KiWi [16]

124 10 2
                                    

Wira datang menjemput, meski rasanya tidak bersemangat, aku tetap bangkit dan bersiap-siap untuk pulang. Mengenakan khimar yang sejak tadi tersampir di kepala ranjang, dengan mata sembap aku mencoba tersenyum, setidaknya di cermin aku masih tampak ceria. Setelahnya aku pun duduk di depan, menunggu Bunda selesai salat ashar, dan kami akan berpamitan. Selama itu aku dan Wira saling berdiaman sekalipun duduk bersebelahan, sebab aku mengalami kesulitan untuk bersikap biasa saja.

"Ki, gimana keadaan kamu?" Akhirnya Wira bertanya, dari sorot matanya aku bisa melihat kekhawatiran yang jelas.

"Udah mendingan."

"Alhamdulillah, aku akan selalu ada buat nemenin kamu, Ki," katanya lagi.

Mendengar itu mataku berkaca-kaca, masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Sikap tenang Wira membuatku sakit berkali-kali lipat. Rasanya aku tidak pantas diperlakukan baik setelah apa yang kuperbuat padanya, dan itu tidak seimbang. Aku sudah berkhianat, merusak sesuatu yang berharga untuknya, dan tidak ada yang bisa aku banggakan lagi di hadapan Wira.

"Ooh, udah mau pulang nih, nggak makan dulu?" Dari arah pintu Bunda muncul, sosoknya yang selalu ceria membuatku sedikit khawatir.

"Terima kasih, Bunda. Hari berikutnya boleh ya." Wira menyengir, aku pun tersenyum tipis.

Tanpa membuang waktu lagi aku dan Wira berpamitan. Tidak melupakan masalah anaknya Bunda memberikan pelukan hangat, cukup erat dan lama. Aku sampai meneteskan air mata, terlalu naif jika mencoba tegar di tengah puncak masalah yang menekan akal dan mental. Wira tidak bertanya apapun, tetapi aku tahu bahwa kini dia mulai curiga dan sangat penasaran.

"Aku mau ngomong sama kamu, Ki." Wira berkata rendah saat kami baru sampai di rumah, "tapi nanti ya ba'da ashar."

Aku hanya mengangguk lemah. Sepertinya, setelah ini aku akan dicampakkan oleh Wira. Kendati aku juga harus berterus terang, pesan Bunda yang memintaku untuk jujur kepada Wira terus terngiang-ngiang. Siap tidak siap aku harus menghadapi seluruh konsekuensi yang akan terjadi ke depan.

"Ya, Allah, ampunilah hamba. Berilah aku kemudahan untuk bercerita kepada Wira." Menengadah ke atas aku memohon ampun serta meminta kemudahan untuk segala hal yang menyempitkan dada.

Air mataku menetes, lagi, lagi, dan lagi.

Hingga aku mendengar suara ketukan pintu, maka dengan cepat aku membuka mukenah, dan berlari menyambut kedatangan Wira yang baru pulang dari Musala. Tanpa berkata apapun aku kembali masuk, menunggunya di kamar. Mungkin akan lebih aman dan nyaman jika kami mengobrol di dalam bilik.

"Ki ..." panggilnya lirih, lalu duduk di sebelahku. "Nggak sibuk kan?"

Menggeleng pelan aku masih enggan menoleh, rasanya sangat berat, tetapi aku yakin akan bisa.

"Aku tadi sepulang dari ngajar ketemu sama Randu," katanya begitu rendah.

Perkataan Wira berhasil mencuri perhatianku, kini jantungku berdetak kencang. Takut dan cemas bercampur menjadi satu.

"Maaf, sebelumnya, bukan aku nggak percaya sama kamu Ki." Wira menghentikan ucapannya, entah bagaimana aku tahu apa yang ada di pikirannya. "Randu bilang padaku kalian udah tidur bareng."

Ya, Allah! Memejamkan mata, aku berusaha mengontrol diri supaya tidak menangis lagi.

"Kiran, apa yang Randu katakan itu benar?"

Mengambil napas panjang, lantas aku mengangguk. "Benar."

"Astaghfirullah, Ki, aku benar-benar nggak nyangka." Dengan cepat Wira bangkit, wajahnya yang tenang telah berubah panik.

"Aku diperkosa, Wi." Aku berkata dengan air mata penuh di pelupuk. "Sekarang, aku udah nggak perawan, kamu pasti jijik ngeliat aku setelah ini, dan akan pergi ninggalin aku."

Wira tidak berkata-kata lagi, wajahnya yang selalu damai kini tampak sangat muram dan menyedihkan. Matanya yang gelap menatapku dalam, ada kekecewaan yang teramat besar, dan diamnya menandakan jika ia merasa sakit hati. Tidak ada yang bisa aku perbuat selain mengatakan seluruhnya tanpa ada yang disembunyikan. Aku tidak peduli dengan keyakinan Wira, yang jelas aku sudah berusaha berbicara di tengah jatuhnya harga diriku, di mana aku pikir ini tidaklah mudah.

"Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiranmu, Ki? Seharusnya dari awal aku sadar kalau kamu emang nggak menginginkan sebuah pernikahan denganku."

"Maaf, aku salah, aku bukan wanita shalihah yang selalu kamu idamkan."

"Entah apa dosaku hingga Allah Ta'ala menghukum dengan ujian seberat ini, aku nggak tahu apa yang akan kukatakan jika Rabb Semesta Alam bertanya perihal kelalaianku dalam menjaga istrinya." Menutup wajahnya, aku bisa melihat kedua pundak Wira bergetar. Dia menangis keras.

Berjalan ke arah jendela, sungguh aku tidak sanggup melihatnya terluka. Wira yang baik dan selalu bersikap tenang kini telah hancur. Kesabarannya, kesetiaannya, dan cinta kasih yang dia persembahkan hanya untukku seakan berakhir sia-sia. Wira menjadi seperti bukan dirinya, karena pengkhianatan yang aku lakukan. Sekalipun murni bukan salahku.

"Aku kecewa banget sama kamu, Ki."

Tidak menjawab, aku hanya mengangguk, memang sudah selayaknya Wira membenciku. Kemungkinan terbesar Wira juga akan menceraikanku, itu sudah keharusan atas apa yang terjadi pada diriku.

"Maafkan aku, Wi." Dalam keheningan aku merintih, menatap punggung belakangnya yang berlalu pergi.

Mengernyit aku sedikit meringis saat merasakan belaian hangat menyentuh kedua pipi. Tangannya begitu halus, dan menenangkan. Penasaran, dengan perlahan aku pun membuka mata, berusaha melawan rasa malas yang sangat. Seketika senyumku melebar menemukan Bunda yang berada persis di hadapanku, maka dengan cepat aku bangkit menyambut kehadirannya.

"Kok tidur di lantai sih, Kak?" tanyanya heran.

Melihat kanan dan kiri, kemudian aku menyengir. "Ketiduran, Bun."

"Aduh! Jangan dibiasakan loh, Kak." Bunda memberi nasehat, aku mengangguk patuh.

Seakan teringat sesuatu aku melongok ke arah luar, mencari Wira yang tidak terlihat. Pembahasan beberapa saat lalu memang cukup sensitif, dan banyak kemungkinan yang akan terjadi. Kendati demikian aku sengaja tidak bertanya pada Bunda, apalagi membuatnya khawatir.

"Wira ada di depan kok, Kak, lagi ngobrol dengan Ayah." Tiba-tiba Bunda menjawab pertanyaan yang tidak aku utarakan, dan dia berkata lagi. "Insya Allah, besok, Ayah dan Wira akan melaporkannya dan meminta hukuman yang setimpal untuk tersangka."

Menatap wajah Bunda yang teduh dengan perasaan tidak bisa dijelaskan aku merintih, dan berlinangan air mata. "Bunda, Kiran takut."

"Jangan takut, Kak, Bunda di sini. Ada Allah yang akan membantu segala urusan kita."

"Wira gimana, Bun?" tanyaku hati-hati.

"Insya Allah, Wira menerima keadaan kamu, tapi kamu harus sabar Kak."

Oh ... Aku mengangguk paham, sedih sekali rasanya melihat orang yang kita cintai, kini tengah marah atas ulah diri kita sendiri.

Penyesalan memang selalu datang terlambat, seandainya saja aku berkata jujur tentang perasaanku kala itu, mungkin tidak akan pernah terjadi apapun. Aku sangat mencintainya, tetapi rasa gengsi yang kuat menahanku untuk tidak terburu-buru. Akibatnya aku lalai dalam menjaga yang seharusnya adalah miliknya, aku gagal menjadi istri yang senantiasa memberikan hadiah terbaik kepada sang suami.

"Wira keliatan terpukul banget, Kak. Bunda aja sedih ngeliat Wira kayak gitu, padahal biasanya dia selalu berhasil nutupin semua masalah yang tengah dihadapinya, tapi kali ini nggak bisa." Bunda terus bercerita, hal itu justru membuat hatiku semakin hancur.

"Bunda, apa Wira akan menceraikan Kiran?"

Tidak menjawab pertanyaanku, Bunda malah mendekap kepalaku erat. Menyampaikan betapa pedulinya ia terhadapku, dan tidak membiarkan sedikit pun anaknya menderita.

Mantan Pacar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang