Wira sudah mengangkut barang-barang ke mobil, buah tangan untuk keluargaku, beserta bingkisan yang khusus ibu mertua persembahkan untukku dan anak laki-lakinya. Berkunjung tiga hari bagaikan satu jam, rasanya cukup berat meninggalkan keluarga besar Wira terutama ibu mertua dalam waktu pertemuan yang singkat. Keluarganya yang harmonis dan penuh kasih membuatku betah berlama-lama tinggal bersama mereka, karena aku merasa dikasihi dan dihargai.
Aku menangis di pelukan ibu mertua, pelukannya yang kencang seakan-akan enggan melepas, dan menginginkanku agar tinggal lebih lama. Tidak berhenti mulutnya juga terus meminta maaf padaku, atas hal yang tidak menyenangkan di hati selama aku tinggal serumah dengannya.
"Maafin Ibuk yo, Nduk."
"Iya, Buk. Seharusnya Kiran yang minta maaf, Ibu itu udah baiiik banget."
"Ojo jera yo, Nduk," katanya di sela isakan, aku hanya mengangguk cepat.
Selepas berpelukan denganku beliau pun memeluk putranya Wira, seperti saat memelukku wanita itu menangis tersedu-sedu. Aku bisa melihat kasih sayangnya yang luas terhadap Wira. Melihatnya aku jadi tidak tega, bahkan air mataku tidak kunjung surut. Akan tetapi apa boleh buat? Kami harus segera pulang, karena Wira memiliki tanggungjawab yang besar terhadap Pondok Darussalam.
"Jangan sedih, Buk, Wira janji akan sesering mungkin menjenguk Ibuk dan Bapak." Wira memberi pengertian, lalu dia berkata lagi. "Sekarang kan juga udah ada Kiran, Buk. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan Wira di Kota, yang penting Wira selalu ngasi kabar buat orang kampung."
"Yo, ojo sedih-sedih," katanya sambil menahan tangis, tersenyum meski dengan dada bergetar.
Masuk ke dalam mobil aku melambai tangan pada ibu mertua beserta sanak keluarga yang menyaksikan kepulangan kami berdua. Tidak lama Wira pun juga masuk duduk di sebelahku, sekali lagi dia memastikan motornya di belakang diangkut truk yang kami tumpangi. Perlahan mobil mulai melaju, meninggalkan pelataran halaman rumah ibunya Wira.
Menyeka air mata yang tersisa aku pun tersenyum, mengingat seluruh kebaikan ibunya Wira membuat hatiku bahagia. Percaya atau tidak aku sudah merencanakan kapan ingin pulang kampung lagi, dan kupikir rasanya aku tidak akan pernah puas walau hanya berkunjung.
"Wi, kayaknya enak deh kalau kita tinggal di kampung. Dapat udara segar, pemandangannya asri, dan yang paling penting nggak berisik kayak di Kota." Aku berkata tanpa beban, mataku berbinar-binar mengingat kegiatan tiga hari yang singkat.
"Kamu yakin mau ninggalin Kota, nggak berat pisah sama Bunda dan Ayah?"
"Eh ..." Menggaruk sisi khimarku, dengan cepat aku menggeleng, "nggak jadi deh."
Wira tertawa, terdengar garing sekali.
Tidak lama akhirnya truk berhenti di jalan besar, setelah melewati jalan bebatuan yang membuat perut mual. Wira membantuku turun, kemudian bercakap-cakap dengan pengendara truk yang kebetulan adalah tetangga di kampung. Sementara Wira mengambil motornya, aku duduk di bangku yang tersedia pada sebuah warung.
"Pakde, sekali lagi makasih yaa." Wira berseru saat pengendara truk tersebut menyalakan mesinnya, siap-siap untuk bertugas.
"Yo, Mas Wira, hati-hati di jalan." Pesannya sambil mengacungkan jempol, aku dan Wira tersenyum.
"Yok, Ki! Sebelum keburu hujan." Ajak Wira dengan semangat, aku mengangguk setelah menatap langit yang gelap.
Hujan turun dengan derasnya sesaat Wira melajukan motornya, jalan yang terjal sehingga tidak memungkinkan berhenti. Kiri kanan pepohonan sawit, tidak ada tempat berteduh, apalagi rumah warga. Selama Wira mengebut aku terus memejamkan mata, memohon keselamatan jiwa raga.
Braaak! Suara reruntuhan yang keras menghentikan mesin motor, disusul teriakan dari banyak orang yang berada di depan. Aku memekik saat membuka mata, ternyata ada beberapa kendaraan yang terjebak reruntuhan pohon.
"Ki, kamu tunggu di sini ya, aku harus nolongin mereka."
"Wiii, ini cuacanya buruk banget, kalau kamu nolongin mereka sama aja cari mati."
"Ajal, rezeki, takdir baik dan buruk seseorang hanya Allah Ta'ala yang menentukan, bukan cuaca."
Saat Wira melangkah turun aku tidak bisa melarang, dari kejauhan aku hanya menatap sambil menggigil ketakutan. Hujan bercampur angin dan petir saling menyambar, tidak sedikit pepohonan yang lain ikut bertumbangan. Bertepatan dengan Wira masuk ke dalam rimbunan, menarik seorang yang tertimpa, pohon besar runtuh mengenai punggung belakangnya. Sontak aku berteriak.
"WIRAAAAA."
"Astaghfirullah, ada apa Ki?" Wira melompat dari tempat belajarnya, menghampiriku yang bergetar ketakutan.
"Aku mimpi buruk."
"Pasti kamu lupa baca doa," tuturnya.
Aku diam saja, dan tidak menyangkal jika memang lupa membaca doa.
"Jangan takut Ki, ada aku di sini." Mengusap peluh yang bercucuran di dahi, Wira mendekap sisi tubuhku.
Membenamkan seluruh wajah di dada Wira yang bidang, entah kenapa aku pun menangis. Rasanya sesak sekali, membayangkan Wira pergi sehingga membuatku tidak bisa membedakan antara mimpi dan nyata.
"Aku takut kamu pergi, Wi."
"Kiran, aku masih di sini, dan nggak akan pernah pergi ninggalin istriku." Dengan lembut Wira mengecup dahiku yang berkeringat dingin, lalu berkata lagi. "Kamu itu kelelahan, Ki. Perginya kamu jadi sakit, pulangnya jadi ngelantur begini. Sebelum pulkam nanti nih, kamu harus nyiapin fisik dan mental yang kuat, biar pikiran dan badannya selalu fresh."
"Wira, aku serius." Aku berkata getir.
"Aku juga serius, Sayang."
Menatap kedua mata Wira dalam, semampunya aku mengeluarkan apa yang tengah ada di pikiran. "Janji, kamu nggak akan pergi? Sekalipun aku melakukan kesalahan yang fatal."
"Aku akan menemanimu dalam keadaan apapun, selama kamu bersyukur mempunyai aku."
"Wira ..." Bola mataku berkaca-kaca.
"Ya, aku janji," jawab Wira tegas.
Melebarkan senyumku, dengan hati yang sedikit lega aku pun memeluk Wira. Menyampaikan perasaan cintaku yang tidak terucapkan. Seharusnya aku tidak lagi canggung untuk mengungkapkan cinta, tetapi kupikir masih terlalu cepat untuk berterus terang. Aku ingin bermain-main dengan Wira terlebih dulu.
"Mau aku bikinin kopi nggak?" tanyaku kepada Wira yang baru saja menguap.
"Boleh deh."
"Kok pake 'deh' kayak kepaksa gitu?"
"Boleh, Sayaaang," jawabnya gemas.
Sambil berlalu ke dapur aku terkikik.
Mengaduk kopi yang sudah siap saji itu, aku menoleh saat mendengar langkah kaki Wira. Tanpa berkata apapun Wira menyerahkan ponselku yang tengah berdering, aku menerimanya dengan bingung saat melihat nomor baru yang tidak dikenal.
"Angkat aja deh, Wi." Aku menyerahkannya kembali, lalu menghidangkan secangkir kopi di meja.
"Ki ..." Wira memanggil, aku menoleh bingung, "yang nelpon Randu."
Perasaanku jadi tidak keruan, dengan cepat aku mengambil ponsel, lantas menempelkannya ke telinga. "Halo."
"Kiran, aku nggak bisa ngelupain kamu."
"..."
"Ini udah ketiga kalinya aku berkata yang sama, aku nggak bisa ngelupain kamu, Ki."
"..."
Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan sebelah pihak. Pikiranku sudah meracau kemana-mana, apalagi melihat Wira yang tenang. Tatapannya kepadaku tetap bermakna, meski kupikir dia layak untuk marah.
"Randu udah bilang apa aja sama kamu, Wi?"
"Kiran, aku nggak bisa ngelupain kamu." Wira mengulang perkataan Randu di telepon, aku menghela napas.
Tidak ada yang bisa kulakukan saat Wira berlalu meninggalkan dapur. Aku tahu dia kecewa, ingin marah, tetapi tidak bisa karena rasa cintanya padaku jauh lebih besar. Hal itu justru membuat hatiku sakit, lebih sakit dari Wira mengatai murahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
SpiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...