Part 10 { Kematianku Datang Menyergap }

249 20 7
                                    

Pov Revan

Tangan yang kala itu sedang digandeng oleh Mira membawaku terbang menuju ke salah satu ruangan yang ada di sudut istana, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa diriku akan masuk bersama dia dalam ruangan yang hanya boleh raja dan ratu iblis istana yang boleh memasukinya. Kala itu Mira menuju meja bundar yang tengah ada suatu benda bercahaya biru serta tertutup jubah berwarna hitam pekat, dengan menoleh arah kanan dan kiri diri ini terhanyut akan pandangan yang sedang terjadi padaku. Sontak aku ikut bersama Mira untuk melihat apa isi dari jubah hitam di atas meja tersebut, hal yang paling kunantikan lantas membuat diri ini tak sabar tetapi, Mira hanya menatap saja tanpa membuka benda tersebut.

"Van, bukalah jubah ini." dia nunjuk benda yang tengah tertutup jubah hitam tersebut.

"Ma—maksud, kamu." sahutku serius padanya.

"I—iya, buka saja." pintanya sambil membuang tatapan tajam menuju tembok.

Kedua tangan ini membuka jubah tersebut seakan penasaran apa yang ada di sana.

Srek... jubah pun terbuka sontak membuat kedua bola mataku nanar, rasa yang tak percaya menghampiri diri ini. Kedua kaki melangkah mundur menyerer dua langkah menuju belakang tubuh, terbayar sudah rasa penasaran ini dengan melihat apa yang ada di atas meja tersebut. Rupanya sebuah bola mustika bercahaya kebiruan bersinar menerangi ruangan secara penuh, pancaran yang awalnya membuat kedua mata sedikit sakit malah diriku enggan berkedip saat ini.

"Mir, ini ... benda apa, ya?" aku nanya serius padanya.

"Ini adalah mustika yang biasa kami menyebutnya ( Abbysal )" jawabnya memberi tahu sebuah dari mustika tersebut.

"Kamu bisa mendapatkan ini dari mana?" aku kembali nanya pada Mira.

"Ini adalah milik Selena, ratu iblis yang ruhnya terkurung dalam jiwaku ratusan tahun lalu."

"A—apa, benarkah?" sahutku takut.

"Jika kamu mau, aku akan memberikan mustika ini padamu." dia mulai ngegas.

"Ah, eng—enggak, ah. Aku belum pantas untuk memiliki itu." cetusku dengan nada suara lirih.

Dari balik mustika biru tersebut tengah ada benda berwujud ular yang menyerupai naga, hanya saja ukurannya sedikit lebih kecil dan benda tersebut hanya diam tanpa ada makna sama sekali. Batin ini menolak untuk bisa melihat lebih lama, akan tetapi akibat rasa ingin tahu yang menghujani diri ini, aku tidak bisa menolaknya.

"Van," panggilnya.

"Iya, Mir." sahutku menatap wajahnya tajam.

"Ka—kamu."

"Kamu apa, Mir katakanlah." balasku sontak membuatnya tersimpu malu.

"Kamu, mau enggak jadi suami aku." cetusnya dengan penuh harapan agar aku mengiyakan apa yang menjadi pintanya.

"Ak—aku, belum mengerti apa yang kamu ucapkan. Mir," sahut diri ini takut akan pernyataan yang benar-benar membuatku sangat heran.

"Aku, cinta sama kamu. Van," paksanya dengan kedua bola mata berkaca-kaca.

"Apa bisa, kamu menikahiku? Apalagi kita beda dunia, Mir." celetuk mulut ini yang seketika membuatnya tertunjuk sedih.

"Aku akan tunggu masa itu, Van. Hingga waktunya akan tiba," dia mulai ngegas kembali.

Duar....
Bum....

"Mir, itu suara apa?" celetukku bertanya heran.

"Van, telah terjadi peperangan antara kerajaan kita dengan musuh bebuyutan dunia alam gaib kerajaan naga sebelah timur pegunungan," jawabnya lagi.

"Untuk apa mereka mengajak perang kita, Mir." celetukku heran.

"Mereka ingin memperebutkan kekuasaan istana kita yang sudah luas di wilayah pegunungan Bedang, Van."

Langkah kaki yang membawanya mengambil sebuah pedang panjang berwarna putih, pedang tersebut bertuliskan kata-kata sansekerta kuno yang aku tak tahu apa artinya.

"Van, kamu pegang satu. Biar aku pegang satu, kita harus menang dalam pertempuran kali ini." ayo, Van. Keluar sekarang "ajaknya menarik tangan kiriku."

Kali ini akan habis riwayatku, dengan memakai jubah ajakan Mira membawa diri ini untuk segera keluar istana dan berperang melawan makhluk gaib dari arah timur pegunungan Bedang, kali ini aku tak bisa berbuat apa-apa selain ikut melawan musuh-musuh kerajaan gaib Mira. Kedua kaki membawaku untuk segera menuju halaman istana dimana lokasi itu adalah titik pusat pemenggalan kepala dari tumbal yang baru saja di laksanakan acaranya.

Setelah lama melewati lorong membuat kedua mata nanar, terlihat jumlah musuh sangat banyak menyerbu kawanan kelompok istana milik Mira. Aku yang kala itu tak bisa membedakan mana musuh dan mana teman, membuat diri ini terdiam sejenak. Mira berlari bersama selendang hijau lumutnya serta pedang panjang yang kala itu dia arahkan pada lawan, setelah lama memperhatikan jalannya pertarungan aku pun mengerti bahwa musuh memakai jubah hitan dan jubah merah adalah bagian dari istana Mira.

Kedua kaki ini menghampiri lokasi pusat bersama pedang panjang yang sangat tajam, crut! byur ... kala itu darah dari makhluk gaib yang terkena tebasan pedangku sontak mencipratkan darahnya di mulut ini, rasa mual tiba-tiba datang di tengah pertempuran antar siluman. Jumlah lawan yang mulai berkurang sedikit demi sedikit membuat diri ini yakin bahwa mereka akan kalah.

Selang beberapa menit pertempuran berjalan, mata ini nanar setelah melihat Mira yang kala itu tengah ada yang meluncurkan anak panah mengarah jantungnya. Aku pun dengan sigap berlari dan ingin menyelamatkannya, tiba-tiba peristiwa telah terjadi padaku.

Crut....
"Akh ..." jeritku di depan tubuh Mira dengan anak panah yang menancap di jantungku.

"Revan! Revan, bangun, Van." teriak Mira histeris melihat diri ini yang lemah dengan darah mengalir dari ujung anak panah menancap tepat di jantungku.

Sisa-sisa tenaga membawaku untuk tetap diam dan tak dapat berbuat apa-apa, seperti takdir kematian yang sesungguhnya telah aku temui saat ini. Demi menyelamatkan sang putri mahkota istana abbysal hingga nyawaku menjadi taruhannya, kala itu Mira membawa tubuhku menuju pinggir pertempuran. Kata-kata keluh dan tatapan mata hanya mengarahnya tanpa kedip, pandangan buram tanpa jelas terlihat lagi.

"Van, bertahan, Van." pinta Mira sambil menangis meratap wajahku yang tengah lemah tak berdaya.

"Mir, maaf. Jika kita sekarang tak bisa bersama, karena memang dunia kita berbeda," sahutku lirih padanya.

Tangannya mengeluarkan sebuah kesaktian gaib yang dia miliki tetapi, tak dapat membuat pulih kembali keadaan ini. Kematian yang akan datang menyergap diriku dalam hitungan detik, menambah rasa takutku akan nasib diri ini yang akan menjadi sebuah jiwa yang terkurung juga seperti Mira, terbelenggu dalam dunia yang tak mau menerima ruh. Sementara tubuh sudah tak mengalirjan darah hanya kedipan kedua mata yang memandang kabur menuju Mira.

"Van, bertahan aku mohon." tangis Mira terisak-isak di depan kedua mataku.

"Cukup! Mir, jangan habiskan tenagamu untuk menyembuhkanku." bentakku membuat Mira terdiam seribu bahasa.

"Enggak, pokoknya kamu harus sembuh. Aku cinta sama kamu, Van." dia mulai ngegas kata-katanya.

"Mir, ak—aku. Ak—aku, pergi dulu." pamitku menyentuh pipinya yang meneteskan air mata.

"Van, jangan. Jangan tinggalkan aku, Van...."

Misteri Air Terjun PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang