3

11 2 8
                                    

"Sela! Berhenti kamu!" Bentak Fandi ketika Sela turun dari tangga, dengan memakai seragam sekolah yang tak lengkap. Baju dikeluarkan. Rambut acak-acakan dan rok di atas lutut. Dengan tas gendong mini yang menempel di punggungnya.

Sela menghentikan langkahnya. Tanpa melihat Fandi yang berdiri di ruang makan, menatapnya. Bi Asih yang baru saja selesai menyajikan hidangan sarapan langsung kembali ke dapur.

"Papa sudah peringatkan kamu! Jangan pergi ke tempat temanmu yang engga jelas itu! Kamu itu harusnya tahu posisi papa! Jangan malu-maluin papa! Dasar engga tahu diri!" Tambahnya.

"Udah pa ngomongnya?" Cetus Sela sinis.

Fandi kian menjadi murka. Kini wajahnya terlihat merah. Matanya mendelik. Sungguh, ia sedang marah besar kepada anak bungsunya itu.

"Asal papa tau ya, jangan sekali-sekali pedulikan Sela! Sela itu udah gede pa, Sela berhak melakukan apapun yang Sela mau" Sela menatap Fandi lekat-lekat.

"Cukup! Papa engga mau tahu. Kamu harus jauhin anak kampungan itu" Sahut Fandi.

Sudah tak tahan dengan apa yang Fandi katakan, Sela segera pergi dengan mata yang sudah berair. Tapi cepat-cepat ia hapus, karena sungguh hal ini sia-sia untuk ditangisi.

Tiba di depan gerbang, seseorang melambaikan tangannya padanya.

"Hai Lala! Berangkat bareng gue yuk!" Ucap seseorang yang berada di atas motor.

"Ah males ah, palingan juga baru sampe udah diceramahin ma tuh bocah bawel" Gerutu Sela.

"Jangan pikirin dia. Nanti dia juga capek sendiri. Yuk?" Ajaknya lagi.

Sejujurnya, selain malas, Sela sudah tidak mood pagi ini. Apalagi orang yang ada di hadapannya ini, manusia menyebalkan seantero jagat raya. Izam.

"Woy bengong aja lo. Buruan, mau engga?" Ucapnya lagi.

"Ya udah, ya udah. Eh tapi lo jangan kesenengan dulu ya! Ini gue terpaksa. Besok gue ogah bareng sama lo lagi" Jawab Sela sambil mengambil helm yang sudah berada di depannya.

"Sensitip banget lo. Pasti belom sarapan kan? Pantes mukanya kek mau makan orang gitu ih. Ngeri" Sahut Izam.

Sela tak menyahut apa-apa. Setelah memasang helm, Ia langsung duduk di belakang orang menyebalkan itu. "Buru, sebelum gue berubah pikiran"

"Siap Syalala" Senyum sumringah muncul di wajah lelaki itu.

Lalu Izam melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan kompleks tempat tinggal mereka.

Sejak Sela dan keluarganya pindah ke kota Jogja tujuhtahun yang lalu karena bisnis papanya, Sela awalnya tak punya teman.
Karena memang dia tinggal di perumahan, bukan pemukiman. Namun, beruntung Sela memiliki teman baru yaitu Izam. Izam juga bukan asli orang Jogja. Dia pindah karena orangtuanya memiliki bisnis yang sama seperti papanya Sela. Dan Izam adalah orang pertama yang Sela kenal saat memulai kehidupan baru di Jogja.

•••

Suasana pagi di kota Jogja lumayan padat. Tak kalah dengan ramainya ibukota. Namun masalah macet, ibukota masih menjadi predikat pertamanya.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang