8

0 0 0
                                    

Kabut pagi menyelimuti,

Ray dan Fatih tengah berkeliling di depan rumah Inung dengan tatapan asing dan berdecak kagum.

Ray masih menyilangkan tangannya.

"Mas penjahat! Kalian kenapa tidak cepat pulang?" Teriak Awan dengan raut wajah yang penuh amarah.

Inung menatap dari kejauhan.

"Awan! Kamu ndak boleh bicara begitu ke teman kakak!"

Awan menoleh sekilas. "Kakak baru ketemu sekali kan?"

Fatih perlahan mendekati Awan, "Wan, yuk kenalan dulu sama kakak yang lucu ini." Fatih menyeringai sembari terkekeh.

Awan masih menatapnya dengan raut yang tegang.

Ray beranjak pergi.

"Tunggu!"

Ray tak menghiraukan meski langkah kaki Inung sulit untuk mengikuti jejaknya.

•••


"Apakah mas sudah mencoba menghubungi keluarganya kembali?"

Ia menatap pasien yang tengah terbaring itu dengan pasrah. "Belum, Dok."

Dokter mulai memeriksa keadaannya, "Tidak ada identitas apapun ketika mas menemukannya?"

Ia menggeleng lemah. "Saya, masih akan tetap menjadi walinya."

"Kondisinya sampai saat ini masih stabil. Kita akan terus mengawasinya. Ya sudah kalau gitu, saya permisi."

"Baik, Dok. Terimakasih."

Ia frustasi. Orang yang sangat ia sayangi ini begitu tidak berdaya. Sudah dua minggu sejak ia berlari di tengah hujan sembari menggendong perempuan di depannya ini.

"Mahen?"

Ia mendengar suara lembut yang memanggilnya. Di ambang pintu, terlihat perempuan berpenampilan feminim, cantik, berambut pendek sebahu, dengan tas yang ia gantung di pundak.

Ia menatap tak percaya.

"Denna?"

Perempuan itu menghampirinya. "Lo ngapain disini? Ini siapa?" tanyanya lirih.

Ia tak menjawabnya, lalu berdiri menarik lengan Denna keluar dari ruangan.

"Cerita, Hen."
Ucapnya sesampainya di kursi koridor.

"Dia Zeva, orang yang nolongin gue pas hampir mau bunuh diri setelah mama-papa gue meninggal hari itu, Na."

Denna terbelalak kaget. "Lo gila?! Gue cariin lo kemana-mana Hen, gue telfon kaka lo tapi dia ke Aus.."

"Udah Na, jangan dibahas lagi."

Denna memegang kedua pundaknya, "Lo, lo.. jangan ngelakuin hal bodoh kek gitu lagi, ya?!"

Mahen tertunduk lemah, "Gue putus asa, Na."

"Lo kan punya gue, gue selalu ada pas waktu sulit lo, Hen, lo tau itu juga kan."

Mahen menatap Denna lekat. Lalu ia tertunduk kembali, "Lo ngga seharusnya disini."

"Mahen! Mau sampai kapan lo bilang gitu lagi?!" Denna mulai menitikkan air mata.

"Sampai lo, hilang dari pandangan gue."

Mahen segera pergi dari hadapannya.

"Gue ngga akan diem kek patung, Hen. Gue akan buktiin, bahwa gue ngga hidup dikendalikan sama orang lain, inget itu!"

Mahen masi mendengar kalimat itu bahkan setelah ia jauh meninggalkannya.

•••

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang