Pov Revan
Pagi telah tiba, hari yang sangat indah menyergap tubuh ini. Kala itu aku masih mendekam dalam kamar tanpa ada Mira yang menemani, mungkin dia sudah terlebih dahulu bangun dan melakukan kegiatannya. Aku tetap saja termenung sembari berpikir untuk bisa keluar dalam cengkraman dunia gaib ini, ingin sekali rasanya ruh kembali pada Tuhan dan tak penasaran akan siapa jati diri ini yang sebenarnya. Selang beberapa menit berada di atas kasur membuatku untuk turun sembari melihat mustika berwarna kebiruan yang kala itu sedang di simpan Mira dalam ruang gelap sudut kamarnya, kaki membawa diri ini untuk segera melihat barangkali aku bisa menyentuhnya tanpa merasakan pedih di kedua bola mata ini.
Sesampainya di dalam ruang penyimpanan mustika aku membuka jubah hitam yang kala itu sedang menutupi mustika, dari cahaya yang sedikit terlihat hijau membuatku aneh karena biasanya berwarna biru. 'Loh, kok, warnanya berubah menjadi hijau ya?' Celotehku dalak hati. Dengan sigap tangan membuka jubah tersebut sontak suara keras menepis badanku menuju tembok ruang kamar, bug! Duar....
Rasa terkejut ini menghampiri, kala itu percikan cahaya yang mampu membuang tubuhku mengenai pintu dan tembok membuat Mira datang secara tiba-tiba. Dia berlari menemuiku saat ini dalam hidungan detik dia sampai dihadapan mataku yang sudah terlempar jauh.
"Van, kamu kenapa?" dia nanya padaku.
"Cahaya itu berubah hijau, dan melemparku jauh dari tempat semula," sahutku lirih kesakitan.
"Sepertinya tengah ada yang menukar mustika ini, Van. Tapi siapa orang itu?" dia mulai kebingunan dan ucapannya seakan kesal kepada pencuri mustika miliknya.
"Aku tidak tahu, bukankah kita berdua di kamar dari malam hari." ujarku lagi membanting percakapan.
"Coba kita cari sesuatu di sekitar istana," suruhku sembari membangkitkan tubuh yang seakan remuk.
Kami pun segera keluar istana dan mengelilingi akan hal aneh tengah terjadi saat ini, berlari melewati lorong hitam pekat membawa kami bertemu dengan pengawal istana berjubah merah yang berkeliling tanpa henti.
"Ma—maaf, apa kalian melihat ada orang yang masuk kamar kami," aku berkata dan mira tengah mengangguk akan pertanyaan kali ini.
"Hmmm... tadi, bukannya ayah ratu sedang membawa sesuatu yang keluar dari kamar ratu." cetusnya membuat rasa ini menjadi kecewa.
Sebuah janji untuk membuat Risma keluar dari deruji besi malah sirna begitu saja, harapanku untuk membawanya pergi dari sini telah musnah akibat ayah Mira yang membawa pergi mustika tersebut. Tanpa banyak tanya lagi kami kembali berlari untuk mencari ayahnya yang telah pergi entah kemana, dalam benakku adalah bagaimana agar bisa secepatnya mengeluarkan Risma yang terkurung sendiri. Perasaan yang tak tega membuat konsentrasi hilang dan buyar begitu saja, kala itu aku menggandeng tangan Mira dan kami pergi ke salah satu penjuru negeri alam gaib dimana tempat itu merupakan lokasi dimana Mira di angkat sebagai ratu istana.
Ketika sampai tujuan naas, tempat yang sudah hancur tak tersisa membuatku duduk terdiam di atas kursi batu. Kedua tangan yang menekan kepala ini seakan hendak pecah oleh kejadian pagi hari, pernikahan yang masih berumur jagung membuatku lelah dan ingin mengakhirinya. Sebisa mungkin aku harus terlepas dalam dunia gaib ini dan mati dengan keadaan yang telah di tetapkan Tuhan, bukan menjadi siluman.
"Van, sabar. Kita akan menemukan ayah nanti," Mira menyentuh pundakku.
"Ya, aku akan menanti walau tak tahu sampai kapan," sahutku menyentuh tangannya.
"Mir, bagaimana kalau aku kembali ke duniaku saja. Kamu bisa menuruti itu?" pintaku menatap matanya tajam.
"Van, kamu adalah suami aku. Ketika aku melakukan itu, apa kamu tega membuatku harus kehilanganmu tanpa bisa menembus duniamu?" dia nanya lirih.
"Mir, aku tidak ingin menjadi siluman sepertimu. Aku manusia, sepertinya kita di takdirkan bukan untuk bersatu," aku membuang tatapan menuju meja yang telah hancur.
"Kalau itu maumu, pergilah, Van. Aku rela, jika akhirnya aku yang akan lenyap akibat janjiku tak bisa memilikimu jangan kembali." Pintanya.
"Mir, bagaimanapun aku sudah menyayangimu. Apa kamu tak mau ikut ke duniaku?" diri ini mulai ngegas.
"Enggak, Van. Setelah manusia membunuhku dan memperlakukan diriku layaknya binatang, aku rasa tak akan membuat diri ini untuk kembali ke dunia manusia. Aku akan tetap menjadi siluman seperti ini," dia pergi meninggalkanku yang tak bisa berbuat apa-apa.
Akhirnya aku menyusulnya dan kembali pulang menuju istana miliknya tersebut, selang beberapa menit aku pun sampai di depan pintu yang sudah kosong tanpa orang sama sekali. Hanya ada penjaga istana yang masih mondar-mandir menjaga di sekitar goa, aku masuk menyelinap menuju ruang kamar kosong tepat berada di depan deruji besi.
"Permisi, aku mau tanya pada kalian?" celetukku pada pengawal istana.
"Ada apa raja muda?" dia nanya padaku.
"Apa kalian melihat ratu Mira sudah sampai istana?" tanyaku serius pada mereka.
"Ratu tak kembali sejak pergi bersama Tuan raja tadi," jawab mereka.
"Oh, terima kasih."
Aku kembali berjalan dengan lengkah sedikit lebar menelusuri lorong gelap istana, kala itu aku melemparkan sebuah buah yang berkhasiat untuk manusia bisa melihat orang yang sudah mati atau siluman sepertiku. Akhirnya Risma bangun dari tidurnya dan melihat buah tersebut berwarna merah merona, tapi dia hanya melihat saja tanoa mau memakan buah tersebut.
"Ris, ayo makan buah itu." suruhku dari balik deruji besi.
"Suara siapa itu?" dia malah bertanya ketakutan.
"Risma, ini gue, Revan. Ayo, makan buah itu cepat." suruhku berulang-ulang padanya.
Ketika beberapa kali aku menyuruh akhirnya dia memakan buah yang aku lempar tersebut, sontak tatapan matanya seperti melihat dan mengerti keberadaanku saat ini.
"Van, Revan ... tolong bebaskan gue dari sini," dia berteriak histeris.
"Risma, diamlah! Nanti mereka mendengarmu!" pintaku untuk berkata sedikit pelan dan berbisik.
"Van, loe masih hidup rupanya. Bebasin gue, please!" dia memohon menambah diri ini kehabisan akal.
Aku pergi menuju kamar Mira dan mengambil pedang panjang miliknya, pedang dengan pegangan berbentuk ular tersebut aku bawa kembali menuju lorong gelap. Sesampainya di depan deruji besi aku menebaskan pedang menuju gembok raksasa itu, bug! 'Sial ... keras sekali gembok ini, oke-aku akan coba lagi. Bug! Kring ... akhirnya terbuka juga.'
Pedang yang saat itu sedang kupegang dengan sedikit mantra 'Marhun Apertum' sontak besi yang mengikat Risma terputus.
"Ris, ayo, pegang tangan gue. Kita pergi lewat pintu belakang lorong ini."
"Oke, Van."
Sesampainya di depan pintu deruji besi tak ada satu orang pun berada dalam lokasi istana, dengan mengendap-endap kami berlari menuju arah belakang yang sudah aku incar keberadaan tersebut.
"Jangan kabur, berhenti!" bentak para penjaga yang telah melihat aksi kami berdua.
"Van, mereka mengikuti kita sekarang." celetuk Risma.
"Tenang, Loe harus tenang, Ris." sahutku dengan menggandeng tangannya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Air Terjun Pengantin
Mystery / ThrillerAwalnya, aku tak pernah percaya dengan adanya makhluk halus. Kehidupan yang berada dalam dimensi lain, atau alam gaib. Siapa sangka, sejak wanita bergaun hijau muda itu hadir dalam mimpi burukku. Ia seakan membawa tubuh ini untuk menemuinya di sebu...