Fourth Act

5 1 0
                                    

Malamnya, hanya ada segelintir orang yang datang ke upacara pemakaman. Kigiku dan Akane terlihat duduk di sisi ruang utama sementara para pelayat menyalakan dupa untuk mendoakan mendiang Ritsuka, kemudian menghampiri kedua anak yang kini menjadi yatim piatu itu untuk memberikan amplop berisi uang duka cita.

Kigiku hanya menundukkan kepala sepanjang upacara pemakaman, sesekali menghapus air mata. Kuroba turut hadir untuk menemani kedua kakak beradik itu. Akane hanya diam menahan perasaan bercampur aduk di dalam hatinya. Antara marah, sedih, dan rasa dendam yang mengakar kuat. Pikirannya dipenuhi dengan fakta jika Atsuki adalah laki-laki yang bertanggung jawab atas kematian sang ibu ditengah ekonomi yang semakin menurun.

Kedua kakak beradik itu tidak mengatakan apa-apa saat jasad Ritsuka dikremasi. Mereka hanya bisa pasrah melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkan mereka diselimuti api suci dan dibacakan lantunan kalimat oleh pendeta. Akane memalingkan wajah, tidak berani melihat kenyataan di hadapannya.

"Selamat tinggal, Ibu. Terima kasih sudah membesarkan kami. Aku berjanji akan menjaga Kigiku dan membalaskan kematian kalian."

Setelah rangkaian upacara pemakaman selesai, Akane langsung kembali ke kamar dan mengganti kimono hitam dengan kimono merah lusuh yang biasa dipakai. Sekarang beban keluarga ditanggung olehnya. Dia sudah berpikir untuk menjual perabotan serta hasil dari kerajinan tangan dari kayu yang beliau buat demi mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup.

Dulunya Ritsuka ingin melakukan hal serupa, namun diurungkan karena merasa sayang dengan barang peninggalan suaminya. Tetapi kini dia harus mewujudkan niat mendiang ibunya. Tidak apalah kehilangan perabot, asal mereka masih punya sisa uang.

Akane menghela napas. "Maafkan aku, Ibu, Ayah...," desisnya. "Kurasa aku harus menjual semua barang itu demi kami bisa bertahan."

Tanpa berpikir panjang, Akane bergegas turun dan mengumpulkan sebagian kecil barang buatan ayahnya yang belum sempat terjual beserta beberapa buah perabotan tua untuk dijual. Baru saja akan memasukkan semuanya ke kotak, pintu rumah diketuk. Dia segera menghentikan pekerjaannya dan segera membuka pintu.

Di depan, ada dua orang polisi yang berdiri. "Selamat malam, Nona Fubukihara. Apakah Anda memiliki waktu sebentar?"

"Silahkan, ada perlu apa?"

"Sebelumnya saya ikut berbelasungkawa atas kematian ibu Anda. Pasti berat bagi harus kehilangan kedua orangtua di usia yang masih muda seperti ini. Namun di samping itu, ada kabar yang ingin kami berikan mengenai laporan Anda." Polisi itu berdeham. "Sayangnya, kami tidak bisa melanjutkan investigasi ini karena kurangnya bukti yang cukup valid hingga tidak bisa diproses lebih lanjut."

Akane seolah ditikam ketika mendengarnya. "Tidak... bisa? Tapi saya sudah memberikan laporan itu dengan buktinya! Ibu saya dibunuh oleh orang itu, bagaimana mungkin beliau dibunuh oleh orang lain?! Tidakkah ada cara lain untuk menangkapnya?!"

"Sayangnya ini di luar kendali kami. Selama tidak ada bukti jelas, kasus ini tidak bisa dilanjutkan. Kami mohon maaf sebesarnya, Nona Fubukihara. Tetapi kasus kematian ibu Anda harus ditunda hingga mendapatkan bukti yang cukup kuat untuk menuntut Tuan Muda Akizuki."

Akane mengutuk dalam hati, mengutuk dirinya dan kehidupan yang seolah membencinya. Bahkan polisi tidak bisa menangkap pelaku yang telah membunuh sang ibu, hingga membiarkan pria semacam Atsuki bisa kabur dari kejahatannya. Sementara dia dan Kigiku harus kehilangan Ritsuka dan bertahan hidup di bawah tekanan ekonomi.

"Sekali lagi, kami mohon maaf atas kabar tidak mengenakkan ini. Bila ada masalah apapun, segera hubungi kami." Polisi itu pun membungkuk dan meninggalkan Akane yang tertunduk di ambang pintu.

[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang