Hello Goodbye - AD

31.4K 3.1K 360
                                    

"Mau mampir dulu Yah? Biar nanti Anggara bikinkan kopi kalo mau."

Thio menelengkan wajah ketika putranya berucap. "Kamu yang bikinkan kopi? Gundikmu mana?"

Desahan Anggara terdengar begitu lelah sekaligus penuh beban. "Lita lagi jual kue, Yah. Kebetulan hari ini Anggara izin sehari, jadi bisa santai seharian."

Kepala Thio manggut-manggut paham. "Lalu gimana sama anak harammu?"

"Dititipkan sama Bu Ummah, tetangga samping rumah, Yah. Beliau satu-satunya yang mau ngurus Nafta."

"Sekaligus satu-satunya yang memanusiakan gundikmu. Iya kan?"

Tukasan dari Thio tak dibantah oleh Anggara. Memang betul apa yang Ayahnya katakan. Di kompleks ini, hanya Bu Ummah lah yang rela merawat Nafta dan melihat Lita selayaknya manusia, diantara banyak manusia yang mencemooh mereka berdua.

"Beliau baik." Hanya itu yang mampu Anggara timpali untuk perkataan menohok dari Thio.

Kedua lelaki itu lantas membuka gerbang dan Anggara mengeluarkan kunci cadangan dari kantung celana. Seketika harum aroma kue yang dibuat Lita tadi pagi memenuhi penciuman mereka. Harum yang sangat membangkitkan rasa lapar seketika.

"Istrimu bisa jual apa selain jual diri?"

"Ayah." Tegur Anggara, risih karena ucapan Ayah selalu menjurus ke embel-embel predikat pelacur jika mengangkat topik sensitif, yaitu Lita.

"Kenapa? Bukannya bener yang Ayah bilang? Orang berpendidikan itu nggak akan mungkin mau merendahkan diri dengan bermain api dan melakukan zina. Mungkin di tahun dan era modern seperti sekarang, seks sebelum menikah bukan lagi hal tabu. Tapi di mata Gusti, semaju dan semodern apapun, nggak akan ada kata wajar jika itu menyangkut dosa. Dan Ayah rasa, semua agama jelas tidak ada yang mengajarkan untuk berbuat dosa, apalagi perselingkuhan dan zina."

Anggara memilih berlalu sejenak untuk menuju ke dapur, membuat secangkir kopi instan untuk Ayahnya ketimbang ikut berdebat dan berakhir dengan keributan. "Lita jual kue sus, bikin puding roti tawar juga buat di titipin di jajan pasar pagi."

Thio menerima uluran cangkir yang di asongkan oleh Anggara, menyesapnya perlahan dan menemukan rasa yang unfamiliar pada kopi instan yang diseduhkan oleh putranya.

"Kopi instan?"

"Iya Yah. Adanya itu."

Thio manggut-manggut dan kembali menyeruput kopi berwarna krem tersebut. "Jangan sering-sering minum kopi instan kaya gini. Bisa bikin keropos tulang."

"Nggak cuma kopi instan, Yah. Kopi hitam juga sama aja."

Thio meletakkan cangkir tersebut di atas meja anyaman bambu dan menatap putranya geli. "Setidaknya kalo kopi hitam itu pakai gula murni. Kalau kopi instan itu kebanyakan pakai pemanis buatan. Memang lebih enak di awal, tapi ujungnya bisa bikin menyesal karena banyak penyakit. Kaya kamu sekarang ini. Awal selingkuh sama gundikmu kamu bahagia banget, dan lihat sekarang. Kamu menyesal, kan?"

Anggara tersedak kue lapis yang dibeli Lita dari penjual sayur keliling pagi tadu. "Anggara nggak akan pernah menang kan kalo sama Ayah?"

Thio dengan mantap menggeleng pongah. "Nggak akan pernah, karena kamu putraku. Ayah pernah merasakan muda, tapi kamu nggak pernah merasakan tua. Jadi pengalaman Ayah pasti lebih banyak ketimbang kamu."

Keduanya menatap lalu lalang kendaraan dari ruang tamu dengan keheningan. Rasanya, Anggara seperti kembali ke rumah karena bisa bercengkerama dengan Ayah. Entah perasaan Anggara saja atau bukan, tapi tinggal dengan Lita justru membuat Anggara tidak nyaman karena merasakan perasaan asing, seolah Lita adalah sosok orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Sebetulnya ini hal wajar, mengingat mereka hanya berkenalan beberapa saat saja sebelum perselingkuhan tersebut makin berlanjut.

"Lingkungan di sini bagaimana?"

Kening Anggara mengerut. "Maksud Ayah?"

"Kalian berdua kan bukan pasangan suami istri, tapi malah tinggal serumah. Apa tetangga nggak ada yang menggrebek kalian karena tuduhan kumpul kebo?"

Pemikiran ini sesungguhnya sudah kerap kali terlintas di kepala Anggara. Mengenai bagaimana tanggapan para tetangga sekaligus RT dan RW setempat tentang kepindahan Anggara di rumah yang Lita dan putri mereka tempati.

"Sejauh ini belum ada protes, Yah."

"Belum ada bukan berarti nggak ada. Mungkin mereka mikir kalau dengan diamnya mereka selama beberapa saat bakal menyadarkan kalian berdua tentang norma kesusilaan. Tapi mereka bisa bertindak kalau kalian masa bodoh hanya karena mereka diam, Anggara."

Anggara mengeluh bingung. "Anggara belum bisa nikahi Lita dalam waktu dekat, Yah. Butuh banyak pemikiran dan persiapan buat menikah."

Thio menatap Anggara dengan ekpresi pura-pura bingung. "Kenapa harus mikir lagi? Bukannya ini kesempatan kamu? Tujuan kamu setelah bercerai dari Indira kan buat menikahi gundik itu. Terus apa lagi yang mesti kamu pikirin?"

Bibir Anggara membuka dan menutup, namun tak ada sepatah kata maupun kalimat pun yang berhasil ia keluarkan. Ayahnya benar. Apalagi yang ia pikirkan? Bukankah setelah bercerai dia memang sudah seharusnya menikahi Lita? Nafta tidak selamanya bisa menunggu. Semakin ia bertambah besar, semakin sulit pula Anggara nantinya menjelaskan kenapa ia baru bisa menikahi Ibunya saat dia dewasa kelak.

Namun di sisi yang lain, seolah ada tangan tak kasat mata yang menghadang niatnya untuk menikahi Lita. Beragam andai dan juga gambaran akan kehidupan pernikahan seperti apa yang akan ia jalani bersama Lita terasa begitu suram dan gelap. Tidak ada gambaran yang baik dari bayangan kehidupan pernikahan mereka berdua. Dan itu menyesakkan untuk Anggara.

"Anggara bingung, Yah." Keluhnya frustasi. Thio tidak menanggapi, namun mata nya terus mengawasi gerak gerik sang putra. "Ada yang menahan Anggara buat nggak menikahi Lita Yah. Dan rasa itu cukup besar serta mempengaruhi Anggara setiap hari." Keluhnya sedih.

Thio terdiam. Cukup kaget karena putranya saat ini begitu lelah serta rapuh, menanggung beban yang tidak sedikit. Sudah dicap sebagai pezina, sekarang masih harus dibuat bimbang oleh keputusan untuk menikahi selingkuhannya.

"Kalau kamu memang nggak mau menikahi gundik itu, jangan tinggal disini dan semakin bikin banyak orang salah paham."

Anggara menegakkan bahu dan menatap Thio penuh spekulasi. "Maksud Ayah...Anggara boleh pergi dan nggak menikahi Lita?"

"Lakukan kalo memang kamu ingin." Thio mengedikkan bahu enteng. "Tapi ingat, kamu juga akan menyakiti dua wanita sekaligus. Ayah nggak membela gundik itu, tapi Ayah yakin, ada harapan dari gundikmu buat kamu menikahinya secepat yang kamu bisa. Ayah sih nggak masalah, toh bukan Ayah yang mengalami. Ayah punya satu istri aja udah kerepotan jagainnya dari laki-laki lain, gimana bisa buat punya perempuan lain? Di otak Ayah nggak pernah sekalipun kepikiran itu, meski Ayah sempat kesal dan juga jenuh lihat Ibumu. Ayah selalu ingat janji nikah yang Ayah ucapkan ke Ibumu untuk menjaga saat susah dan senang sampai maut memisahkan. Dan itu sudah jadi rem untuk Ayah lirik sana sini."

Ucapan Thio membuat Anggara merenungi makna dibalik ucapan sederhana namun sarat akan sindiran tersebut. Ayah benar. Dalam pernikahan, pasti ada saatnya bagi pasangan itu merasakan kejenuhan, entah di tahun berapa pernikahan itu berjalan. Namun ada sebuah janji pernikahan yang harusnya bisa di jadikan rem cakram untuk pasangan tersebut mencari kesenangan lain di luar pernikahan mereka. Namun janji nikah tersebut rupanya tidak mampu mengerem tindakan Anggara yang mencederai makna sebuah pernikahan.

Bahu Anggara ditepuk pelan oleh Thio, berbarengan dengan bangkitnya lelaki paruh baya itu dari kursi anyaman bambu. "Pikirkan lagi. Jangan sampai kamu berakhir perceraian untuk yang kedua kalinya, meski calon istri keduamu ini sungguh Ayah benci sampai mati."

TBC

Aku lagi projek siapin judul buat di ajuin skripsi, jadi agak lama up. Dan untuk hello goodbye, sebenernya udah ada 4 draf siap kirim buat yang mau. Aku nggak akan bilang ini fast access, tapi kalo yang mau, boleh beli di aku. Sekali kalian join, tiap aku selesai update, bakal kukirim.

Buat yang berkenan aja lho ya. Nggak memaksa, dan nggak usah bilang memanfaatkan keadaan.

Aku tetap up, tapi memang nggak bisa seintens kemarin. Jadi mohon, yg sekiranya nggak berkenan beli, jangan meninggalkan komentar yang bikin sakit hati. Sama2 kita menghormati biar nggak saling menyakiti.

Buat yg berminat, silakan DM untuk lebih lanjut

07 April 2021

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang