Part 16 { Pulanglah, Kebumikan Jasadku Secara Baik-Baik }

196 16 0
                                    

Pov Risma

"Van, Loe bisa jaga jasad, Loe enggak sebentar," suruh Risma tergesah-gesah.

"Loe, mau kemana, Ris?" sahutku heran dengan gelagatnya.

"Gue, mau cari ramuan ketika gue belajar ilmu gaib bersama kakek, gue." dia mulai ngegas ucapannya.

"Baiklah, jangan lama-lama." Gue, takut kalau jasad ini malah di bawa kembali oleh Mira.

"Oke."

Dengan berjalan kaki aku menelusuri hutan yang sudah gelap tanpa cahaya sedikitpun, perasaan ini tumbuh menjadi sangat berani sekarang. Mati atau hidup hanyalah Allah yang menentukan, sebagai hambanya aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk diri ini. Revan yang sudah mengorbankan banyak hal demi hidup ini, tak mungkin membiarkan jasadnya terlepas begitu saja. Nyawa telah dia berikan demi keselamatanku, ini saatnya aku memanggil arwah cahaya putih titipan dari mendinang kakek, untuk memanggilnya cukup dengan salat dengan seratus rakaat saja.

Kala itu aku menuju sungai yang letaknya tak jauh dari tempat kami melintas, suara berisik yang sangat menganggu telinga malah melihat para makhluk berjubah merah berada di sekitar sungai, mereka tak lain adalah anak buah Mira untuk menangkap kami kembali, aku yang ekstra waspada tak ingin beranjak dari balik pohon berukuran sangat besar. Tapak kaki tengah terdengar menujuku saat ini, badan yang mulai bergetar selalu teringat nasib jasad Revan ketika tadi kutinggalkan sendirian. Saking takutnya aku terduduk di bawah pohon sambil berzikir dalam hati, asma Allah yang terpanggil tanpa henti menemani diri ini agar tak terlihat oleh mereka.

Gresek... haduh! Kaki ini membuat bising saja.

"Tunggu, seperti ada suara di sekitar sini," cetus mereka dari samping pohon tempatku sedang duduk.

'Allah huakbar, Alla huakbar, Allah huakbar.' Sebutku dalam hati.

Sontak mereka menghilang entah kemana larinya, suara tak lagi ada dan hening seketika. Dengan menoleh kanan dan kiri aku kembali bangkit perlahan mengintai situasi malam ini, setelah terlihat aman diri ini mulai melangkah menuju sungai lagi. Aliran arus yang sangat deras membawa diri ini takut untuk turun menuju bebatuan tersebut, entah kekuatan apa tang membawa kedua kaki melangkah tanpa ada pikiran lagi. Sesampainya di sana aku langsung mengambil air wudhu setelah hampir satu bulan aku tinggalkan sebuah kewajiban sebagai manusia, air wudhu tersebut terasa sangat nyaman dan sejuk. Salatku selesai, tetapi hal yang membuat diri ini tak wajar adalah batu yang sedang aku pijak sebagai tempat ibadah berubah menjadi sajadah.

Sungguh Allah masih bersamaku dan menjaga nyawa ini untuk tetap hidup, dengan air sungai yang kupakai untuk wudhu segera aku membungkus dalam daun pisang. Aku berharap cara ini bisa membuat tubuh Revan yang tadinya mati tidak terlalu kaku, aku berpikir bahwa Revan belum mati hanya saja iblis itu mengambil ruhnya secara paksa hingga membuat jasad tersebut terkurung dalam dimensi yang berbeda.

Kedua kaki berlari menuju pohon bambu tempat Revan berada, aku takut jika terjadi apa-apa pada jasad tersebut. Dari balik bambu aku melihat Revan tengah menangis akan kejadian yang dia timpah saat ini, air mata begitu deras bercucuran dari kedua bola matanya. Berjalan langkah kecil membuat diri ini tak tega bila mendekatinya, kejadian yang sangat tak masuk akal telah aku saksikan dalam hidup ini.

"Van, ka—mu, baik-baik saja?" cetusku padanya.

"Eh, Risma." dia menjawab dengan menghapus air matanya.

"Van, maafin gue, ya. Akhirnya Loe, jadi gini gara-gara gue." jawabku membuatnya membuang pandangan.

"Sudahlah, ini salah gue, Ris. Menikahi iblis yang gue enggak tahu akibatnya bakal seperti ini jadinya." dia mulai bersiteru dengan kedaan yang terjadi saat ini.

"Van, minum ini!" suruhku memberikan air sungai bekas wudhu tadi.

"Air apa ini, Ris." jawabnya penasaran padaku.

"Minumlah, baca basmalah." suruhku bertubi-tubi.

Revan meneguk air itu secepat kilat, ketika dia menghabiskan air dengan tandas tetapi tak sesuatu hal pun terjadi pandanya. Kegagalan diriku membuatnya akan merasakan sakit yang tambah parah.

"Bagaimana, Van, apa yang Loe rasakan?" aku nanya serius padanya.

"Enggak ada apa-apa yang terjadi saat ini, Ris. Sudahlah, Loe enggaj usah berharap gue hidup lagi. Yang gue pinta adalah Loe bawa jasad gue pulang dan dikubur secera baik-baik agar ruh gue, enggak penasaran seperti ini." ujarnya membuat diri ini kehabisan kata-kata tuk menjawab.

"Ta—pi, Van."

"Ris, ini sudah takdir dari Allah." dia memotong ucapanku seketika.

"Terus, kita akan sampai kapan berada di hutan ini?" aku menyeret pertanyaan itu berulang-ulang.

'Revan hanya menggelengkan kepalanya saja.'

Sesekali aku menoleh ke arah jasad Revan yang sudah terbujur tak mau bergerak sedikitpun, kekecewaan yang sangat membuat akal sehat ini hilang tak bisa menerima sebuah takdir yang telah terjadi saat ini. Suasana hening di tengah hutan Bedeng membuat kami merasakan dingin yang sontak menyergap tubuh tanpa pikir-pikir, jangankan suara manusia bahkan hewan kecil saja tak mau menemani saat ini. Bulan purnama mulai tertutup awan gelap yang menandakan pergantian bulan telah tiba, setelah satu bulan genap kami meninggalkan rumah tanpa terasa.

Pasti kedua orangtua kami tengah sibuk mencari tentang beberadaan kami saat ini, aku yang kala itu mendekati jasad Revan membuat diri ini memangku kepala serta pundaknya. Sholawat yang tengah aku bisikan dari telinga kirinya membuat diri ini penuh harap bahwa akan ada keajaiban untuk menyatukan jiwa Revan yang telah terpisah, ruh yang terkurung dalam dunia tak tentu arah membuat kejadian ini tak dapat di terima akal sehat.

Semalaman diri ini berdialog dengan jasad yang berada dalam dekapan, pelukan tak aku lepas sembari mengucapkan salawat dengan menyebut semua nama-nama Allah dalam As-maul Husnah. Tanpa disangka kedua bola mata ini tertutup saking kantuk yang tiba-tiba menyergap.

"Van, kamu di sana?" aku nanya pada Revan kala itu sudah bisa menyatu dengan jadadnya.

"Ris, Loe kok, bisa lihat gue?" gumamnya menuju tempatku sedang berdiri.

"Ya, bisa. Kamu sudah kembali hidup seperti manusia pada umumnya, syukurlah." cetus diri ini lagi.

"Ris, gue bukan mati. Tapi, gue terlepas dari jasad gue dan itu adalah akibat diri ini tak bisa menolak kala itu Loe akan menjadi mangsa iblis siluman yang ada di hutan ini," dia mulai ngegas ucapannya.

"I—ya, Van. Terima kasih ya, aku harap walau kita enggak bisa berjumpa di alam manusia pasti akan bertemu di akhirat nantinya." sahut mulut yang tak tau sedang berkata apa.

'Ya Allah, ternyata gue cuma mimpi. Hari sudah pagi, tetapi ruh Revan sudah tak ada dihadapanku.'

Jasad yang masih ada dalam pelukan membuat diri ini tak bisa berkata lagi, Revan menghilang meninggalkanku selamnya.

"Van ...." teriakku.

"Revan ...." teriak diri ini lagi.

Misteri Air Terjun PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang