Rumah Sakit Fatma Asih terlihat penuh hari ini. Baik pengunjung maupun pasien yang berdatangan. Seorang pemuda tengah berlari di koridor lantai dua. Terlihat wajah panik dan keringat bercucuran.
Pemuda itu tampak susah berbicara ketika ia bertemu salah satu perawat. "Mba, kamar... dah-lia nomor tigabelas di sebelah... mana yah?"
"Oh, mas tinggal lurus saja. Sampai di ujung, mas tinggal belok kiri, ruangannya sebelah kanan mas."
"Oke mba, makasih." Ia kembali melanjutkan langkah seribunya.
Ya, dia Ray. Belum sampai satu jam sejak ia menerima info kecelakaan. Dan ia sampai dengan waktu yang singkat.
"Lo kenapa lagi sih bego." Ia berlari secepat mungkin. Tak terhitung orang yang ia tabrak sejak masuk tadi. Yang ada di pikirannya hanya keadaan sahabatnya.
"Fatih!" Teriaknya setelah ia sampai di kamar yang ia tuju.
Seseorang terlihat terkulai lemas di atas ranjang. Matanya perlahan terbuka. Terlihat perban membungkus kaki kirinya.
"Lo kok bisa..."
Fatih beralih ke posisi duduk. "Ssst. Ceritanya pendek Ray. Eh, panjang maksudnya."
Fatih meringis tanpa rasa berdosa. "Ray, hiks. Sakit banget rasanya. Lo kemana aja sih? Gue telfon ga diangkat, sms ngga dibales. Gara-gara Sisi, hari gue jadi kacau. Sialan tuh anak."
Ray duduk sembari mengatur napasnya."Sorry, gue ada kepentingan."
Fatih membenarkan posisi duduknya."Apaan tuh? Eh, lo ngga biasanya deh ada kepentingan. Kepentingan apa? Setidaknya lo kasi gue kabar lah Ray."
"Lo tuh ngga pernah seharian ngilang kayak gini Ray. Toh, biasanya lo sms gue kalo lo lagi mau tenangin diri atau kalo lo lagi nulis puisi-puisi itu di kamar." Lanjutnya.
Ray meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lo jatuh dari mana si? Kenapa lo bisa kayak gini, bego!"
Fatih memutar kedua matanya. "Hadeh. Gue kasih martabak dengan tulus hati, lo malah balikin lagi. Sakit hati gue tahu ngga."
Fatih melirik Ray sinis.
Ray terdiam beberapa saat. "Gue punya rencana besar tentang keluarga gue. Gue akhirnya mutusin buat nyamperin Kiki."
Fatih terbelalak.
"Lo yakin kali ini?"
Ray terlihat susah payah menjawab pertanyaan Fatih.
Hening beberapa saat.
"Nah! Gitu dong. Akhirnya kekhawatiran gue sekarang udah ilang dah. Huft, gue udah sehat sekarang. Dah yok balik!"
Fatih melepas perban yang membalut kakinya. Tak ada segorespun luka disana. Dan dengan sigap ia menggerakkan semua badannya dengan normal.
"Huaaaah... jogging gue seminggu ini ternyata bikin badan gue lebih enteng ternyata ya."
"Eh lo!" Ray tercengang dengan apa yang ia lihat. Tak disangka, ia telah dibodohi kawan gilanya ini.
"Hehe, maapin bang patih ya Ray. Gue sengaja gini biar lo cepet dateng. Sumpah ngga ada satu hari pun yang ngga gue lewatin sama lo." Fatih menarik lengan Ray keluar dari kamar.
"Sial! Lo ga kenapa-kenapa?!"
"Aih, gue ngga betah disini. Yuk cepet, keburu sisi balik dari kantin. Bisa mati gue!"
"Lo gila ya!"
"Dah yuk buruan, nanti gue jelasin. Marahnya nanti aja, jangan sekarang."
"Tapi lo..."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN
General FictionRA | IN Dikala hujan datang, dua hal yang akan mengobati beberapa pelik yang menghampiri kehidupan mereka. Menyerukan perbedaan, dan membasuh luka di ingatan. Happy Reading !