Lantunan adzan membuat aktifitas ini terhenti, aku langsung meninggalkan lapangan, dan bersiap-siap. Untuk kewajiban salat kedua orangtuaku memang keras, sehingga aku harus mengerjakannya dalam kondisi apapun.
Ya, rela meninggalkan hobi yang sudah aku geluti sejak SD. Mengganti kaus yang lepek dan bau keringat, lantas aku pun bersuci. Menuju tempat ibadah dengan tepat waktu.
Seusainya aku langsung buru-buru bangkit, mengejar ketertinggalan yang kuyakini mereka kalah telak tanpa kehadiranku. Berlari keras fokusku hanya tertuju pada satu tempat, tanpa mempedulikan keadaan sekeliling.
"Kiran, tunggu... "
Aku sontak menoleh.
Deg! Wira? Aliran darahku berdesir.
Sudah lama aku tidak melihatnya. Dia mantanku.
"Kiran kan?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk, lalu tersenyum. "Betul, Kiran mantan pacar Wira."
Memperhatikan penampilan Wira dari atas ke bawah rasanya ingin sekali aku tertawa, tetapi semampunya aku tahan. Tidak etis jika menertawakan Wira yang berubah menjadi Agamis. Berjenggot dan bersorban.
Jika aku boleh jujur, Wira tampak lebih dewasa.
"Wira dari mana?"
"Kiran mau ke mana?"
Aku dan Wira salah tingkah saat kami bertanya secara bersamaan. Dari situ aku bisa melihat Wira jadi seperti serba salah, apalagi kerap kali aku tangkap pandangannya yang selalu menghindar. Akan tetapi aku tahu Wira masih ingin berbicara banyak, enggan meninggalkanku.
"Kamu masih main bola?" tanya Wira.
"Masih dong!" jawabku bersemangat.
"Aku mau ngomong serius, Ki."
"Ngomong aja kali, Wi, nggak usah canggung." Mengibaskan tangan aku menyunggingkan senyum.
Melirik kanan dan kiri Wira tampak ragu, "Tapi nggak di sini. Bisa?"
Sebenarnya aku enggan, tetapi melihat kesungguhan Wira membuatku tidak tega.
Dengan berat hati aku langsung berpamitan kepada teman-teman yang menunggu kedatanganku, dan bisa aku pastikan mereka sangat kecewa terutama Randu. Lelaki itu menatap Wira tajam sampai kami benar-benar pergi. Aku tahu Wira melihatnya, hanya saja dia tampak begitu tenang.
Warung pinggir jalan menjadi tempat tujuannya, Wira mengajakku duduk setelah menyebut sejumlah pesanan. Ternyata Wira yang cuek masih ingat betul minuman kesukaanku. Kami pun duduk di kursi dengan perasaan canggung. Apalagi Wira, lelaki itu sangat menjaga jarak.
"Mau ngomong apa sih, Wi?" Aku mulai tidak sabar.
"Jangan buru-buru, Kiran minum dulu." Wira menunjuk jus jeruk yang baru datang.
Menelan ludah, tanpa pikir panjang aku pun menjangkau gelas panjang itu. "Uuh, syegerrr!"
Seperti orang kehausan aku menelan segelas jus hanya dua kali tegukan. Wira tidak lagi kaget melihatku, karena inilah aku yang apa adanya. Rakus dan serakah. Kupikir Wira akan menceramahi cara minumku yang salah, ternyata tidak. Seorang Wira justru malah tersenyum lebar. Dia tampak geli sendiri.
"Masih kayak dulu ya, Ki?"
"Umm, ya, begitulah." Aku pun menyengir.
"Nggak apa-apa, nanti juga berubah kok."
Berubah?
Aku menatap seperti orang bingung, anehnya Wira malah membuang muka. Sepertinya Wira sedang memikirkan sesuatu, apalagi saat aku memegang pundaknya lelaki itu tersentak kaget. Dia beristighfar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
EspiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...