Bram menatap Indira yang tengah sibuk membantunya membereskan area klinik ketika sudah waktunya tutup praktek dengan tatapan resah. Jujur saja, sejak hari di mana Indira datang menemuinya, yang berarti sudah seminggu yang lalu, Bram terus saja dihantui perasaan asing yang hinggap tanpa tahu waktu.
Pagi membuka mata, dia teringat Indira. Siang ketika beraktivitas, dia teringat Indira. Bahkan malam sebelum tertidur pun hanya wajah Indira yang selalu membayang di kepalanya. Bram frustasi terus terang saja.
Jika membicarakan tentang Indira, Bram jadi teringat insiden beberapa malam yang lalu ketika ia insomnia dan kesulitan tidur karena sore sebelumnya terpana melihat wajah Indira yang nampak segar karena dikuncir kuda. Lehernya yang jenjang begitu indah untuk dipandang. Dan sebab itulah yang membuatnya insomnia bahkan galau bak remaja di tengah malam yang sunyi.
"Lho, aden belum tidur?"
Bram menoleh terkejut yang juga sama di rasakan oleh Mbok ketika melihat majikannya justru masih meminum susu dan memakan beberapa keping biskuit susu. "Saya belum bisa tidur, Mbok." Jawab Bram dengan cengiran layaknya remaja yang tertangkap basah oleh ibunya sedang mengendap-endap mencari makanan.
Mbok terkekeh dan ikut duduk di kursi tinggi bersisian dengan Bram yang mengulurkan biskuit susu untuk Mbok.
"Tumben aden susah tidur. Biasanya aden cepat istirahat kalau sudah tutup praktek." Mbok mengambil sekeping biskuit susu tersebut dan mengunyahnya nikmat.
Bram mendengus lesu. "Nggak tau nih Mbok. Sejak Indira dateng, saya memang jadi susah istirahat." Keluhnya tanpa sadar. Mbok tentu saja kaget. Namun kekagetan itu berbarengan dengan rasa antusiasme juga, mengingat selama ini majikan tampannya nyaris tidak pernah berhubungan dengan wanita.
"Lho, memang apa hubungannya Den sama Mbak Indira? Apa dia menyusahkan aden sewaktu praktek?"
Bram menggeleng mantap. "Sama sekali nggak merepotkan Mbok. Malah saya sangat terbantu soalnya Indira itu sosok yang cekatan dan juga pekerja keras. Dia bahkan berhasil bikin anak-anak nggak nangis waktu saya mau suntik." Terang Bram yang tanpa sadar justru terlihat menerawang kejadian beberapa malam lampau dengan senyum kecil yang terbit di bibir merah tipis nya.
Mbok tersenyum-senyum geli melihat majikannya yang sedang kasmaran. Meskipun Mbok adalah sosok orang kuno, namun wajah dan mata seseorang adalah salah satu tombak penilaian Mbok kepada semua orang yang pernah berinteraksi dengannya. Mulut boleh berbohong, namun mata tidak akan pernah bisa berakting layaknya mulut manusia yang super profesional dalam mengimprovisasi antara kenyataan dengan kebohongan.
"Baik ya Den orangnya?"
"Baik banget Mbok." Sahut Bram sambil tersenyum bodoh membayangkan bagaimana pribadi Indira.
"Sabar juga nggak Den?"
"Super sabar, Mbok. Anak-anak aja sampe ikut terpesona sama Indira."
Mbok terkikik tanpa suara melihat majikannya masih dalam mode halu yang tidak disadari lelaki itu. "Kalo gitu semua orang suka dong sama Non Indira."
"Pasti. Dia orang yang luar biasa, Mbok."
"Kalo gitu, aden juga suka ndak sama non Indira."
"Su..." Bram terdiam sejenak dan seketika itu wajahnya terlihat horor menatap Mbok yang sudah terbahak-bahak melihat raut wajah majikannya ini. Bram mengerang dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja pantry dengan rasa malu yang menggerogoti.
"Sudah Den, jujur aja. Mbok juga ndak apa-apa kok kalo aden suka sama Non Indira. Wong anake baik gitu." Kekeh Mbok ketika melihat raut wajah Bram yang memerah sempurna karena tertangkap basah mengutarakan apa yang ia rasakan, meski dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar.
Bram sendiri akhirnya hanya bisa memalingkan wajah karena malu luar biasa. Ini semua memang membuatnya kebingungan. Kedatangan Indira menimbulkan riak baru di ritme hidupnya yang biasanya datar dan teratur. Sudah lama sekali Bram tidak merasakan hal-hal remeh seperti berdebar hanya karena mengingat nama nya. Atau bahkan sulit tidur hanya karena terbayang wajahnya. Semua memang rumit dan membuatnya kalang kabut menata kembali ritmenya.
"Dok...dokter Bram."
Lamunan Bram terputus ketika Indira mencolek pelan bahunya. Tanpa sadar, Bram melamun terlalu lama. Indira yang terakhir kali tengah membantunya merapikan area praktek, kini sudah rapi dan siap untuk pulang. Durasi yang tidak bisa dibilang singkat untuk kegiatan melamun.
"Ah...iya..iya. Ada apa Indira?"
Indira menahan senyum melihat wajah kaget sekaligus malu yang berusaha disamarkan oleh Bram. Sisi lain dari si sempurna Bram rupanya lumayan membuatnya gemas juga.
"Semua sudah beres, Dok. Apa saya sudah boleh pulang?"
Bram mengerang dalam hati. Ia masih ingin bersama Indira lebih lama lagi. Ia masih ingin membuktikan seberapa besar pengaruh Indira untuk siklus tidurnya yang belakangan ini terus saja kacau karena sosok wanita di hadapannya.
"Malam ini kamu menginap saja ya?"
Bram dan Indira sama-sama kaget mendengar ucapan itu. Jangankan Indira, Bram saja yang berbicara sampai syok berat ketika menyadari apa yang sudah bibirnya ucapkan. Bram lantas memejamkan mata karena malu. Ia sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Sedangkan Indira sendiri berdehem canggung dengan sesekali melirik Bram yang masih diliputi keterkejutan.
"Sebelumnya terima kasih atas tawarannya, Dok. Tapi lebih baik, saya pulang saja. Tidak enak merepotkan dokter, pun tidak enak dengan tanggapan para tetangga nanti." Tolak Indira halus. Namun apa yang sudah terlanjur Bram ucapkan, tidak akan semudah itu untuk ia tarik kembali pernyataannya.
Dengan otak cerdasnya, Bram berupaya beralibi demi menahan Indira. "Saya lagi malas pergi, Indira. Dan sekarang sudah nyaris jam sebelas, yang mana artinya, saya nggak akan membiarkan kamu untuk pulang sendirian. Hal itu nggak ada di dalam kamus cara menjadi lelaki sejati." Gerutu Bram berupaya mempertahankan argumennya.
"Ehm, saya bisa pulang sendiri kok Dok. Nggak apa-apa, toh kosan saya juga dekat. Cuma butuh lima..."
"Kalo dalam rentang waktu lima belas menit itu kamu sampe di klitih atau sampe di bawa ke tempat sepi dan diperkosa gimana? Sudah, kamu nurut saja sama saya. Saya capek, mau tidur. Ayo ikut saya."
Indira ingin sekali menggerutu karena sikap seenak jidat Bram yang kali ini langsung menyeretnya tanpa mempedulikan pendapatnya. Indira jelas kesulitan untuk memberontak dalam genggaman erat tangan besar Bram yang melingkari pergelangan tangannya yang mungil.
Ia dibawa menuju sebuah kamar yang letaknya ada di bagian tengah rumah inti. Kamar dengan pintu beraksen pewayangan yang di ukir apik di atas kayu jati tersebut.
"Kamu tidur di sini. Kamar saya ada tepat di sebelah kamu. Kalo ada apa-apa, kamu bisa langsung minta tolong saya aja daripada Mbok, karena kamar Mbok ada di belakang, lewat connecting door yang ada di dekat lemari. Kamu ketok aja kamar saya, okay?"
"Tapi Dok, saya beneran..."
"Nggak ada bantahan, Indira. Ini udah malem dan saya ngantuk. Good night. Semoga mimpi indah." Tutup Bram dengan diakhir sebuah usapan lembut di puncak kepala Indira sebelum tubuh kekarnya menghilang di balik pintu jati kokoh penutup area kamarnya.
Indira terpaku di tempat. Ini skinship yang kedua kalinya semenjak kejadian sebelum mereka berangkat ke warung pecel lele seminggu yang lalu. Astaga, kenapa Bram suka sekali menyentuh dirinya?
TBC
150321
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Goodbye
General FictionVERSI LENGKAP TERSEDIA DALAM BENTUK PDF Tentang Anggara yang meratapi penyesalannya, dan tentang Indira yang berusaha membangun hidup barunya.