Eleventh Act

6 0 0
                                    

Malam harinya, kamar Akane...

"Bodoh."

Akane berbaring di kasur dan memandangi langit-langit. Tersenyum sendiri setelah mendengar pembicaraan barusan. Ternyata takdir masih berpihak kepadanya. Dia masih memiliki kesempatan untuk membunuh Atsuki dan mengakhiri panggung penghakiman yang telah berjalan selama bertahun-tahun. Dan sebentar lagi adalah klimaksnya.

"Ternyata kau benar-benar terpancing. Kenapa kau repot-repot meladeni seorang wanita tak dikenal yang sebetulnya adalah musuhmu sendiri. Andai saja aku bisa melihat wajah depresi di antara cercaan itu lebih lama lagi. Tidak kusangka dia malah termakan skenario itu. Tentu saja, kelemahannya adalah nafsunya sendiri."

Akane pun bangkit dari kasur. "Setidaknya sekarang aku berhasil bermain dengannya walau kubiarkan bernapas. Rasanya memuaskan juga melihat pria itu merasakan akibat dari kemesumannya," dia pun turun dan berjalan menuju jendela. "Haah... baru seperti ini saja sudah tidak berdaya. Ternyata malah ciut saat dituduh begini."

Wanita itu tersenyum tipis. "Baru babak permulaan saja. Kejutan utamanya sudah kusiapkan, Akizuki Atsuki. Mungkin kau akan menemukan yang lebih parah dari apa yang kau alami tadi siang. Kita lihat seperti apa dirimu saat mengalami penderitaan serupa, sama seperti saat kau menginjak-injak harga diri keluargaku."

"Jadi semua itu memang akal-akalanmu saja."

Akane menoleh. Entah sejak kapan, Reiji sudah bersandar di ambang pintu dengan kedua tangan dilipat di dada. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.

"Sejak kapan kau...,"

"Sejak tadi, aku sedang membawa barang yang harus dipatri ketika mendengarmu berbicara sendirian. Tampaknya ada sesuatu yang membuatmu ingin keluar dan malah bertemu seseorang yang harusnya bisa dilupakan. Aku tidak tahu apa yang mendorongmu, tetapi sebaiknya kau tidak melakukan hal di luar peraturan. Meskipun bebas melakukan apapun semaumu di sini, tetapi hukum tetaplah hukum. Dan itu adalah peraturan absolut."

"Kurasa hukum juga takkan bisa berlaku jika lawanmu—"

"—seorang kriminal yang paling dicari di seluruh Tokyo."

Akane terkejut. "Dari mana kau..."

"Ayolah, siapa yang tidak pernah tahu soal Akizuki Atsuki. Namanya memang tidak terseret karena kasus Hari Kelabu, tetapi informasi tetaplah informasi. Kabar burung sekecil apapun bisa saja melebar jika ada yang membicarakannya. Dan tampaknya aku mendengar hal itu saat pergi mengambil barang yang bisa diperbaiki dan dijual."

"Jadi kau tahu soal dia?"

"Tentu saja. Perintah dari kepala departemen kepolisian adalah kami harus berhati-hati dengan buronan lepas dari Tokyo. Dan semua orang tengah berspekulasi jika dia ada hubungannya dengan peristiwa kebakaran yang terjadi di malam 13 April, tahun 1988. Kau tahu siapa saja yang mati? Para yankee sekaligus tuan dan nyonya mereka, Akizuki Fujii dan Akizuki Kaoruko. Dan yang kau temui barusan adalah putra tunggalnya, Akizuki Atsuki."

"Lalu apa? Urusan tentang kematian mereka bukan urusanku sama sekali. Justru karena kesombongan dan keangkuhan mereka yang membuat dewa kematian memilih untuk menjatuhkan karma kepada mereka."

"Justru ada satu korban selamat dari kejadian itu yang membuatku mempertanyakan kau bersalah atau tidaknya."

Akane tertegun. Reiji kemudian melanjutkan dengan tenang. "Seorang polisi memberitahu jika ada yankee yang sebetulnya berhasil kabur meski keadaannya sudah hampir di ambang kematian. Dia melihat siapa pembunuh malam itu, seorang wanita berkimono merah dan memiliki mata semerah darah yang tertawa mengerikan di atas lautan rekannya. Dia ditemukan oleh seorang polisi dan dibawah ke rumah sakit akibat luka fatal dari tikaman belati, namun tewas setelah memberikan keterangan tersebut. Siapa lagi di pulau ini yang memiliki mata merah, selain kau?"

[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang