First Act

17 1 0
                                    

Divine punishment befall to those who don't atone sins

Shall this stage of vengeance open its curtains


Tokyo, 26 Desember 1982...

Di sebuah pemukiman kumuh, sesosok berbalut mantel biru lusuh berjalan ke arah sebuah perumahan. Sesekali dia meniup kedua tangan dan bersusah payah bertahan di tengah hawa musim dingin yang menusuk. Dia mempercepat langkah menelusuri jalan yang sudah senyap.

Tanpa sengaja seorang pria dengan wajah memerah yang berjalan sempoyongan dengan botol minuman keras di tangan menabrak sosok berjubah itu hingga pria tersebut sempat hampir kehilangan keseimbangan.

Pria mabuk tersebut menoleh ke arahnya dengan wajah kesal. "Oi, bukankah kau seharusnya meminta maaf karena menabrak orang?!" omelnya.

Sosok itu berhenti berjalan. Pria tersebut mendengus. "Kenapa kau tidak mau berbicara, hah?! Kau tidak punya mulut?!" dia menghampiri sosok itu. "Hoo, jadi kau berani untuk melawanku, ya?!" pria itu mengangkat botol kaca dan akan memukulnya, namun sosok tersebut langsung menahan tangannya dengan kuat.

Saat itulah pria itu melihat sekilas pakaian sosok di hadapannya, kimono merah polos. Sosok tersebut ternyata seorang perempuan. Dia langsung menurunkan tangan. "Wah, wah, ternyata yang menabrakku adalah seorang gadis, ya," ujarnya. "Yaahh... maafkan aku soal itu, Nona kecil. Harusnya aku tidak sekasar itu."

Lawan bicaranya hanya diam. "Kau sedang apa malam-malam begini, Manis? Sendirian pula. Kau kabur dari rumah?" tanya pria mabuk itu sambil melingkarkan tangan di bahu gadis tersebut. "Kalau kau sendirian, mau ikut denganku? Kita minum-minum bersama, dan kau boleh ceritakan semua masalahmu denganku. Atau kita sedikit main-main hingga puas, bagaimana?"

Tidak ada respon. Pria itu mengerutkan kening bingung. "Hei, kau kenapa diam saja? Apakah ada masalah? Atau kau—" kalimatnya tiba-tiba terputus ketika dia merasakan sesuatu yang dingin dan tajam merobek perut. Perlahan dan dengan takut-takut, pria tersebut menoleh ke bawah dan melihat sebilah belati menancap kulitnya hingga darah menetes ke tanah bersalju yang dingin.

Sosok gadis berjubah tersebut menarik belatinya dan mendorong pria itu, membiarkannya terjerembap ke tanah dan mengerang kesakitan. Lalu mendekatinya hingga si korban mundur ketakutan.

"S-Siapa kau sebenarnya?! A-A-Apa maumu?!"

Tidak ada respon. Sosok itu menekannya ke tanah, kemudian menaruh belati yang kini berlumuran darah ke bawah leher pria di hadapannya.

"K-K-Kumohon... a-ampuni aku... A-Aku tidak bermaksud melakukannya... s-sungguh... A-Akan kulakukan apa saja...,"

Sosok itu menekan ujung belati tanpa ampun hingga memutus urat nadinya. Pria itu memekik tertahan saat merasakan kepalanya hampir terputus dari tubuh. Sayangnya wilayah kumuh itu cukup terpencil, terlebih ini sudah pukul dua belas malam. Seluruh penduduk sudah tidur dan takkan ada yang mendengar.

Teriakan pria itu perlahan terhenti. Si gadis berjubah berdiri dan membungkus belatinya dengan saputangan. Lalu mendekati korbannya yang masih tergeletak di atas kubangan darah dan menarik beberapa lembar uang sepuluh ribu yen. Digeretnya tubuh korban ke dekat sebuah saluran pembuangan yang masih kering.

Dikeluarkannya sebuah pemantik dan mendekatkan lidah api yang menari-nari di atas pemantik ke tubuh korban. Dalam hitungan detik, jasadnya diselimuti oleh kobaran api dan perlahan membakarnya hingga sekujur tubuhnya menghitam.

Sosok itu tersenyum sinis dan memasukkan kembali pemantiknya ke balik jubah, lalu berjalan meninggalkan jasad yang masih terbakar itu ke arah perumahan kumuh tak jauh di dekat saluran pembuangan tersebut.

[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang