Kokok suara ayam membangunkan Indira dari tidur lelapnya. Ia mengerjap berulang kali dan mencoba meregangkan otot nya. Semalam adalah tidur ternyenyak yang bisa ia rasakan selepas prahara rumah tangganya yang selama ini nyaris membuatnya gila.
Wanita itu hampir saja memekik ketika tanpa sengaja matanya melihat siluet seseorang yang tengah tertidur lelap di area belakang tubuhnya, meski sosok tersebut tertidur di sofa dan bukan di ranjang yang sama dengan yang ia tempati.
Napas Indira memburu karena adrenalin yang dipaksa bangkit pagi-pagi buta seperti ini. Indira tahu kalau sosok tersebut adalah Bram. Karena siapa lagi yang bisa tidur dan masuk di kamar yang ditempatinya kalau bukan si empunya rumah? Kalaupun itu pencuri, akan sangat kurang kerjaan sekali jika mereka menyempatkan tidur di rumah calon korbannya.
Perlahan-lahan, napas memburu Indira kembali teratur setelah beberapa kali menarik dan mengembuskan napas untuk menenangkan diri. Ia memilih untuk segera bangkit dan melipat selimut sebelum melangkah mendekati sosok yang tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.
Jujur saja, benak Indira pagi ini dipenuhi oleh bermacam-macam spekulasi karena menemukan sosok Bram yang bukannya tertidur di kamar pribadinya sendiri, tapi malah memilih tidur beralaskan sofa sempit dan berada di kamar yang ia tempati semalam. Apa kiranya motif di balik keputusan bodoh Bram yang memilih sofa alih-alih kasur?
Mulanya, Indira ingin membangunkan Bram dan menanyakan apa alasan lelaki itu tertidur bersamanya, namun ketika mendengar dengkur halus Bram, rasa tak tega segera mengambil alih keputusan Indira. Ia memilih diam dan mengamati sosok tenang Bram yang tengah tertidur. Helaan napas terhembus pelan dari bibir Indira. Ia harus tahu batasan. Kendati wajah Bram luar biasa indah bahkan di saat lelaki itu terlelap, tapi Indira lagi-lagi menyadarkan diri kalau untuk saat ini, ia tidak ingin berurusan dengan makhluk bernama lelaki. Sudah cukup rasa sakit yang ditorehkan oleh Anggara di hidupnya. Ia tidak mau lagi berurusan dengan perasaan bernama cinta yang begitu rumit dan membingungkan.
Dengan pemikiran tersebut, Indira akhirnya memilih keluar dari kamar untuk menuju dapur. Ia tahu adab ketika menginap di rumah seseorang. Dan menjadi pemalas bukanlah salah satu daftar yang ada di tata cara bertamu yang baik.
Berjalan menggunakan insting untuk mencari area dapur, Indira dibuat lega saat tahu kalau letak dapur tepat bersisian dengan letak taman area belakang. Dan saat Indira tiba, sosok Mbok sudah berkutat di dapur dengan mencuci beras dan memasaknya secara tradisional.
"Pagi Mbok." Sapa Indira ramah. Mbok terlihat kaget, namun dengan cepat membalas sapaan dari Indira.
"Pagi Non. Oalah, masih pagi kok udah bangun, Non?"
Kening Indira mengernyit aneh saat mendengar panggilan yang disematkan oleh Mbok untuknya. "Panggil Dira saja ya Mbok. Jangan panggil Non. Saya cuma tamu di sini." Pinta Indira lembut sambil menawarkan sebuah senyum teduh yang membuat Mbok terpana melihatnya.
Pantesan wae si aden kesengsem, lha wong ngguyu wae ayu tenan. (Pantas saja aden sampai kepincut, orang ketawa saja cantiknya kaya begini.)
"Tapi Non, itu kedengeran nggak sopan." Geleng Mbok bergantian mengernyit tak nyaman.
"Saya lebih muda dari Mbok, nggak ada kata sopan dan nggak sopan, Mbok." Kekeh Indira yang lagi-lagi membuat Mbok terpana. Wanita paruh baya itu tak bisa mengelak karena seakan terhipnotis oleh sosok ayu Indira. Bahkan ketika wanita itu mendekat dan mencoba melihat sekeliling, Mbok masih saja terlihat linglung.
"Mau masak apa pagi ini Mbok? Dira bantu, ya?"
Mbok tergagap dan malah nyengir karena malu tertangkap basah sedang mengamati Indira. "Ehm anu non, biasanya buat sarapan, aden sukanya menu yang tumis-tumis. Menu berat gitu non."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Goodbye
General FictionVERSI LENGKAP TERSEDIA DALAM BENTUK PDF Tentang Anggara yang meratapi penyesalannya, dan tentang Indira yang berusaha membangun hidup barunya.