Part 7 { Jubah Merah Dunia Gaib }

306 21 4
                                    

'Gawat, berarti tempat ini adalah sebuah perangkap yang akan membawa diri ini terjebak selamanya. Apalagi sebagai tumbal mereka yaitu, Risma. Teman dekatku sendiri, bagaimana ya caranya agar aku bisa keluar dari sini dan membawa Risma juga. Apalagi tangannya yang sudah terbelenggu sebuah rantai berukuran besar ditambah deruji besi yang berukuran tiga kali tinggi badanku.'

***
Malam telah tiba, dari balik luar terdengar suara tapakan kaki tengah menuju dan mengarah diri ini. Rasa khwatir tiba-tiba hinggap dan menemuiku, kedua bola mata ini sengaja aku pejamkan sembari mengelabuhi akan siapa yang tengah datang menuju lokasi tempatku tidur. Suara telapak kaki seperti tengah berhenti tetapi, tak berada di ruang kamar kosong yang aku tiduri ini. Karena rasa penasaran ini sangat menghujani tubuh, aku bergerak dan melompat dari tempat tidur tanpa alas untuk menatap arah luar ruangan.

Dari balik pintu aku menatap menuju depan deruji besi tempat penyekapan Risma, sebuah pengawal istana yang membawa pedang tajam tengah melemparkan sejumlah makanan untuk sahabatku itu, dengan tangan diikat serta tubuh yang sudah terduduk membuat Risma harus makan makanan layaknya binatang, tanpa piring dan sendok sebagai alat mengambil buah-buahan. Sontak aku berpikir keras akan nasibku yang sangat istimewa, berada di tempat yang sama tetapi aku tak mendapatkan perlakuan demikian.

Sambutan wanita berpakaian hijau lumut itu membawa diri ini layaknya seorang raja tanpa ada yang berani menyentuh sedikitpun anggota tubuhku, selang beberapa menit ketiga perajurit berjubah merah itu meninggalkan deruji besi. Isak tangis Risma menyayat sampai ke dalam sum-sum tulang badanku, tapi apa daya aku tak bisa menyelamatkan dia saat ini. Habis sudah akal dalam otakku untuk membawanya terbebas dalam dunia gaib sekarang.

Pov Mira

'Apa aku salah, telah membawa Revan menuju istana goa hitam milik ayahku ini. Tapi, setelah lama menunggu seorang pria akhirnya aku merasakan kembali hidup layaknya dahulu ketika mayatku dibuang para komplotan yang aku tak kenal, jiwaku terkurung dalam deruji besi dengan libasan besi panas.'

Setelah 100 tahun aku menunggu, agar bisa terbebas dari siksa raja dunia dimensi gaib. Entah apa akhirnya mereka menjadikan aku sebagai ratu dengan syarat tak boleh menikahi seorang pria. Aku sepertinya telah tertarik pada Revan, pria yang baru aku ajak benerapa jam saja dari kejadian arus sungai yang akan membusukkan jiwa raganya di sana. Tetapi, dia masih berbau manusia. Setelah genap di usia kematian 100 tahun barulah dia menjadi seorang siluman utuh, sama sepertiku.

Aku yang sudah tak sabar menunggu waktu hingga beratus tahun untuk dapat memilikinya, kini hanya bisa menatap dari samping tanpa bisa menjadikan dia sebagai seorang suami. Ketika aku menentang syarat ini pasti ayahku akan marah besar serta mengusir kami dari kerajaan, apalagi di luar sana tengah ada yang mengincarku untuk menjadikan diri ini sebagai wanita selir kerajaan naga bertubuh manusia. Musuh terbesar yang sering terjadi konflik dengan kerajaan ayahku membuat diri ini tak bisa membantah kehendaknya, serta harus menuruti semua kata-katanya.

Malam hari ini adalah genap usiaku yang ke 100 tahun menjadi seorang putri raja dunia gaib, perayaan dengan memangsa seorang wanita dari balik deruji besi sebagai tumbal membuatku haus akan yang namanya darah. Langkah kaki keluar menuju wanita-wanita tawanan kami sebagai bahan santapan empuk yang akan mengabadikan kekuatan ini selamanya, kala itu aku mengarah menuju deruji besi dekat dengan ruang kamar Revan. Tepat di depan kamar dia ada seorang wanita berhijab kuning, tubuh yang sangat menggoda serta tampak sangat segar dia hanya merunduk sembari menatap lantai penyekapan.

Sesampainya di depan deruji aku menolehkan pandangan menuju ruang kamar Revan, sembari mengintip akan apa yang dia sedang lakukan saat ini. Dari balik pintu membuat diri ini enggan beranjak, situasi yang menggetarkan jiwa akan ketampanan pria itu malah membuatku sangat terpesona. Pancaran yang keluar dari dirinya membuatku tak jemu untuk pergi, dialah pilihan hati ini. Meski harus menunggu 100 tahun lagi, aku rasa itu akan mudah dalam penantian. Tatapan kedua matanya mengarahku dan menyadari bahwa aku tengah ada memperhatikan tingkahnya. Langkah kaki membawanya menujuku saat ini.

"Hai, kamu ngapain di sini?" dia nanya sembari menatap wajahku tajam.

"Ak—aku, sedang melihat mangsa untuk malam ini." sahutku dengan suara lirih.

"Mangsa? ma—maksud kamu apa?" celetuknya dengan berjuta pertanyaan.

"Malam ini usiaku genap 100 tahun, sebagai rutinitas kami adalah. Memangsa manusia yang telah menjadi tawanan dari balik deruji besi, seperti dia." tunjukku menuju gadis berhijab kuning.

"Jangan! Please, jangan dia!" pintanya dengan suara lirih.

"Kenapa? apakah dia pacar kamu?" aku nanya kembali.

"Bukan, dia adalah sahabat terbaikku. Ketika aku masih kecil ibunya yang merawatku, aku mohon jangan!" pintanya membuatku tak bisa berkata-kata.

Rasa yang telah menggebu dalam dada membuatku tak mampu membedakan lagi, karena mangsa wanita bukan hanya teman Revan itu. Aku berjalan meninggalkannya untuk memilih kembali wanita yang ada dari balik deruji besi, pilihanku jatuh pada wanita dengan topi biru yang tengah merunduk menuju lantai.

"Van, sini!" ajakku pada Revan yang kala itu masih berada di depan deruji besi wanita berhijab kuning.

Dia pun mengangguk dan berlari menujuku, setelah sampai dia menatap wanita cantik dari balik deruji yang berwarna sama.

"Kalau dia, bagaimana?" tunjukku pada wanita bertopi biru.

'Revan hanya mengangguk seakan meniyakan pilihanku kali ini.'

Aku tersenyum padanya dan tak ingin pergi jauh dari tubuh perkasa itu, aku segera menggandeng tangan kirinya dan berjalan menuju lokasi pesta tumbal malam ini yang akan segera kami laksanakan. Tatapan kedua bola matanya seakan tak mau berkedip menyaksikan suasana ramai lebih ramai dari kehidupan dunia manusia.

"Van, kok kamu diam saja." panggilku dari sebelah tubuhnya.

"Ya Allah...." dia berkata aneh.

"Cukup, Van. Jangan ulangi kata-kata itu lagi," pintaku penuh harap yang membuat telinga mengeluarkan sedikit darah dari ucapan anehnya itu.

"Ak—aku, enggak ngomong apa-apa. Bagiku itu biasa," sahutnya seakan merasa tak bersalah.

"Ucapan tadi," ulangku yang mulai ngegas.

"Allah... Allah-huakbar." sebutnya.

'Dia menyebut sebuah kalimat yang mampu membuat jari sebelah kiriku terputus begitu saja.'

"Cukup, Van!" mulut ini mulai membentaknya. "Lihat ini, jariku lepas akibat ucapanmu barusan" kataku lagi.

"Ma—maaf," cengirnya membuat diri ini tak sanggup untuk berkata kasar.

Setelah lama berada di depan rakyat kerajaanku, akhirnya kami kembali masuk untuk berganti pakaian. Jubah merah yang kala itu sudah siap sontak tangan ini mengambil dan memberikan pada Revan, jubah sebagai simbol dari kerajaan ini adalah sebuah keharusan bagi penghuni pria untuk memakainya.

Misteri Air Terjun PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang