Hello Goodbye - Y

30K 3K 248
                                    

Hari ini adalah hari yang berat untuk Anggara. Semua yang akan ia jalani pada hari ini seolah hampa dan menyakitkan karena ia terpaksa mengingat dan harus menghadiri sidang keempat perceraiannya dengan Indira. Pada beberapa sidang sebelumnya, Anggara bahkan sudah dijemput oleh Thio untuk bersama-sama berangkat menuju pengadilan.

Pagi ini pun sama. Thio sudah menunggu di luar dan enggan masuk ke rumah kontrakannya bersama Lita. Namun hal itu rupanya justru dipandang lain oleh Lita yang senang karena sebentar lagi ia akan berstatus sebagai duda.

"Coba dari dulu kamu cerai sama dia, kan nggak sampe gini kejadiannya. Kita nggak akan melarat dan kamu bisa tetap jadi pemilik perusahaan Ayahmu." Cerocosnya sambil menyiapkan sarapan nasi uduk yang tadi sempat ia beli di warung depan gang.

Anggara membisu, tak sepatah kata pun terlontar untuk menanggapi cerocosan Lita yang malah makin menurunkan mood nya yang sudah buruk sejak pagi. Ia meraih sendok dan memakan nasi uduk sarapannya layaknya mengunyah dan menelan batu.

"Aku cuma beli dua bungkus Mas. Ayahmu nggak usah makan deh. Kan pasti Ibumu udah masak dirumah." Lagi-lagi celotehan Lita tak mendapat sambutan dari Anggara yang mati-matian menahan rasa sesal dan juga amarah.

Dulu, selapar apapun Indira, sejauh manapun Indira membeli makanan, calon mantan istrinya itu tidak akan pernah membiarkan Ayah dan Ibunya kelaparan jika berkunjung, meskipun Ayah dan Ibunya sudah makan sekalipun. Indira lebih baik kelaparan ketimbang tidak memberi sajian untuk kedua mertuanya. Sangat kontras jika dibandingkan dengan Lita yang memang masih kekanakan dan juga egois.

Anggara merasakan pecutan sakit di hatinya jika mengingat kembali bagaimana berbaktinya Indira sebagai seorang istri dan juga menantu. Sosok wanita yang sangat diidamkan oleh lelaki manapun, termasuk dirinya, jika saja tidak tergoda rayuan setan.

Hanya menyuap beberapa sendok, Anggara lebih memilih meletakkan nasi uduknya dan segera bergegas menemui Ayahnya setelah berpamitan dengan Lita yang enggan mengantarnya ke depan karena malas harus bertemu Thio.

Anggara pun tak ingin membuang tenaga dengan mengajak Lita berdebat hanya karena masalah seperti itu. Pikirannya lebih terfokus pada putusan hakim hari ini yang ternyata lebih cepat karena ketidak hadiran Indira dalam menjalani proses cerai mereka.

Mobil yang dikendarai langsung oleh Thio membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Lelaki paruh baya itu nampak santai mengantarkan sang putra dalam menyambut status barunya.

"Mana gundikmu? Nggak mau ketemu Ayah?"

Anggara lagi-lagi hanya bisa terdiam tanpa menjawab. Namun sebagaimana insting orangtua yang nyaris selalu benar, Thio pun tertawa karena dugaannya tepat pada sasaran.

"Kamu lihat kan sekarang? Semua itu akan selalu menampilkan yang manis-manis kalau masih dalam proses mendekat dan mendapatkan. Tapi begitu apa yang diinginkan sudah berhasil di dapat, baru terlihatlah gimana asli sifatnya. Begitupun gundikmu itu."

Mata Anggara memejam. Sebetulnya, kata-kata Ayahnya jelas sangat relevan dengan sifat dan sikap Lita yang sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi sopan dan santun dalam sikapnya dan juga tutur katanya.

"Ayah benar." Lirih Anggara. "Semua seakan semu, Yah. Lita bukan lagi Lita yang dulu saat aku baru mengenalnya. Dia berubah kasar dan juga tidak menghormatiku."

Thio tersenyum kecil dan menggeleng miris. "Kamu buang berlian seperti Indira cuma demi segenggam batu, nak. Tapi Ayah bersyukur, lewat ini semua, kamu pasti banyak belajar bagaimana untuk menghargai pasanganmu kelak."

Kedua lelaki berbeda generasi itu hanya bisa terdiam dengan pikiran yang sama-sama mengelana. Sepanjang perjalanan, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Seolah menyimpan tenaga untuk menghadapi sidang yang kemungkinan besar akan memberikan keputusan akan biduk rumah tangganya hari ini.

"Anggara minta maaf, Yah karena pasti udah ngecewain Ayah dan Ibu lewat perpisahan ini. Kalau waktu bisa diputar, Gara nggak akan mau terlena sama kebahagiaan semu."

Thio menepuk bahu putranya dengan tangan kirinya yang bebas dari kemudi mobil. "Yang jelas, sekarang kamu fokus untuk membayar semua perbuatan kamu aja. Nggak ada guna nya lagi menyesali hal yang sudah terjadi. Sekarang, mau nggak mau, suka nggak suka, kamu mesti mempertanggung jawabkan apa yang sudah kamu hancurkan, termasuk hidup gundikmu itu."

"Apa itu artinya Ayah merestui hubunganku sama Lita?" Tanya Anggara sangsi.

"Perihal merestui, kamu harusnya tau apa jawaban Ayah. Selamanya hanya Indira yang Ayah anggap sebagai menantu dan juga anak perempuan yang nggak pernah Ayah dan Ibu punya. Jangan tanyakan lagi mengenai Lita ke Ayah maupun Ibumu karena dia cuma perempuan kejam yang bisa mendapatkan pasangan hasil dari merebut lelaki milik perempuan lain. Ayah bukan orang yang bisa menoleransi pengkhianatan.".

Anggara menunduk perih. Menikah tanpa restu orang tua jelas bukan pernikahan impian, apalagi menikah setelah bercerai karena perselingkuhan. Ditambah lagi jika wanita yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya bersama Indira kini berubah seratus delapan puluh derajat. Kasar dan juga tidak memiliki sopan santun yang baik, bahkan dengan orangtua nya sendiri.

"Jadi, apa kamu udah dapat kerja?"

Pertanyaan Ayah sesungguhnya sederhana dan juga diucapkan dengan kata-kata berintonasi biasa, namun ego Anggara lagi-lagi terusik sebagai lelaki. Dengan membuang wajah, Anggara lantas menjawab singkat pertanyaan Ayahnya.

"Sudah Yah."

"Oh ya? Di mana nak?"

Anggara mendengus, namun tak kuasa mencoba mengonfrontasi Ayahnya. "Dealer. Sales lapangan."

Thio manggut-manggut mengerti. "Good start. Itu sudah sangat bagus buat permulaan. Ayah dulu waktu pertama kali merintis cuma kerja di fotokopian. Gajinya bahkan dibawah seribu rupiah, tapi nyatanya Ayah tetap bisa membesarkan kamu dan juga membangun perusahaan Ayah."

Anggara menahan gumpalan air mata ketika mendengar kembali kisah hidup yang dijalani Ayah beserta Ibunya. Rasanya begitu malu dan sedih karena setelah semua kenikmatan yang ia terima, kebahagiaan yang mudah ia raih, serta harta yang mudah ia cari, kini seolah mengolok-olok dirinya yang harus bersusah payah ditengah terik matahari demi mencari customer.

"Menangis nggak akan bikin kamu terlihat kemayu, Anggara. Menangislah kalau sekarang kamu menyesali semua perbuatanmu dan juga takdirmu. Menangis itu manusiawi dalam menjalani takdir hidup."

Ucapan Thio agaknya sangat kuat memecah batu embun yang sejak tadi betah bertahan di pelupuk Anggara. Sebuah tetes kecil mengawali tetes besar air matanya yang lain karena penyesalan. Mulanya hanya isak lirih, namun saat ini, mobil yang dikendarai Thio bahkan sudah riuh karena raung tangis penyesalan Anggara dalam segala hal di hidupnya. Menangis lepas tanpa sekalipun ditahan.

Thio menatap putranya dengan air mata tertahan. Tidak apa, ini adalah salah satu pecut yang harus dirasakan Anggara paling tidak sekali saja selama hidupnya agar kelak putranya bisa lebih kuat dan menghargai apa yang ia punya. Sebagai orang tua, meski dikecewakan, Thio hanya bisa selalu berdoa untuk Anggara. Semoga kelak anaknya akan bahagia dengan takdir yang sudah dipilihnya.

TBC

270321

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang