap kepalaku.
"Bisa kan, Ki?" tanyanya kemudian.
Mataku hanya mengintip sedikit, tanpa memberi jawaban. Masih terlalu sulit mengendalikan diri, yang sekarang aku inginkan hanya tidur dengan lelap.
"Sebentar lagi, Sayang. Kamu harus kuat. Sampai nanti kamu bisa langsung tidur." Menepuk-nepuk pipiku, dengan penuh kasih Wira memandang mataku yang redup.
Ya Allah! Wira memang suami yang sempurna. Hatinya sangat baik, dan bijaksana. Saking takutnya terjadi apa-apa denganku Wira sampai mengakalinya, mengikat kedua tanganku yang memeluknya agar tidak terlepas sekalipun tertidur.
"Bismillah." Wira menyalakan motornya kembali, "kita jalan lagi, Ki."
Kepalaku bagaikan berputar, dengan kuat aku memeganginya, berusaha meredam rasa sakit yang mendera. Sepertinya aku sakit. Tiba-tiba badanku terangkat, aku ingin memekik, tetapi tidak bisa. Meski kedua mataku masih terpejam rapat, aku sadar jika Wira tengah menggendongku menuju ke sebuah rumah.
Dengan perlahan Wira meletakkan tubuhku pada kasur empuk nan tebal. Untuk ke sekian kali Wira membelai kepalaku yang terbungkus khimar, lalu mengecupnya cukup lama.
"Mbok ya naik mobil, Nang. Kasian iku bojomu dadi sakit." Suara khas wanita menelusup ke indra pendengaranku.
"Nggih, Buk." Wira menyahut.
"Golekken minyak gosok di bilik Ibuk, Nang. Mau Ibuk pijat weten-weten."
"Nggih, Buk," jawabnya dalam.
Oh ... Hatiku meleleh saat merasakan pijatan ibunya di kedua kakiku. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya seorang ibu mertua bersedia memijat sang mantu. Pijatannya yang lembut dengan penuh teknik itu, membuatku kerap melayang. Kepiawaiannya dalam melenturkan syaraf yang tegang patut diberikan dua jempol.
"Minum dulu, Nduk." Dengan perlahan beliau membantuku bangkit, kemudian memberikan segelas air.
Aku yang antara sadar dan tidak sedikit mulai bisa mengontrol keadaan, kini aku sudah bersandar dengan napas lebih stabil. Ibunya Wira tersenyum seakan puas melihat kondisiku yang membaik, maka semampunya aku bangkit untuk mencium tangannya.
"Ojo jera ya, Nduk."
"Ya, Buk. Maaf udah merepotkan."
"Yo wes, istirahat dulu, Nduk." Ibunya Wira mengusap puncak kepalaku, tatapannya penuh cinta dan kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
EspiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...