Hello Goodbye - L

32.9K 3.2K 195
                                    

"Tega banget lo Dir nggak nelpon-nelpon gue!! Jangan mentang udah stay di kota Gudeg terus lo jadi ngelupain gue dong."

Indira yang baru sepuluh menit lalu tiba di rumahnya setelah diantar dokter Bram ke indekosnya, terpaksa mengangkat telepon dari Tita yang terus menerus menerornya tanpa ampun.

"Gue baru balik, Ta. Gue aja baru nyaut handuk mau mandi." Balas Indira disertai kekehan geli mendengar keluhan sahabatnya.

"Baru balik???? Indira, lo sadar lo baru balik di saat jam udah tinggal beberapa menit lagi mau tengah malem? Lo bukan di Jakarta, Indira. Dan lo nggak tau gimana sikon di Jogja kalo malem. Gila lo, gimana kalo semisal lo sampe diperkosa?? Walaupun lo udah nggak perawan, tapi tetep aja lo dilecehkan."

Bola mata Indira berputar ketika penyakit cerewet Tita kumat di saat yang kurang tepat. Sudah lelah bekerja, badan lengket, eh Tita justru menyemprotnya dengan kata mutiara andalannya yang blak-blakan.

"Ta, gue pergi bukan kelayapan. Gue itu kerja."

"What?????? Are you serious?? Lo kerja apaan Dir di saat semua berkas lo aja nggak lo bawa ke sana?? Lo belom cerita ke gue sialan!!"

Indira terbahak mendengar umpatan sahabatnya. Rasanya, inilah tawa pertama Indira setelah hari-hari kelam paska pengakuan menyakitkan yang Anggara torehkan di relung hatinya. Dan sepertinya, pilihan Indira untuk menjauh barang sejenak dari Jakarta adalah pilihan bijak untuk mengontrol dan membalut luka hatinya.

"Gue jadi asisten dokter di klinik mandiri, Ta. Dia orang yang sangat baik karena mau nerima gue yang tanpa identitas jelas, selain KTP." Bibir Indira tanpa sadar melengkungkan senyum ketika mengingat ulang kejadian sore tadi bersama dokter Bram.

"Heck!!! Gila! Lo beneran bisa jadi asisten dokter? Ganteng nggak? Tajir? Cowok kan? Jangan bilang dia udah taken!!" Cecar Tita nyaris menjerit saking antusiasnya.

Indira mendengus. Kebiasaan sahabatnya ketika melihat laki-laki potensial memang tidak pernah berubah kendati sudah menjadi istri seorang pengusaha kaya raya seperti Arif. "Gue nggak butuh tau dia taken atau nggak, tajir atau nggak. Yang jelas gue diterima di sana dan gue nantinya punya pemasukan. Kalo urusan ganteng, semua laki-laki ganteng, Ta."

"Ck, lo itu kebiasaan sok inosens sih. Flirting dikit lah. Lagian lo bentar lagi pasti jadi janda kembang juga. Cari gebetan dan raih kebahagiaan lo. Jangan kayak laki lo tuh yang nangis-nangis ke gue pengen tau lo di mana."

Bibir Indira seketika itu terkatup rapat kala Tita mulai membawa-bawa nama Anggara. Topik mengenai suami yang sebentar lagi akan jadi mantan suaminya itu memang masih sensitif di telinga Indira.

"Dia ngapain?"

"Dia rutin datengin rumah gue anjir. Lo nggak tau aja, beberapa malem lalu itu parah banget. Dia sampe nangis sujud di depan gue minta gue ngasih tau posisi lo sekarang. Ya gila aja, sampe mati gue juga nggak akan gue kasih tau." Sungut Tita kesal mengingat kejadian beberapa malam yang lalu.

"Terus gimana?"

"Gue terpaksa bilang ke dia kalo gue bakal kasih tau posisi lo asal dia mau tanda tanganin berkas cerai kalian nanti. Heck, abis itu dia kicep dan bubar jalan. Kemaruk banget laki lo, sumpah!"

Indira menarik napas berat. Apa lagi yang membuat Anggara sampai harus memohon seperti itu pada Tita hanya demi keberadaan dirinya? Bukankah kisah mereka sudah usai? Lagipula, suaminya sudah memiliki anak dari perempuan lain. Apa mungkin Anggara berpikir kalau mereka bisa kembali berdamai seperti sedia kala setelah semua yang terjadi?

"Plis, jangan kasih tau di mana gue sekarang, Ta. Gue masih nggak sanggup ngelihat dia." Mohon Indira memelas pada sahabatnya yang kini ikut bersedih.

"Nggak usah sampe mohon gitu, Dir. Gue nggak akan pernah kasih tau di mana lo sekarang ke laki brengsek kaya dia. Hell no!" Janji tersebut sangat melegakan bagi Indira. Ia tahu kalau Tita memang selalu bisa ia andalkan.

"Thanks Ta." Lirihnya tulus.

"Anytime, Dir." Jawabnya. "By the way, gue sempet mikir sih, dengan lo gugat cerai Anggara, bukannya sama aja dengan secara sukarela lo kasihin laki lo segampang itu buat pelakor yang emang bertujuan ngehancurin rumah tangga lo? Terlalu gampang buat itu perek, Dir. Lo kadang mikir nggak sih?"

"Ta, gue bukan perempuan yang mau mempertahankan bangkai cuma demi ego gue yang ngerasa nggak terima karena dikhianati. Oke gue ngaku kalo awalnya gue emang ragu. Tapi setelah gue menjauh dan berpikir, hidup gue terlalu sayang hanya dihabisin buat balas dendam ke laki-laki yang emang udah jelas nggak worth it lagi bahkan sekedar untuk gue lihat wajahnya. Hidup gue cuma sebentar. Gue nggak mau menyia-nyiakan sedetik pun waktu di hidup gue cuma buat ngerasa sakit hati terus menerus. Apalagi gue udah pernah bilang ke Anggara kalo pengkhianatan nggak akan pernah bisa gue maafin. Jadi harusnya, dia paham sama konsekuensi apa yang bakal dia terima kalo main serong."

Tita mendesah lega mendengar kalimat-kalimat tegar yang keluar dari bibir Indira. Paling tidak, ia bisa sedikit tenang karena Indira tidak akan berbuat macam-macam di kesendiriannya di sebuah kota nun jauh di sana.

"Gue lega kalo lo open minded gitu."

Indira berdecak. "Lo aneh deh. Bukannya lo dulu juga salah satu yang maksa gue buat ceraiin dia? Kenapa sekarang lo seolah-olah mikir kalo nunda perceraian itu bakal lebih baik buat bales dendam ke mereka?

Tita meringis. "Sorry, Dir. Otak gue kadang terlalu dramatis, pengennya lo mikir baik-baik buat proses perceraian lo. Bukan karena apa, tapi gue gedeg aja gitu kalo si perek dengan gampang nya dapetin laki lo. Dia bahkan nggak perlu fight mati-matian sama lo. Nggak fair tau nggak sih."

Indira menahan tawa mendengar ucapan Tita yang seolah-olah ia dan perempuan pelacur itu sedang bertanding memperebutkan Anggara. "Lo tau, Ta? Itu semua jelas fair buat gue. Menurut lo, perempuan mana yang bakal tahan sama hubungan yang di dalam nya justru dibayang-bayangi sama perempuan lain? Terlebih, pasangannya jelas mikirin mantan istrinya. Sakit nya lebih daripada gue, Ta. Dan gue, dengan kepala tegak bakal buktiin ke mereka, kalau gue itu wanita yang worth it yang nggak akan terus bersedih setelah pengkhianatan mereka berdua. For me, it's more than fair. Hidup dalam bayang-bayang orang lain itu nggak akan enak. Dan udah saatnya si pelacur itu nerima karma dari segala perbuatannya."

TBC

090321

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang