Tak Ingin Melepaskan Kepergian

635 30 3
                                    

Setelah selesai mandi, aku langsung menuju kamar tidur yang kala itu dipenuhi oleh barang-barang yang akan aku bawa ketika menuju lokasi untuk mendaki, di samping kiri ini telah ada sepatu berwarna putih dengan sedikit corak hitam menambah semangatku untuk cepat sampai pada tujuan kami nanti.

Dari balik horden rumah terlihat jelas suasana yang ada di luar sana, tembok kaca tembus pandang membuat kedua bola mata kembali dikejutkan oleh penampakan aneh dari ayunan yang sedang bergoyang di pinggir kolam renang berukuran sedikit minimalis.

Penasaran tiba-tiba tumbuh begitu saja dan membesar sehingga membuatku untuk segera menatap menuju luar kamarku, ayunan yang tadinya kulihat bergoyang sendiri tiba-tiba berhenti seketika.

Meski dalam hati telah berpikir bahwa itu hanya terpaan angin kencang, tetapi angin tak pernah sekencang itu membawa ayunan hingga mengeluarkan bunyi seperti hendak melepaskan baut-baut yang sedang terpasang kuat.

Keanehan demi keanehan pagi ini aku alami begitu saja, tanpa ada tempat untukku bercerita, kini aku hanya bisa membuang perasaan yang sebatas ilusi itu.

Beberapa menit telah selesai memakai sepatu dan pakaian, aku pun kembali memeriksa perlengkapan untuk berkemah dan bermalam di atas gunung yang kami tuju tersebut.

Kawasan hutan lereng hutan Bedeng, tempat yang kami rencanakan dari satu bulan lalu. Lokasi yang sejuk menurut orang yang sudah pernah mendaki di sana, membuat rasa ini tak sabar ketika berada di hutan itu,

Konon, hutan yang dikabarkan sangat angker itu menyimpan mistis yang sangat luar biasa, dengan penghuni sosok wanita gaib yang dapat merubah dirinya menjadi tujuh hewan raksasa.

Belum lagi wacana yang datang di telinga bahwa lokasi tersebut tak dapat menerima sinyal ponsel sejak awal memasuki area gerbang, menuju suasana yang bernuansa sangat misteri.

Akan tetapi, aku tak pernah menyaksikan tempat itu secara langsung. Hutan Bedeng terletak di Kabupaten Asahan, tepatnya di ujung pulau terpencil Provinsi Sumatra Utara.

Titi gantung yang memiliki sejarah aneh yaitu sosok manusia tak berkepala juga banyak orang katakan, bekas tempat masa pemotongan mutilasi pada zaman penjajahan itu membuat kami tak pernah terbayang betapa ingin tahunnya diri ini untuk hal tersebut.

Selang beberapa menit akhirnya ponsel-ku bergetar dengan sendirinya.

Dret-dret ....

Notifikasi dari aplikasi Whatsapp muncul di atas layar ponsel-ku, tangan kiri dengan sigap untuk merogoh dan melihat siapa yang memanggil. Kala itu, aku hanya menekan dengan menggunakan tangan kiri karena tangan sebelah kanan sambil memakan kue panggang sebagai sarapan pagi ini, sesekali aku menatap tulisan yang datang dari aplikasi tersebut.

Pesan yang mengatakan ( tunggu aku di dalam goa air terjun ) mambuat diriku tak terlalu menghiraukan apa maksud dan tujuan dari pengirim pesan tersebut.

Tanpa nama serta profil yang jelas, seakan membuat diriku selalu menganggap bahwa pesan itu datang dari orang yang iseng ingin mengganggu. Beberapa detik pesan yang aneh telah terbaca, kemudian datang lagi notifikasi dari—Risma.

Sosok wanita yang aku suka sejak SMA. Di mana, ia akan ikut untuk mendaki bersama kami. Risma yang dikenal sebagai pendaki senior karena telah bisa menuju puncak gunung di berbagai daerah.

Membuat diri ini tidak memiliki rasa was-was ketika menelusuri lokasi yang sangat dikenal sebagai daerah paling angker, lokasi yang letaknya jauh dari rumah para warga setempat.

Semua telah beres dan para teman sudah menungguku di rumah Riko sebagai tempat titik kumpul kami, dengan berjalan membawa ransel hitam tiba-tiba pupus si kucing putihku berlari menggigit celana panjang hitam ini.

Kucing yang aku pelihara sejak lama seakan tak mau membiarkan diri ini untuk pergi mendaki, dia seperti tengah gelisah karena akan berpisah beberapa hari denganku.

Dengan tangan kanan, aku menggendongnya dan memberikan kecupan untuk salam perpisahan pagi ini, mungkin dengan demikian, pupus akan tenang di rumah sembari menjaga isi rumah nantinya.

"Pus, jangan nakal. Jaga rumah, ya. Tunggu saya kembali," ucapku pada pupus, si kucing berwarna putih mulus sebagai hewan paling aku sayangi itu.

Karena aku sudah terlalu lama di rumah, akhirnya sang fajar mulai memancarkan terik matahari yang sangat bersinar, sengatan tak lagi sejuk dan mulai sedikit sakit ketika terkena kulit.

Kedua kaki berlari tegap, berjalan di garasi dan mengambil motor. Aku pun melaju menuju rumah Riko. 'Di sana pasti sudah ada teman-teman yang lainnya sedang menungguku,' batin ini berceloteh.

Beberapa menit di perjalanan, aku sampai menuju tempat titik kumpul para pendaki lainnya. Ketika awal, para pendaki hanya ada tiga orang, sekarang menjadi lima orang.

Jumlah yang cukup banyak untuk mendaki pagi hari ini, mereka sangat antusias dengan lokasi yang telah kami rencanakan beberapa bulan yang lalu, sekarang telah tiba tepat di hari Senin.

"Hai, Bro. Sudah menunggu gue lama, ya?" kutanya Riko dan Rizal yang kala itu duduk jongkok menulis peta jalan di atas tanah.

"Eh, Bro. Lu lama banget, sih, nyampenya. Kami hampir aja ninggalin, lu," celetuk Rizal dengan nada sedikit marah.

Seketika aku meringis geli. "Yakin? Lu pada tega sama gue?"

"Ha ha ha ... enggak, kok. Kita cuma bercanda," sambar Rizal yang serius memperhatikan peta jalan menuju lokasi.

Tampak dari gambar tersebut sangatlah rumit, jalan yang banyak kelok, serta cabang jalan yang membuat diriku pusing setengah mati. Belum lagi arah tersebut dikabarkan tidak bisa menggunakan ponsel genggam.

Mungkin jaringan juga akan otomatis lumpuh total ketika memasuki tempat. Meski demikian, tak mengurangi rasa ini untuk tidak melanjutkannya. Justru semakin terasa menantang jiwa kami para pemuda yang sudah memang menjadi bagian salah satu organisasi pecinta alam.

"Bro, yakin jalannya serumit itu?" tanyaku pada Riko yang sedang serius menggambar tanpa henti.

"Gue enggak begitu yakin, Bro. Tangan gue bergerak sendiri untuk menggambar jalan yang akan kita lalui nanti," tukasnya menatap tajam ke arahku.

"Mulai, deh, sifat anehnya muncul di saat seperti ini," omelku seraya memukul pundak lawan bicara.

"Oh, ya. BTW-lu, 'kan senior, nih, Ris. Pasti lu akan memimpin kita dong?" Dari ujung barisan Riko berkata pada wanita yang hanya sendirian, ia merupakan senior yang sering mendaki gunung di berbagai daerah.

"Pastinya ... kalian ngikut aja dari belakang. Entar, gue yang bawa kompas untuk menuju tempat itu. Oh, ya, gue dengar dari kedua orang tua gue, di sana ada bunga paling indah tumbuh di sekitar lereng," ucap Risma membuat diriku sangat penasaran.

"Bunga? Gunanya," aku nanya serius penasaran.

"Konon, bunga itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Akan tetapi gue tetap saja kurang percaya. Belum juga sampai lokasi, 'kan?" pungkas Risma secara rinci memberikan sebuah pandangan sedikit tentang lokasi tujuan kami itu.

Setelah berbincang panjang lebar dan mencoba memahami jalan dengan banyak kelok tersebut. Akhirnya, kami segera bergegas untuk menuju lokasi tersebut.

Masing-masing dari kami membawa tas ransel berisikan makanan dan perlengkapan yang menjadi kebutuhan ketika beberapa hari mendaki. Suasana yang cerah sangat pas untuk melakukan hal ini sekarang, tak sedikit pun titik gelap menyertai awan yang ada di langit semesta.

Meski diriku masih merumuskan berbagai pertanyaan yang belum terpecahkan, aku selalu memekik gelisah ketika berada di jalan untuk menuju hutan Bedeng tersebut.

Jarak yang lumayan jauh dari lokasi perumahan penduduk, membuat tubuh lelah. Hanya dapat di tempuh dengan menggunakan sepeda motor menuju lokasi, mengharuskan kami siap siaga akan apa yang nantinya terjadi.

Misteri Air Terjun PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang