Siluman Berjubah Merah

379 25 0
                                    

Arus deras masih saja menerpa tubuhku bersama Risma, kami yang masih bergantung pada ranting sebuah pohon tumbang. Tiba-tiba kedua mata melihat ombak arus sungai seperti banjir akan menerjang.

Dari arah depan, tampak deras gulungan arus yang sangat besar, seketika aku memejamkan kedua bola mata dan pasrah akan segalanya terjadi pada hari ini.

"Ris, pejamkan mata. Apa pun yang terjadi kali ini, hanya Tuhanlah yang menentukan segalanya," pintaku dengan menatap mantap menuju arah depan.

"Van, gue takut," responsnya dengan suara lirih.

Brak!

Byur ....

Kedua bola mata tak mampu terbuka akibat air yang mengulung tubuhku di bawah permukaan sungai. Air yang sangat ganas, serta rasa sakit kini tidak bisa kurasakan lagi. Ketika itu, tubuh ini hanya tenggelam dalam sungai dan turun menuju dasar sungai, udara sudah habis dan napas terhenti seketika.

Aku merasakan bahwa jiwa telah mati terbawa arus sungai. Dalam samar, akhirnya aku mencoba tuk membuka kedua mata. Penglihatan sangat kabur serta suasana yang gelap, kelam, dan pekat.

Tubuh yang perlahan tenggelam membawaku untuk segera menemui ajal Tuhan, dari samping kiri tengah ada tubuh Risma yang telah mati akibat arus.

'Pasti aku juga akan tergilas arus dan mati juga di bawah dasar sungai ini, bila akhirnya kehidupan berakhir di sini aku ikhlas ya Allah. Matikan aku secara islam, aminnnn ...."

Kedua bola mata tertutup kembali dan aku tak ingat apa pun yang sedang terjadi.

Dua puluh empat jam telah berlalu ....

Mencoba untuk membuka mata dan menarik napas panjang, aku bisa merasakan kembali apa itu udara. Bersama suasana pekat tanpa setitik—cahaya, kupandang langit-langit tepat di posisi tubuh sedang lemah tak berdaya.

Kedua telinga menangkap suara seperti wanita tengah bersenandung, sama persis dengan lalu ketika kemarin aku mimpikan. Lagu 'Lingsir Wangi' sangat terasa keramat di kedua telingaku.

Kemudian, batin kerkata. 'Apakah aku masih hidup? Kendatipun aku hidup, mengapa jiwa merasa sangat terkurung di suatu tempat?'

Dengan menggunakan tangan kanan, aku menampar kedua pipi secara bergantian. Karena pukulan itu sangat keras, alhasil aku meringis sendiri.

"Ach ... ternyata gue masih hidup," ucapku sendiri di dalam sebuah ruang gelap.

Menatap greget ke arah samping kiri, rupanya di sana ada sebuah aliran air tepat di tengah tempat gelap. Seperti hewan yang tengah melompat dari arah aliran tempat gelap tersebut. Kucoba untuk bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.

Perut pun lapar sehingga aku tak mampu untuk menahannya. Dengan langkah lebar, aku menelusuri pusat aliran air yang entah ke mana. Dari samping kiri aku menatap bambu runcing.

Hati berkata, 'mungkin dengan bambu itu gue bisa menangkap ikan dan makan.'

Mencoba untuk menombak ikan, aku mendapatkan satu ekor hewan bersisik itu dengan warna keemasan.

"Kena, Kau ...!" celetukku sendiri pada ikan tersebut.

Tanpa ragu-ragu, aku pun menyantap ikan mentah tersebut hingga habis. Ini adalah caraku untuk mempertahankan hidup dalam ruang hitam dan gelap yang meyerupai sebuah goa.

Seraya menyantap ikan mentah itu, kedua bola mata menoleh kanan dan kiri. Ruang yang sedikit demi sedikit kudapat memahami, seperti sebuah kerajaan yang aku tak tahu apa namanya.

Rasa perasaan membawa diri langkah kaki untuk menuju jalan sebelah kanan ruang gelap itu. Meski sedikit menyeret air serta rasa sakit di bagian tubuh yang terluka membuat rasa penasaran tetap ingin menuju cahaya yang datang dari ujung koridor.

Tampak jelas dari ambang penglihatan, aku mendapati sebuah siluet seorang wanita tengah menyisir rambutnya yang panjang berwarna hitam. Pakaian yang ia kenakan seperti pakaian pada era masa kerajaan kuno.

Aku kembali berpikir bahwa ia adalah seorang ratu sebuah kerajaan, akan tetapi sampai saat ini diriku tak melihat ada pengawal yang tengah menjaga dirinya. Mulut seketika membubgkam untuk mengeluarkan sepatah kata pun aku tak mampu.

Berjalan hampir seratus meter, kedua telapak kaki membawaku menemui lantai tanah yang sangat panas.

Mulut pun mencibir sendiri. "Au, sial! Lantai apa ini."

Wanita yang tampak sangat anggun dan cantik itu tak sedikit pun menoleh. Semenata degup jantungku seketika berdebar kencang. Lalu, wanita sebagai pusat penglihatan menoleh. Ia berjalan santai menemuiku, dan eksprsinya juga seperti tengah marah.

"Siapa kamu anak muda? mengapa kamu di sini?" tanyanya menggunakan dengan suara ngegas.

"Saya enggak tahu kenapa saya berada di sini, bisakah kamu membawa saya keluar?"

Lawan bicara mengernyit, seraya memutar ke samping kiri. "Kamu yang datang sendiri, kamu yang enggak tahu arah keluar. Aneh kamu!"

Mendengar cibirannya, aku menggaruk kepala seraya memekik gelisah. Akhirnya, langkah kaki membawa diri ini untuk kembali menemui cahaya putih ketika awal aku membuka kedua mata.

Jemari yang penuh darah, membuat langkah sedikit menyerat tanah. Dengan menyebut nama Allah, aku pun sampai di pusat lokasi. Tiba-tiba bulu kudu meremang, tampak jelas di luar goa itu tampak seperti sebuah kawah berwarna merah pekat dan bergelembung seperti air mendidih.

'Itu air apa, ya? Kok, seperti sebuah lokasi pembantaian?' batinku.

Menelan ludah beberapa kali, seraya menafsirkan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam kepalaku. Jiwa merespons, akan tetapi tak mampu masuk ke dalam logika.

"Tolong ...."

'Eh, itu seperti orang yang sedang minta tolong. Tapi di mana?' batin bertanya.

Menuruni anak tangga yang terbuat dari bebatuan, aku sampai di sebuah kawah mendidih dan beraroma bau amis. Dengan tangan kanan, aku menutup mulut serta lubang hidung.

Rasa penasaran semakin memuncak, aku melanjutkan pertajalan dan sampailah di sebuah tembok. Melangkah satu tapakan ke depan, kedua bola mata melihat para kesatria berjubah tengah memenggal kepala wanita bangsa manusia.

Seketika aku berjalan mundur, tepat di sebuah tembok, aku kembali menarik napas panjang dan menelan ludah. Keringat mengalir sangat deras melalui sekujur tubuh, kedua bola mata menoleh lagi dari balik tembok.

Akan tetapi seseorang sepertinya tengah mengetahui keberadaanku saat ini, ketiga makhluk berjubah itu menghentikan aksinya dan berjalan perlahan menemui pusat di mana aku sedang menyandar pada tembok.

Tubuh sangat gemetar, secepatnya aku memutar badan dan berlari menuju goa. Berlari sangat kencang, aku sampai di dalam ruang gelap itu sama seperti tempat awal aku membuka mata. Posisi seperti membungkuk sembari membuang napas yang ngos-ngosan.

Ketika kutoleh arah depan dan kedua kaki berjalan lagi, tiba-tiba. "Hai anak muda," ucap seseorang dari arah belakang tubuh.

"Rupanya ada yang mengantarkan nyawa datang ke tempat ini," sambar seseorang dengan suara berbeda.

Lalu, perlahan kutoleh sedikit ke arah belakang. Rupanya benar, mereka adalah makhluk berjubah merah yang aku lihat dari balik tembok tadi. Masing-masing dari mereka membawa sebuah sembilu sangat tajam dan berukuran sangat besar.

Misteri Air Terjun PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang