Twelfth Act

3 0 0
                                    

Reiji terbangun. Pukul dua belas kurang, dia tahu-tahu terbangun jam segini karena perutnya yang tiba-tiba berbunyi. Kebiasaan, setiap kali tidak ada sesuatu untuk dikerjakan pasti dirinya akan terbangun karena lapar. Dan udara yang dingin membuatnya ingin memakan sesuatu yang hangat.

"Harusnya satu gelas wine dan ramen takkan masalah."

Reiji bangkit dan keluar kamar. Dia melirik kamar Akane yang sunyi senyap, namun lampunya masih menyala. Entah apakah wanita itu masih bangun atau tidak sengaja membiarkan lampu menyala dan jatuh terlelap duluan. Pemuda itu berjalan menghampiri kamar dan mengetuk pintu.

"Akane? Kau masih bangun?"

Tidak ada jawaban. Diketuk lagi, namun tidak ada sahutan apapun. Akhirnya Reiji memutuskan untuk membuka pintu. Dia tertegun melihat kamarnya yang sudah kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali. Akane sudah pergi ketika dirinya tidur barusan.

Reiji melihat kotak kayu yang digunakan untuk menyimpan belati perak terbuka lebar. Belati itu juga tidak ada di tempatnya. Tidak salah lagi, wanita itu pasti masih ingin balas dendam kepada Atsuki, hingga nekat kabur dari rumah untuk pergi mencari tempat persembunyiannya.

Pemuda itu menoleh ke luar. Salju terlihat masih turun, walau tidak begitu deras tetapi hawa di luar pastilah dingin menusuk. Dia takut Akane kesulitan untuk pulang, ditambah takkan ada lagi bus yang menuju ke desa Furusato setelah jam dua belas.

Tanpa berpikir panjang, Reiji meraih jubah panjang dan segera keluar dari rumah setelah mengunci pintu. Lalu berlari keluar dari desa Furusato menuju ke halte. Dan sesuai dugaannya, tidak ada bus sama sekali yang lewat. Mau tidak mau, dia mengambil jalan nekat: jalan kaki sepanjang Senzu menuju ke pusat kota. Syukur-syukur jika menemukan kendaraan yang bisa memberikan tumpangan.

Mulailah dia berlari sepanjang jalan di Senzu, di tengah kegelapan malam yang dingin. Reiji berusaha sebisa mungkin untuk berhenti sesaat dan mengambil napas, sebelum kembali berlari ke arah kota Moto. Akan memakan banyak waktu agar bisa sampai ke sana. Satu-satunya arah tercepat yang bisa diambil adalah melewati Ajisai Rainbow Line, yang bisa membawanya langsung ke pusat kota.

Reiji hanya berharap tidak ada hal buruk terjadi kepada Akane.

"Kenapa kau masih buta oleh dendammu? Kau tahu jika Atsuki bukan musuh yang bisa kau lawan seorang diri," batinnya sembari terus berlari.

Setelah hampir satu jam berlari, Reiji merasakan tenaganya terkuras habis. Kakinya sudah tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan, sementara dirinya masih di pertigaan Rainbow Line. Sementara kota Moto sudah di depan mata.

Sejak tadi pula firasat buruknya semakin menjadi. Dia khawatir ada hal buruk yang menimpa Akane, dan kemungkinan terburuk jika terlambat menemukannya.

Reiji menguatkan diri. Dia memaksakan kakinya yang pegal untuk tetap berjalan sembari berharap agar bisa bertemu dengan wanita itu.

*

Empat orang tumbang. Satu lagi muncul, dan ikut tumbang.

Tanah di Ueyama yang tadinya tertutup salju putih kini berwarna merah. Ditambah lengkingan tawa sosok bermanik merah itu yang mengiringi tewasnya para yankee. Menertawakan mereka yang mati sia-sia di tangannya.

Salah satu yankee tampak ketakutan melihat sosok bermanik merah dengan seringai di wajahnya. Kimono yang ternodai oleh bercak darah rekan-rekannya yang menjadi korban, dan warna mata semerah darah di tanah dingin berwarna putih.

Akane mencekik yankee itu dengan salah satu tangan. Sementara tangan lainnya memegang belati yang siap menikam jantungnya kapan saja. "Kemana tuanmu?"

[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang