Semua rencanaku berjalan dengan sempurna. Aku dan Randu ketemuan dan membicarakan tentang segalanya, tentu untuk kebaikan bersama. Mulai dari urusan sepak bola, sampai soal hati aku selesaikan dengan tuntas. Randu tampak sangat kecewa, tetapi aku yakin jika dirinya dapat memahami. Terlebih lagi sekarang aku sadar jika cinta yang dulu telah kembali hadir. Aku mencintai Wira, kekasih dan cinta pertamaku. Kerja kerasnya untuk mendapatkan cintaku lagi tidak sia-sia, kini dia telah berhasil.
Melompat dari angkutan umum, aku pun membayar tagihannya. Sungguh perjalanan yang cukup menjemukan. Melirik jam tangan, waktuku masih banyak, jadi aku masih bisa berjalan santai. Kupastikan akan sampai rumah sebelum Wira datang menjemput.
"Assalamu'alaikum, Bundaaa."
"Wa'alaikumsalam." Dari jauh Bunda menjawab salamku, terdengar suara langkahnya yang menggebu. "Jangan teriak-teriak ah, Kak, ada Wira tuh."
"Wira?" Aku sungguh kaget.
"Iya, Wira, ada di belakang lagi ngobrol sama Ayah. Datang dari tadi siang loh, Kak, Bunda aja kaget kok cepat banget."
Tidak terlalu mendengarkan Bunda, aku langsung berlari ke belakang untuk memastikan. Rasanya tubuh ini melemas saat melihat Wira sudah di hadapanku, dan mendahuluiku. Apa yang harus aku katakan padanya? Wira selalu memiliki kemampuan dalam menebak isi kepalaku, bahkan dia juga tahu kapan aku sedang berbohong.
"Wi ..." Aku kesulitan menemukan suara sendiri, rasanya aku seperti tertangkap basah. Semaksimal mungkin kubawa diri ini tenang. "Nggh, aku pikir kamu jemput sore."
"Iya, Ki, aku nggak enak badan. Makanya izin pulang lebih awal."
Aku terdiam, bingung ingin berkata apa. Terus terang sikap tenang Wira membuatku semakin kalut.
"Kalau kamu mau mandi dulu gapapa, Ki, aku tunggu." Wira terus berkata.
Melirik ke arah Ayah, lelaki itu malah kabur meninggalkan kami berdua. Dengan serba salah aku menghampiri Wira, kutatap lekat bola matanya yang selalu bersinar. Sungguh! Aku merasa sangat bersalah untuk masalah satu ini, tetapi aku juga tidak ada pilihan selain menemui Randu. Ketika ada peluang, maka aku akan menggunakannya sebaik mungkin.
"Ayok, kita pulang." Ajakku dengan bersemangat, lalu berkata lagi. "Aku akan memasak makanan kesukaanmu."
Akhirnya kami pun sepakat pulang. Sementara Wira berpamitan kepada Ayah dan Bunda, aku mengenakan sepatu kembali, sesekali meliriknya yang masih tidak menunjukkan kekecewaan. Kendati demikian perasaanku mengatakan jika Wira memendamnya dengan baik. Hal itu membuatku harus semakin waspada.
"Kamu mau beli jus jeruk, Ki?" tanya Wira tiba-tiba, saat kami melewati warung aneka jus.
"Nggak deh, aku tadi udah minum habis dua gelas," jawabku keceplosan
Wira mengangguk, sedikit menaikkan kecepatan saat berada di jalan agak sepi. Hingga tiba di rumah Wira tidak bertanya apapun mengenai kepergianku yang tanpa izin, aku jadi penasaran dengan apa yang dia pikirkan.
Menyiapkan makan malam yang baru saja kumasak, aku pun mulai berpikir hendak mengobrol soal apa dengan Wira. Setidaknya aku harus maksimal membuat Wira tidak marah, meski dengan sepiring makanan. Sambil menunggu air panas di atas kompor menggelegak, aku menata dua toples pada nampan. Aku memang tidak pernah melupakan kebiasaan Wira, yang senang mengemil setelah makan besar saat malam hari. Maka dari itu aku membelinya, walau hanya dua macam kacang polong.
"Biar aku aja yang buat tehnya, Ki." Wira mematikan kompor, aku terlalu banyak melamun sehingga kalah cepat.
"Aku tunggu di depan yaa."
Wira mengangguk seraya menuang air pada cangkir pertama, melihat itu aku hanya tersenyum, lantas berlalu lebih dulu. Tempat favorit kami kebetulan sama, duduk di teras dengan secangkir teh hangat. Memandang sinar rembulan yang menghiasi jagat bumi.
"Kamu kapan masuk kuliah?" tanya Wira setelah menaruh kedua cangkir beraroma khas teh.
"Minggu depan kayaknya, belum pasti sih Wi, nunggu kabar aja deh."
"Lumayan lama ya." Wira mengambil tempat duduk di sebelahku, lalu dia menatap penuh arti, "kita belum pernah bulan madu kan ya?"
"Uhuk, uhuk!" Tenggorokanku tercekat.
"Nih, minum. Gitu aja kagetan." Wira menyodorkan cangkir yang berisi teh panas, spontan aku melotot. "Bercanda, Sayang. Kamu jangan kaget gitu dong, kita udah hampir sebulan nikah loh."
Menggaruk tengkuk belakangku, dengan cepat aku mencari peralihan. "Hmm, kupikir lebih baik kita ke kampung halaman Ibu kamu aja."
"Boleh, kita nginap tiga hari ya."
"Loh, kok cuma tiga hari sih, Wi? Aku kan masuk kuliah minggu depan."
"Aku nggak enak libur lama-lama, Ki. Soalnya cuma aku yang berani megang anak TK, jadi nggak ada yang bisa gantiin." Wira memberi penjelasan.
Sekarang aku tahu mengapa Wira tidak pernah mengajakku menemui keluarga besarnya. Sudah kukatakan kalau soal mengajar dan berbagi ilmu Wira selalu memprioritaskannya, di atas segalanya. Wajar saja Wira menjadi anak murid kesayangan Ustaz Abu Yahya, karena begitu amanahnya dia menjadi seorang pengajar.
"Abis makan nanti kita langsung siapan ya, kemas barang yang penting aja, Ki. Terus kita lanjut tidur, soalnya besok ba'da subuh kita harus udah berangkat biar nyampenya nggak kesorean."
"Ah, iya, aku juga mau nelpon Ayah dan Bunda dulu. Takutnya mereka nyariin aku waktu udah di sana, kan berabe."
"Hu'um, jangan lupa ngabarin orang tua." Wira menyetujui kekhawatiranku.
Kini, aku dan Wira sudah selesai berkemas. Kami berdua melakukannya dengan sangat cepat. Merenggangkan otot-otot yang terasa tegang, aku membiarkan Wira tidur lebih dulu, sementara aku duduk di kursi tolet dan memijat kedua betis. Rasanya aku sangat lelah hari ini, terutama pikiranku yang terus memaksa untuk menebak isi kepala Wira.
Sikapnya kelewat tenang, dan hal itu sama sekali tidak membuatku bahagia. Sekarang aku memang aman, tetapi aku yakin jika suatu waktu Wira akan membahasnya. Aku pernah mendengar marahnya orang pendiam itu lebih mengerikan dari orang yang bar-bar.
"Wira ..." lirihku, agak bergetar.
Tidak ada jawaban, tetapi aku tahu jika Wira belum tidur meski kedua matanya terpejam rapat.
"Wi, aku mau ngomong sesuatu."
Masih hening, aku mengembuskan napas lelah. Mulai kehilangan akal.
"Maaf, aku tadi ketemuan sama Randu."
"Aku tahu, Ki, sekalipun kamu nggak bilang. Ayok! Tidur, besok kita harus bangun pagi, dan butuh tubuh yang fit."
Melihat tanggapannya aku jadi sadar, jika aku harus mengintropeksi diri. Wira sudah menjadi suami yang baik, penyabar, dan penyayang. Aku tidak boleh seperti ini terus, mau sampai kapan? Dalam hati aku berjanji, tidak akan mengecewakannya lagi.
"Jangan lupa baca doa, mimpi yang indah." Wira mengecup keningku, perlakuannya yang lembut membuat hati ini terharu.
Memejamkan mata, air mataku pun mengalir, teringat seluruh kebaikan Wira dan ketidakadilan yang aku beri padanya. Dengan pikiran yang berat, aku mencoba tidur, merilekskan diri dari kejamnya perasaan yang diliputi rasa bersalah. Aku menangis dalam diam, sesekali melirik ke arah Wira yang sudah terlelap.
"Wi ..." Isak tangisku pecah.
Dengan gelagapan Wira pun bangkit, terkejut melihat dan mendengar suara tangisku. Dia bertanya, "kenapa, Ki?"
"Aku yang melakukan kesalahan, Wira yang selalu memaafkan, dan aku yang merasa bersalah."
Mendekap erat tubuhku Wira tidak berkata apapun, selain memberikan ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Pacar ✓
SpiritualMenikah dengan mantan? Siapa takut. Aku Kiran cewek petakilan yang hobinya main bola, dan Wira adalah mantanku. Kami dipertemukan kembali setelah satu abad tidak berkabar, kemudian menjalin hubungan yang serius. Wira yang bertekad. Mantanku berubah...