Pov Risma
Hari terus berganti hari, kedua kaki ini masih membawa jasad Revan. Aku yang sudah kehabisan tenaga berjalan selama seharian tanpa henti, semakin jauh menelusuri jalan lurus semakin bertambah jauh menuju depan. Tak satupun ada orang yang tengah melintas di area hutan Bedeng saat ini, yang ada hanyalah hewan kecil ikut bersenandung bersama kami berdua. Sesekali aku melirik arah pepohonan yang berukuran besar, dalam benak ini teringat akan peristiwa beberapa bulan lalu ketika kami membagi kawanan untuk berpencar dua kelompok. Menandakan bahwa jarak menuju luar hutan sedikit lagi akan tiba, langkah yang membuat tubuh ini tak mampu lagi menapak malah menjatuhkan diriku di persimpangan jalan terbelah tiga bagian.
Brug! 'Ya Tuhan, aku lelah. Aku tak sanggup menjalani ini semua, berikan aku kekuatan untuk bisa kembali menuju rumah. Aminnn ....'
Kedua kaki kembali bangkit dan menuntun jasad Revan yang sangat berat, kembali berjalan untuk menelusuri hutan menuju arah pulang. Keringat mengalir deras membasahi pakaian, baju yang tanpa di cuci setelah satu bulan lebih membuat keadaan sangat kumal. Darah, lumpur, semua menjadi satu dalam pakaian ini. Selang beberapa menit perjalananku akhirnya dari jarak seratus meter aku melihat gapura yang merupakan pintu gerbang menuju luar wilayah hutan.
"I—itu, gapura. Alhamdulillah, Van. Kita sudah berhasil sampai di ujung hutan ini untuk kembali ke rumah, sebentar lagi Van." celetukku tanpa jawaban apa-apa dari Revan.
Kaki yang sudah tak sabar membuat langkah menjadi bertambah lebar, tanpa menoleh kanan dan kiri aku berjalan lurus. Setibanya di depan gapura muncul sosok ular yang sangat menyeramkan, berkepala tiga dan sepertinya ingin memangsaku. Rasa senang berubah menjadi takut kembali, suasana hening memberhentikan langkah menatap tajam ular siluman itu. Aku melihat sebuah potongan bambu sangat runcing tengah ada di samping kanan, kedua tangan meletakkan jasad Revan sontak diri ini mengambil bambu tersebut.
Kedua tangan sesekali memukul ekor ular tersebut yang sepertinya tak bisa untuk membuatnya pergi, akal sudah terasa habis untuk berpikir lagi. Aku yang hanya pasrah, duduk di samping tubuh Revan sambil membacakan ayat suci alquran serta zikir sepenuh hati, suara desik tersebut mulai redah dengan kedua bola mata yang masih tertutup. Keadaan yang tadinya sangat aneh sontak menghilang begitu saja, aku pun langsung membuka kedua bola mata dan menoleh arah kiri tubuh. Rasa tak percaya bahwa jasad Revan sudah tiada, aku bingung setengah mati. Perjuanganku membawanya dari istana menuju gapura telah sia-sia.
Tangis yang keluar dari kedua bola mata sebagai bentuk kekesalan tak tertahan membuatku merasakan kepedihan berulang-ulang, peristiwa hidupku malah membuat cerita menjadi tak pernah percaya akan kekuasaan Tuhan. Buta hati, buta pikiran, buta kepastian setelah sekian hari bersama jasad kosong tanpa nyawa malah membuatku tertunduk diam di pinggir gapuran. Tangan yang kututupkan di wajah membuat air mata tak mau berhenti mengalir, perasaan ini hancur berkeping-keping.
"Allah...."
"Allah...."
"Allah-huakbar...."Mulut yang berteriak histeris tanpa suara, membawa diri ini seakan kesal tanpa henti. Belum lagi aku pulang ke rumah bersama sahabat terbaikku dari kecil kini dia hilang pergi entah kemana, kedua tangan menekan kepala yang terasa akan pecah. Kedua bola mata tak mau berhenti mengalirkan air mata kehidupan ini, beginikah kisah hidupku? Atau ini mungkin sudah janjiku dahulu sebelum lahir ke dunia.
Hari mulai menggandeng gelap, kala itu aku melangkahkan kaki ini dan hendak berjalan menyeret tubuh keluar dari gerbang hutan, yaitu segera menuju gapura yang sudah berlumur tak seperti ketika awal aku datangi.
Pov Revan
"Tuhan ... aku berada dimana sekarang? ini dunia apa? dan dimana cahaya terang kehidupan," kataku sendiri dalam jiwa yang tengah terkurung sepi.
"Van, kamu berada di sini beberapa bulan yang lalu. Setelah tubuhmu terpisah dari jasad, kami menyembunyikanmu dari dimensi yang berbeda," jawab salah seorang yang memiliki suara aneh tanpa wujud.
"Kamu siapa? kamu dimana?" aku nanya bertubi-tubi.
"Van, aku ada di sini bersama jiwamu yang terkurung itu. Akibat kematian yang kau alami di dunia siluman membawa jiwa kembar itu menuju alam dimensi ini!" sahut suara yang tak tau siapa.
"Kalau aku sudah mati, aku ikhlas dan ambillah aku secepatnya. Agar diri ini tidak terlalu lama berada dalam kubangan iblis," pinta diri ini sambil jongkok sujud ke arah sebelah kanan.
"Van, kamu belum mati. Jasad yang terpisah dari tubuhmu adalah ulah siluman untuk dia bisa memilikimu tanpa menunggu seratus tahun yang akan datang." bantahnya lagi.
"Lantas, sekarang aku dimana?" senggak diri ini lirih.
"Kamu sedang berbicara pada kakang kawah dan adik ari-ari tubuhmu sendiri, dialog di antara kita merupakan sebuah kehidupan alam bawah sadarmu," sahut suara itu membuang bingung.
"Segera satukan aku degan ragaku, apabila aku tak bisa menyatukan diri ini kembali cepatlah matikan aku secara baik-baik," tangis ini menjadi sangat deras "aku mohon please, aku ingin mati dalam keadaan yang wajar."
Isak tangis yang tak kunjung redah membuatku terus berdialog pada suara sembari mengakui bahwa dia adalah jiwaku sebagai saudara penjaga diri ini, kakang kawah adik ari-ari sampai saat ini aku tidak tahu apa maksudnya, bergelut dalam dunia logika tak memberikan pengetahuan diri ini tentang hal yang layak untuk diketahui manuisa.
"Siapa pun kamu, kembalikan aku kedalam dunia nyataku." pinta yang tak mungkin akan terjadi.
"Berjalanlah lima meter dari tempat kau berdiri, nanti kau akan melihat jasadmu tengah terkurung dalam dimensi dunia lain," suruh suara tersebut dan membuatku untuk segera melakukan itu.
Langkah kaki berjalan ke arah depan tanpa menoleh arah kanan dan kiri, isak tangis tak mau berhenti membut diri ini seakan tak percaya semua terjadi begitu saja dalam kehidupanku. Tiga menit sudah aku berjalan lurus tetapi tak ada juga hal aneh yang terlihat, kutadahkan kedua tanganku ke arah langit tinggi. Memohon ampun atas segala yang pernah kuperbuat salah, ayat-ayat suci alquran terucap dalam hati. Sepatah doa yang ketika semasa hidup tak pernah kulakukan termasuk keajiban-Nya hari ini barulah terpikir akan melakukan itu.
Selang beberapa menit berdoa kedua bola mata ini membuka secara perlahan, tatapan mengarah tanah dengan suasan gelap gulita bersinarlah menyelimuti jasadku yang sudah tak berdaya. Tubuh itu sama sekali tak bisa bergerak, tatapan ini mengalirkan air mata melihat jasad sudah terbujur di atas bumi semesta.
Jiwa memluk jasad mati tersebut, sambil mencium tubuh tanpa nyawa berada tepat di kedua bola mataku.
'Ya Allah, jika aku masih berhak hidup di dunia ini. Maka, kembalikan jiwa pada jasad tersebut. Dan ketika aku sudah tak layak untuk hidup kembali, biarkan aku mati menurud takdir darimu. Aminnn ....'
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Air Terjun Pengantin
Mystery / ThrillerAwalnya, aku tak pernah percaya dengan adanya makhluk halus. Kehidupan yang berada dalam dimensi lain, atau alam gaib. Siapa sangka, sejak wanita bergaun hijau muda itu hadir dalam mimpi burukku. Ia seakan membawa tubuh ini untuk menemuinya di sebu...