Anggara mengikuti langkah Indira yang memasuki kamar mereka dan meraih koper seraya memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper berwarna kuning tersebut. Mata lelaki itu membelalak. Tubuhnya dengan cepat mencekal kinerja tangan Indira yang sibuk memasukkan pakaian-pakaiannya.
"Kenapa baju-bajunya dimasukin ke koper? Kamu nggak boleh pergi! Kamu nggak bisa ninggalin aku kaya gini, Indira!" Tekan Anggara panik dengan mencengkeram lengan istrinya. Namun Indira sebisa mungkin memberontak, enggan terbelenggu lagi bersama Anggara, lelaki pengecut yang selama ini menyembunyikan aib menjijikkannya.
"Lepas, Anggara! Jangan lagi sentuh aku dengan tangan kotormu itu." Bentak Indira sambil berupaya menarik tangannya. Anggara bak kesetanan. Ia makin mengeratkan cengkeraman tangannya dan mengguncang-guncang tubuh Indira.
"Aku masih suamimu, Indira. Dan kamu nggak bisa semudah itu meninggalkan suamimu tanpa izin! Kamu akan menjadi istri durhaka, Dira."
"Aku nggak peduli, Anggara. Sama sekali nggak peduli. Sekalipun aku durhaka, menurutmu, tapi Tuhan sangat tahu siapa di antara kita berdua yang berdosa. Lepasin!" Indira menghentak tangannya dan kembali berkutat memindahkan pakaiannya ke dalam koper.
Anggara menggeram. Dengan cepat ia menerjang tubuh Indira hingga mereka berdua terjerembab bersama di sisi samping ranjang. Tubuh Indira yang kecil dipaksa menahan bobot tubuh Anggara yang dua kali lebih besar darinya. Anggara mencengkeram kedua payudara Indira, meremasnya sangat kuat hingga Indira memekik kesakitan, nyaris menangis karena nyeri di kedua payudara nya.
Tak sampai di situ, Anggara seolah kesetanan. Laki-laki itu melucuti celana Indira. Mencoba menstimulus gairah Indira lewat gerakan jemari yang biasanya sangat disukai oleh istrinya. Namun setelah memaksa nyaris sepuluh menit, dengan isakan Indira akibat perbuatannya, istrinya tidak kunjung terangsang juga. Kemaluan itu tetap kering tanpa ada tanda-tanda keluarnya pelumas alami yang memudahkannya menyatukan diri di kehangatan milik Indira.
"Sialan, kenapa nggak mau basah?! Ayo Indira, keluarin cairan kamu. Cepet!!" Bentak Anggara tanpa memedulikan isak pilu istrinya karena pelecehan yang dilakukan olehnya.
Anggara masih terus menstimulus kemaluan Indira, bertepatan dengan kehadiran Lita yang rupanya belum pergi dari rumah Anggara. Ia memanggil Anggara dengan suara penuh luka melihat perbuatan Anggara. Ia merasakan sakit hati karena Anggara justru bermain dengan Indira di saat dirinya dan Nafta menanti Anggara di ruang tamu.
Suara kesiap Anggara terdengar nyaring. Ia dengan cepat melepaskan tubuh Indira yang sejak tadi terkurung di bawah tubuhnya. Memberikan kesempatan bagi Indira untuk menguatkan diri memakai kembali celana nya dengan tubuh yang bergetar karena rasa terhina yang amat besar.
"Mas Angga...kami daritadi nunggu Mas di bawah. Ternyata Mas malah..." Anggara dibuat kelimpungan karena raut sedih dan kecewa dari Lita, sementara itu Indira sudah berhasil memakai kembali celana nya dan menutup kopernya. Melangkahkan kaki keluar dari kamar terkutuk itu dengan kaki lemas. Tak mempedulikan sama sekali perbincangan kedua sejoli laknat yang telah menghancurkan hidupnya.
Ia melewati pintu kamar sekaligus tubuh Lita dengan wajah kosong. Hati dan otaknya cedera begitu parah karena kedua manusia tidak punya hati yang kini malah berperan seolah sebagai sepasang suami istri yang sah. Memaksanya terdepak dari rumahnya sendiri dengan wajah yang tercoreng malu.
"Dira, sayang." Langkah Indira semakin cepat ketika suara Anggara memanggilnya dengan sendu dan penuh penyesalan. Ia tidak mau lagi. Sudah cukup. Hati dan mentalnya dibuat babak belur oleh suami yang selama ini selalu ia hormati dan juga cintai. Sudah saatnya ia bangkit dan mencari kebahagiaan.
Sekali lagi, Anggara berhasil mencekal tangannya, namun Indira dengan cepat berbalik dan menendang kemaluan Anggara hingga suaminya itu memekik kesakitan. Lita yang melihat Anggara kesakitan lantas mendekati Anggara dan memapah tubuh besarnya. Ia menatap Indira berang.
"Mbak, jadi perempuan itu jangan kasar ya sama suami. Bagaimanapun juga, dia masih menjadi penentu surgamu." Bentak Lita geram.
Namun Indira tidak serta merta membalas geraman Lita dengan kemarahan meski dalam hatinya sudah berteriak hendak membunuh perempuan murahan di hadapannya.
"Kamu masih menyadari kalau dia itu suamiku, bukan? Itu artinya, aku bebas berbuat apapun, sesukaku, pada suamiku. Kamu itu hanya orang luar yang hanya beruntung karena menjadi titipan mani hina nya untuk mengandung anak kalian! Dan yang perlu kamu tahu, murahan, aku tidak sudi masuk ke surga kalau penentu nya adalah laki-laki busuk seperti dirinya. Neraka lebih baik untukku ketimbang harus memuja laki-laki yang tidak bisa menjaga hati dan kemaluannya dengan baik." Indira mendengus sinis. "Aku cukup terkejut padamu. Kamu masih menyadari kalau dia adalah lelaki bersuami, tapi vagina gatalmu itu terus saja meraung meminta mendekati lelaki beristri. Sungguh kasihan." Geleng Indira dramatis. "Apa sebegitu tidak lakunya kah dirimu sampai-sampai hanya bisa mengais perhatian dari suamiku?"
Lita tergagap. Ia belum siap menerima serangan kalimat pedas dari Indira yang memang keseluruhannya merupakan fakta. Ia mengatupkan bibir, kesulitan berucap untuk mengais sisa harga dirinya.
"Tapi tidak apa. Aku sudah menyerahkannya untukmu, kan? Ambillah. Bawa pergi lelakimu dari hadapanku."
"Kamu yang harus pergi dari sini! Aku yang akan jadi nyonya di sini asal Mbak tau!"
Indira tertawa keras. Amat keras, seolah menertawakan ucapan tak tahu malu dari seorang simpanan yang tidak tahu diri. "Luar biasa. Seorang pencuri berani menghardik polisi. Luar biasa!" Indira bertepuk tangan dengan berlebihan. Menatap Lita dengan penuh dendam dan amarah yang terselubung apik oleh akting nya. "Nggak usah ketakutan seperti itu. Karena saat ini pun, aku memang akan enyah dari rumah terkutuk ini. Siapkan dirimu, karena aku yakin, di detik aku pergi, di detik itu pula kamu akan segera jadi nyonya besar di rumah ini."
Indira menarik kembali kopernya. Menatap kedua sejoli itu untuk terakhir kalinya dengan tatapan dingin. "Ingat, apa yang kalian tabur, itu pula yang akan kalian tuai. Tidak ada, tidak akan pernah ada kejahatan yang kalian tabur akan berbuah kebaikan di kemudian hari. Kita cukup biarkan waktu yang menjawab segala nya. Dan di saat itu, aku akan menjadi orang pertama yang memberi kalian selamat atas segala hasil yang kalian dapatkan kelak." Wajah Lita dan Anggara terlihat pias yang sedikit banyak melegakan hati Indira yang selama ini tercabik.
"Dira, jangan pergi." Mohon Anggara dengan langkah tertatih mendekati istrinya yang mundur selangkah tiap kali dirinya mendekati.
"Berhenti di sana, Anggara." Langkah Anggara seketika berhenti ketika ucapan dingin Indira menusuk telinga nya.
"Sayang, maafin Mas. Mas sama sekali..."
"Aku menyerah, Anggara. Terima kasih selama lima tahun ini sudah menjadi suami yang setia menemaniku dalam mengarungi biduk rumah tangga. Sampai bertemu lagi di persidangan. Karena detik ini, aku akan menggugat cerai dirimu. Tunggu sampai surat itu datang, dan pastikan kamu tidak mempersulit semua nya. Sadarilah, kalau keputusan ini ada akibat tindak tandukmu sendiri. Tidak akan ada perceraian kalau tidak ada pengkhianatan. Dan kumohon, tahu diri untuk tidak mempersulitku lepas dari hidupmu. Kita usai. Terima kasih." Dengan itu, Indira melangkah dengan kepala tegap, meninggalkan suaminya yang meraung penuh penyesalan.
TBC
020321
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Goodbye
General FictionVERSI LENGKAP TERSEDIA DALAM BENTUK PDF Tentang Anggara yang meratapi penyesalannya, dan tentang Indira yang berusaha membangun hidup barunya.