Hello Goodbye - AF

30.9K 2.9K 144
                                    

Indira benar-benar tak menyangka ketika membuka pintu dan menemukan tamu yang hadir tak lain dan tak bukan adalah Bram. Bagaimana bisa lelaki ini mengetahui kamarnya? Apa ia dibuntuti?

"Saya masuk ya? Udah laper nih." Tanpa membutuhkan izin, Bram segera melepas sepatunya dan memasuki kamar indekos Indira sembari mendorong lembut tubuh kaku Indira dari mulut pintu.

Matanya mengawasi sekeliling, melihat kalau kamar tersebut cukup layak dan juga memiliki fasilitas yang baik untuk sekelas kamar kos.

"Kamar kamu nyaman banget, Indira."

Indira meraih kantung belanja dari tangan Bram dan meletakkannya di atas meja dekat kompor. "Tapi nggak senyaman kamarnya dokter, kan?"

Bram tidak mengacuhkan ucapan Indira. Ia memilih membuka jendela dan menyingsing lengan kemeja nya hingga ke siku. Tak lupa membuka dua kancing teratas kemeja nya.

Ketika Indira berbalik, hanya kerjapan serta dengusan lirih lah yang bisa ia ekspresikan atas keindahan ciptaan Tuhan yang tersemat dengan apik di tubuh Bram.

"Dokter mau masak apa? Biar saya bantu."

Bram terpekur sejenak untuk berpikir. "Kamu doyan sup buat makan malam? Saya lagi pengen yang kuah-kuah nih."

Indira mengangguk dan segera mengeluarkan beberapa belanjaan yang dibutuhkan sebagai pelengkap sayur sup. Ia meraih tiga biji wortel, dua biji kentang, setengah kubis, setengah kol putih, dua lembar daun bawang serta beberapa bakso dan ayam.

"Dokter mau pakai seledri nggak buat sup nya?"

"Ngg, saya sebenernya nggak terlalu suka aroma seledri, tapi kalo kamu suka, tambahin aja nggak apa-apa."

Indira lagi-lagi mengangguk, dan memutuskan untuk men-skip daun seledri. Ia membuka plastik pembungkus bawang putih dan mengupas, lalu melumatnya bersamaan dengan pala dan lada.

Ia memotong wortel dan kentang untuk direbus terlebih dahulu bersamaan karena teksturnya yang cenderung keras dan membutuhkan waktu lama untuk matang sempurna. Ayam pun tak lupa ia masukkan setelah wortel dan kentang sudah setengah matang agar mendapat kaldu yang lezat untuk sajian sup nya.

Bram menatap Indira tanpa berkedip dari belakang. Indira begitu cekatan dalam urusan dapur. Tangannya seolah bisa bergerak sendiri dan tidak melakukan satu kesalahan pun dalam aksi memasaknya. Rencana nya memasakkan makanan untuk Indira kini hanya tinggal wacana. Semua justru bisa di handle dengan apik oleh Indira.

"Dokter biasanya suka sup di kasih gula apa nggak?"

Lamunan Bram terpecah ketika tubuh Indira berbalik dan menatapnya lekat. Wajah Bram seketika merah padam karena tertangkap basah sedang menatap intens Indira.

"Eh..itu..saya nurut kamu aja. Kamu biasanya pakai gula nggak?"

"Kalau saya sih masak sup nggak pernah saya kasih gula, Dok. Saya...kurang suka sajian sup yang umami. Lebih familiar sama yang gurih."

Bram tersenyum dan mengangguk. "Kalau gitu gurih aja sup nya ya."

Indira mengerti dan berbalik untuk memasukkan bumbu halus tadi ke dalam kuah sup yang mendidih. Ia mengaduk beberapa saat sebelum kubis dan kol putih ia masukkan secara bersamaan pada tahap akhir. Tak lupa potongan daun bawang serta bakso pelengkap.

"Kamu irisin bawang merah? Buat apa?" Tanya Bram bingung ketika penasaran melihat Indira memotong-motong cepat bawang merah.

Senyum Indira terlihat begitu cantik dan lepas, seolah memasak adalah salah satu kegiatan favoritnya.

"Sup lebih enak kalau diberi bawang goreng, Dok."

Kening Bram mengernyit. "Kenapa nggak pakai bawang goreng siap saji aja? Bukannya lebih mudah?"

Indira menggeleng tak setuju. "Kalau pakai bawang merah siap saji, kita nggak bisa ambil minyak bawang nya, Dok. Ibu saya bilang, pakai bawang goreng yang kita goreng sendiri lebih bagus karena sisa minyak menggoreng nya bisa kita pakai sedikit untuk melezatkan sup nya."

Bibir Bram membulat, baru tahu satu trik yang selama ini tak pernah ia lihat dari teknik memasak Mbok di rumah.

"Dokter bisa ambilkan mangkuk?"

"Udah matang ya?" Tanya Bram sambil menuju ke kabinet mini di atas kompor untuk meraih mangkuk sesuai arahan Indira.

"Udah nih." Suara Indira sedikit tersamar karena riuh suara minyak panas yang sedikit dipindahkan ke panci berisi sup. Indira tersenyum puas dan segera memindahkan sup tersebut ke dua buah mangkuk untuk dirinya dan juga dokter Bram.

Bram membantu Indira membawa mangkuk tersebut ke atas meja kecil yang dibeli Indira khusus sebagai meja serbaguna. Sedangkan Indira sendiri menuang air putih ke dalam dua gelas tinggi untuk di bawa juga menuju meja makan mereka.

Tanpa basa basi, Bram segera menyuap sup tersebut dan seketika itu juga dirinya terdiam. Mata nya mengerjap dan dengan senyum lebar ia segera melanjutkan suapannya dengan lahap.

"Enak, Dok?"

Bram menatap Indira seolah ia adalah alien aneh. "Ini bukan lagi enak, tapi luar biasa!" Pujinya sambil kembali menyuap sup nya dengan suka cita. "Gimana bisa rasanya seenak ini hanya karena tambahan minyak bawang?"

Indira terkikik ketika Bram melahap rakus semangkuk sup panas tersebut yang bahkan habis kurang dari sepuluh menit. "Ini padahal resep dapur saya lho Dok. Tapi ya sudahlah, saya bagikan secara cuma-cuma ke dokter. Lain kali, minta Mbok pakai cara ini kalau mau makan sup lagi."

Indira meraih mangkuk yang diulurkan oleh Bram untuk kembali mengisi mangkuk tersebut dengan sup.

"Kalau saya mau sup lagi, saya bakal minta kamu masakin buat saya." Tukasnya tanpa ragu dan penuh semangat ketika melahap sup panas yang baru saja di isi ulang oleh Indira.

Senyum Indira perlahan lenyap ketika lagi-lagi dokter Bram berbicara yang tidak-tidak. Setiap ucapannya seolah memiliki makna tersembunyi di baliknya yang Indira sendiri takut untuk menerka.

"Ini mudah kok, Dok. Mbok pasti bisa."

"No." Bram menggeleng tak setuju. "Saya mau nya kamu yang masak, Indira."

"Tapi Dok, saya..."

"Apa kamu tau kalau berbeda tangan yang memasak juga akan berbeda pula hasil akhir rasanya? Mbok memang bisa memasak, tapi beliau belum tentu bisa menyajikan cita rasa yang mirip seperti buatanmu, begitupun sebaliknya. Kamu juga belum tentu bisa menyajikan cita rasa seperti yang Mbok masak."

Indira menatap Bram dengan tatapan resah. "Dok, sebenarnya..ah nggak. Nggak jadi."

Bram meletakkan sendok nya dan menangkup jemari bergetar Indira. "Saya tau kamu paham, Indira." Lirih Bram lembut. "Dan saya nggak perlu lagi susah payah menjelaskan ke kamu tentang semua ini."

Wajah Indira makin pias. Makna di balik ucapan Bram tentu membuat dirinya resah. Apakah ini artinya...dugaannya benar sepenuhnya?

"Tapi...saya...jangan saya, Dok." Cicitnya panik. Bram lagi-lagi tersenyum penuh pengertian.

"Saya nggak memaksa, Indira. Tapi jangan larang saya untuk berusaha, ya. Saya nggak mau kalah bahkan sebelum berperang. Bisa kamu berikan kesempatan itu untuk saya?"

TBC

180421

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang