'ATTHAREL : 08'

73 31 6
                                    


Ivona melangkahkan kaki keluar dari area cafe setelah dirasa ia terlalu lama berdiam di sana. Dingin dan gelap, menggambarkan bagaimana suasana jalanan yang akan dilalui oleh gadis itu.

Larut malam dan ia masih berkeliaran tidak tentu arah. Perkataannya pada Arel beberapa waktu lalu bahwa ia akan pergi ke tempat Raylin, adalah sebuah kebohongan. Ivona tau jika temannya itu sedang dikurung oleh kedua orang tuanya perkara nilai ujian Matematika yang turun drastis dari sebelum-sebelumnya.

Tidak enak hati, ia memilih nongkrong di cafe saja untuk menenangkan pikiran yang kalut. Ivona tidak mungkin pergi ke rumah Fauqya, mengingat bahwa temannya yang satu lagi itu diberi batasan dalam bergaul. Kedua orang tua kolotnya tidak menyukai Ivona dan Raylin sejak pertemuan pertama mereka di kelas X. Fauqya anak baik-baik, untuk bergaul dengan mereka yang serampangan, tentu saja membuat khawatir orang-orang.

Gadis itu mengulum senyum tak kala netranya memandang sendu di atas sana. Hamparan beribu bintang terlihat mengelilingi bumi, kakinya yang dibawa tidak tentu arah dengan posisi masih mengenakan seragam sekolah tentu saja mengundang berbagai macam tatapan dari orang-orang.

Meski bisa dibilang bahwa Ivona memiliki sikap cuek kebangetan terhadap orang lain, tetapi ia mempunyai cukup kepekaan akan keadaan yang terjadi disekitar. Dengan datangnya perasaan mengganjal di hati gadis itu, membuatnya perlahan mempercepat langkah. Perasaan menakutkan ketika suara mesin kendaraan roda dua terdengar di belakang sana terus-terusan mengikuti jejak kaki miliknya.

Ia menelan saliva kasar, mulai panik. Motor itu tidak mau melewati Ivona yang notabenenya seorang pejalan kaki, tidak ada sorot lampu yang dinyalakan oleh sang pemilik, cemasnya bertambah ketika melewati sebuah tikungan yang sepi penghuni.

Memberanikan diri, Ivona menepi di sebuah tempat fotocopy yang nampaknya mulai akan tutup. Cewek itu langsung menghalau pergerakan tangan dari seorang pemilik toko tersebut yang hendak menarik pintu penutupnya. Ia nyengir canggung sambil berusaha untuk tidak menoleh ke belakang.

Raut wajah dari seorang lelaki yang terlihat seumuran dengan Ivona itu tidak begitu baik, alisnya menukik tajam dengan tanda tanya besar yang bersarang di kepala.

“Kenapa Mbak?” Ia berujar ketika melihat Ivona tidak juga membuka mulut.

“Boleh kenalan?”

Meski diliputi rasa heran, cowok itu tetap mengangguk “Iya.”

“Makasih, saya orang mana?” Kerutan di dahinya tercipta. Ia memandang aneh gelagat Ivona yang tampak tidak fokus dengan apa yang diucapkannya. Netranya bergerak acak memandang sekeliling toko.

“Mending to the point aja deh, Mbaknya mau ngapain?”

“Mau ngeprint Mas,” ujaran spontan itu langsung dihadiahi dengan delikan sewot.

“Maaf Mbak, tapi ini waktunya kita tutup. Kalo mau ngeprint, Mbaknya bisa dateng lagi besok” balas sosok itu sembari berusaha melepaskan cekalan kuat Ivona pada lengannya.

“Mau ngeprint.”

“Tutup Mbak.”

“Mau ngeprint”

“Mbak, jangan mancing saya buat berkata kasar.”

“Ini waktunya toko tutup, saya juga mau istirahat. Mending Mbak cari tempat fotocopy-an yang lain deh.”

Ivona menggeleng kuat, “saya mau ngeprint di sini.”

“ISH! LO ANJING BANGET GUE LIAT-LIAT DARI TADI.” Ia melototi Ivona dengan sengit, sesaat setelah itu kerutan di keningnya makin jelas terlihat ketika Ivona tiba-tiba saja berubah mimik datar dengan cekalan kuatnya yang dihempas begitu saja oleh cewek itu.

ATTHARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang