Hello Goodbye - AJ

55K 3.2K 541
                                    

Seharian ini Bram uring-uringan bukan kepalang karena konfrontasinya pagi tadi bersama Indira. Ia hampir-hampir ingin berteriak, meneriaki pasien-pasien ciliknya yang terus saja menangis meskipun ia tidak melakukan apapun. Suster Agava, asistennya di rumah sakit bahkan sampai tidak berani bersuara sedikitpun karena takut kena semprotan emosi Bram yang seharian ini begitu labil layaknya remaja.

Pasien terakhir berhasil ia tangani tanpa sekalipun lepas kendali ketika waktu tepat menunjukkan pukul satu siang. Ia meletakkan stetoskopnya dan melepas snelli serta membuka beberapa kancing bagian atas kemeja nya yang dirasa terlalu mencekiknya seharian.

"Dokter Bram mau titip sesuatu? Saya bisa belikan di kantin kalau dokter sedang malas keluar."

Bram mengurut kening nya sembari mendengarkan tawaran dari suster Agava yang berbicara dengan nada takut padanya.

"Nggak usah sus. Saya mau di sini dulu ngademin pikiran. Suster duluan aja." Tolak Bram pelan karena dirasa terlalu lelah memendam emosi seharian.

Suster Agava mengangguk paham dan berpamitan sebelum cepat-cepat keluar dari ruangan Bram yang saat ini sedang dalam mode lunak.

Indira benar-benar luar biasa. Selain keras kepala dan begitu teguh dengan pendirian, wanita itu pun berhasil membawa dampak bagi Bram hanya karena ucapan penolakan wanita itu pagi tadi. Dan karena penolakan itulah Bram menyesali tentang sarapan paginya yang tak sempat ia lanjutkan hingga habis. Sayur kangkung Indira begitu lezat, dan ia hanya bisa gigit jari karena nyaris meneteskan liur membayangkan kelezatan masakan sederhana itu.

"Lo kenapa deh pake gigitin bibir? Horny lo?"

Bram menatap tajam wajah dokter Argana, rekan sekaligus sahabatnya sejak ia koas beberapa tahun silam. "Nggak usah cerewet deh Ga. Kepala gue lagi pening."

Argana tertawa dan menarik kursi yang biasa digunakan pasien untuk ia duduki dengan manis, menatap geli sahabatnya yang tengah galau bak remaja pubertas.

"Masalah cewek nih pasti. Dan gue yakin sejuta persen kalo ini semua ada kaitannya sama si janda kembang itu, iya kan?"

"Berhenti sebutin dia janda kembang, Ga. It's not funny."

Argana menaikkan sebelah alisnya dan terbahak. "Ada calon bucin ternyata." Gelak nya penuh kemenangan. "Lagian, di mana salahnya kalo gue sebut dia janda? Toh dia emang janda, kan?"

Bibir Bram cemberut dan ia menatap Argana kesal. "Walaupun dia janda, tapi jangan di panggil gitu juga lah. Kesannya tuh kaya dia janda nggak bener, padahal dia janda paling keras kepala." Gerutunya sebal mengingat kembali tingkah Indira yang begitu kukuh menolak memberinya kesempatan untuk berjuang.

"Ck, gaya lo kek pernah main sama janda-janda aja." Ejek Argana. "Lagian, lo terakhir kali sama si Christy aja gagal, padahal jelas-jelas dia single dan berkualitas. Ehh ini malah mainnya ama janda. Beresiko, bro."

Bram mengibaskan tangan. "Kalo masalah Christy sih itu karena gue nggak betah sama menye-menye nya dia. Lah kalo yang ini, boro-boro menye, baru mau berjuang aja gue udah dipukul mundur. Gue kalah sebelum berperang, sialan."

Argana makin keras menertawakan kesialan sahabatnya yang tengah di mabuk cinta. "Cewek emang gitu. Mau dia janda, mau dia perawan, tetep aja koding nya sama."

"Maksud lo?" Tanya Anggara kurang paham.

"Ck, umur lo itu udah nggak muda lagi, bro. Udah mau kepala empat, tapi yang beginian masih aja nggak paham." Argana menggeleng tak habis pikir dengan kebodohan sahabatnya. "Cewek, di mana-mana, itu lain di mulut lain di hati. Kalo dia bilang dia nggak mau, itu artinya mau, kalo dia bilang mau, itu artinya dia mau banget. That simple. Lo tinggal analogika in aja penolakan dia. Apa lo bisa seratus persen percaya kalo dia beneran nggak mau ada lo di hidupnya?"

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang