Indira mendatangi rumah Bram pada pagi hari sebelum ia terpaksa mengikuti sidang mediasinya via online karena keberadaannya yang jauh dari tempat dilaksanakannya sidang cerai tersebut.
Bram yang baru hendak pergi ke rumah sakit tempat nya bekerja tentu saja dibuat heran oleh kedatangan Indira. Lelaki itu lantas mempersilakan Indira untuk masuk dan mengobrol sejenak. Mendengarkan apa tujuan wanita itu datang di pagi hari seperti ini.
Bibir Bram terkatup rapat kala rungu dan otaknya menerima dan mencerna kata per kata yang diutarakan Indira sebagai alasan kedatangannya kali ini. Wanita yang selalu berhasil meningkatkan ritme irama jantung nya rupanya ingin izin tidak bekerja sehari karena sidang perceraian yang akan dilaksanakan siang nanti.
Sebetulnya, sidang itu bahkan bisa usai sebelum jam kerja klinik mandirinya dibuka, namun Bram paham kalau Indira pastilah butuh waktu untuk menenangkan diri pasca menghadapi sidang perceraian yang ia tahu tidak akan pernah mudah untuk dijalani.
"Kamu yakin mau datang ke sidang itu? Setau saya, dengan ketidak hadiranmu itu justru bisa mempercepat proses cerai yang sudah kamu ajukan."
Indira tahu hal itu. Tapi ketika mengingat lagi petuah dari Ayahnya, mau tidak mau Indira tidak bisa bersikap seperti pengecut yang lari, bahkan di sidang perdana perceraian mereka.
"Saya hanya datang di sidang ini saja, Dok. Selebihnya saya percayakan ke sahabat saya yang mengurus di Jakarta." Ujar Indira yakin.
Bram mengangguk paham dan menatap Indira lekat. "Sebetulnya kamu nggak perlu sampai izin seperti ini sama saya. Kamu pasti jalan kaki kan ke sini?"
Kepala Indira menunduk malu dan mengangguk pelan, memancing sebuah dengusan kesal dari Bram. "Kamu capek kan jadinya!" Decaknya sebal. "Mana ponselmu?"
Indira tak paham dengan arah pembicaraan Bram yang tiba-tiba saja meminta ponselnya secara paksa. Namun anehnya, Indira sama sekali tak sanggup menolak. Dengan pasrah, ia merogoh kantung jaketnya dan mengulurkan ponsel berwarna putih itu pada Bram yang menerima nya dengan raut cemberut. Jemarinya dengan mudah membuka ponsel Indira yang memang tidak pernah diberi keamanan berupa kata sandi.
Tak lama berkutat dengan ponsel nya, Indira lantas bisa mendengar suara dering ponsel dari kantung kemeja Bram. Hanya sesaat, sebelum dering tersebut berhenti total dan Bram mengembalikan ponselnya.
"Kamu simpan nomor saya. Ingat, kamu harus selalu telepon saya kemanapun kamu mau pergi. Ke minimarket, ke supermarket, atau bahkan sekalipun kamu mau ke Malioboro. Biar saya yang anter. Jangan pergi sendirian."
Kedua alis Indira menyatu, merasa heran kenapa Bram harus berkata seperti itu padanya. "Maaf Dok, memang nya buat apa saya telpon Dokter? Saya bisa sendiri kok. Supermarket jaraknya cuma beberapa bangunan dari indekos saya, mini market malah dekat banget. Lagipula, saya juga nggak mau ke Malioboro, saya mendingan...."
"Ck, sudah, nurut aja sama saya, Indira. Itu semua juga demi kebaikan kamu nanti. Jogja, meskipun kota budaya dan pariwisata, tapi kejahatan juga nggak bisa dianggap remeh, meski nggak semengerikan ibukota. Kamu wanita, dan kamu sendirian. Sudah jadi tanggung jawab saya untuk selalu menjaga kamu."
Bibir Indira terkatup rapat. Ucapan Bram agaknya sudah bisa ia pahami ke mana arahnya. Sebetulnya Indira sudah bisa merasakan keanehan sejak beberapa hari lalu. Namun, ia mencoba berpikir positif dengan menganggap kalau itu hanya prasangka nya saja. Namun semakin hari, tingkah Bram semakin meyakinkan Indira akan alasan di balik tingkah protektif yang lelaki itu berikan untuknya. Bram memiliki rasa untuknya. Ya, Indira sangat yakin akan hal itu.
Jantungnya bergemuruh, campuran antara rasa senang, namun juga takut sekaligus cemas. Entah bagaimana, Indira bisa merasakan setitik bahagia ketika sadar kalau Bram menyimpan rasa untuknya. Namun di sisi lain, ada cemas sekaligus takut untuk kembali bermain rasa dengan lelaki. Indira takut disakiti lagi.
"Dokter nggak perlu bertanggung jawab sama saya." Ucapnya tenang. "Saya sudah sangat amat dewasa. Saya bisa menjaga diri dan juga saya nggak ingin merepotkan dokter. Kegiatan seorang dokter pasti selalu padat dan nyaris nggak memiliki waktu istirahat. Dan saya nggak mau semakin menambah beban kerja dokter. Saya juga nggak akan pergi ke mana-mana kok Dok. Jadi tenang saja ya."
Mata Bram sangat terlihat ingin mendebat Indira. Ada ketidak sukaan yang kentara dari wajah tampan berkacamata itu. "Indira, yang perlu kamu tau adalah, kamu bukan dan nggak pernah saya anggap sebagai beban. Justru dengan kamu menolak dan berusaha jadi wanita independen seperti inilah yang menambah beban saya. Kamu ngerti nggak sih?" Bram frustasi. Ia bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri yang sudah susah payah ia tata dengan sedikit polesan pomade.
Dan hal itu tak lepas dari tatapan kaget Indira karena melihat satu sisi Bram yang sebelumnya tidak pernah ia ketahui setelah nyaris dua minggu ia mengenal Bram. Bram di pikirannya adalah sosok lelaki tenang dan mampu mrngontrol emosi, bukan lelaki yang suka mengeluh dan melampiaskan kesalnya lewat tindakan-tindakan yang tidak perlu seperti ini.
"Dok, tolong jangan di jambak lagi rambutnya." Jemari kecil Indira berupaya memisahkan jambakan jemari Bram yang sejak tadi terus bersarang di rambut cepaknya yang berkilau. Dengan perlahan, Indira berhasil melepas cengkeraman itu dan membuka jemari Bram yang tadi terkepal karena meremas rambut-rambutnya sendiri.
Indira berdiri di depan Bram yang terduduk dengan kepala tertunduk. Jemari lentiknya lantas berlabuh di atas kepala Bram dan menyugar rambut yang sudah berantakan itu agar sedikit rapi dan tertata dengan sisiran jemarinya.
Bram menahan napas. Sentuhan kulit Indira di kulit kepalanya lagi-lagi menimbulkan gelenyar mirip setruman listrik yang mengaktifkan seluruh kinerja syarafnya. Terasa hangat dan lembut di saat yang bersamaan. Dan anehnya, hanya dengan gerakan ringan seperti itu saja, kecemasan serta kefrustasian yang tadi sempat Bram rasakan, seketika lebur dan menghilang begitu saja.
Tanpa sadar, Bram menyandarkan keningnya pada perut Indira karena posisi tubuh mereka yang berhadapan. Sama sekali tidak tahu akan reaksi kaget dan gelisah yang kini Indira rasakan. Bram justru makin menyurukkan kening dan terkadang pipinya pada permukaan perut Indira yang lembut.
"You're a bad girl, Indira." Gumam Bram tanpa sadar. Ia seolah berada di ruang dan waktu yang berlawanan dengan Indira. Tanpa sungkan berceloteh pelan bahkan menyebut Indira sebagai gadis nakal. "Gimana bisa kamu bikin saya sampai segini frustasinya."
Indira diam dan tidak menginterupsi apapun terhadap perkataan Bram. Ia masih berusaha mencerna sikap Bram yang tiba-tiba berubah begitu drastis dengan tingkah laku dan juga ucapan yang sangat bukan Bram sekali.
Di otaknya, Indira terus menelurkan beberapa spekulasi akan tingkah laku Bram pagi ini. Apa sesungguhnya, inilah sifat asli seorang Bramantya Bumiputera? Dan apakah Bram memang memiliki sikap cenderung protektif dan...kekanakan seperti ini?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Goodbye
General FictionVERSI LENGKAP TERSEDIA DALAM BENTUK PDF Tentang Anggara yang meratapi penyesalannya, dan tentang Indira yang berusaha membangun hidup barunya.