Paginya...
Akane mengambil sisir berwarna merah di laci lalu duduk di depan cermin dan menyisir rambut dengan pelan. Dia memandangi pantulan diri cukup lama. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya memucat.
"Penyakit sialan...," umpatnya.
Kalau saja tidak penyakitan, mungkin mereka tidak perlu mengeluarkan uang banyak sampai harus berutang dan masih bisa menyimpan uang untuk meneruskan hidup. Sang ayah juga takkan kehilangan nyawa di tangan para yankee atau berpikiran untuk berutang kepada keluarga Akizuki. Adiknya juga tidak akan perlu dipinang oleh putra dari keluarga brengsek demi mengganggap lunas utang-utang itu.
Lagipula Atsuki dan keluarganya telah menunjukkan mereka senang bermain dengan nyawa. Dan secara tidak langsung mendoktrin pikiran Akane, mendorongnya untuk menjadi seorang pembunuh karena dendam yang mengakar kuat.
Utang dibayar dengan nyawa, nyawa dibayar dengan nyawa. Itulah yang Akane yakini selama ini.
Tekadnya sudah bulat. Apapun caranya, dia harus bisa menjodohkan Kigiku dan Kuroba agar Atsuki tidak bisa merebut sang adik. Dan itu kesempatannya untuk menghabisi para yankee yang telah lama menjadi pengganggu agar keluarga Akizuki tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Akane memutuskan untuk turun ke lantai satu dan berniat membantu sang ibu di dapur. Ketika melewati ruang tamu, terlihat seorang pemuda dengan kimono mewah yang tengah duduk dekat fireplace sembari merokok dan membuang abunya ke tungku. Tanpa ditanya, dia tahu siapa tamu tidak diundang yang duduk seenak jidat dan merokok di rumah orang.
Sosok tamu tak diundang itu menoleh dan melihat Akane yang ada di ambang pintu. "Wah, wah, lihat siapa yang muncul. Ternyata calon kakak iparku berbaik hati untuk menyambut. Ternyata kau kakak yang baik, ya, Fubukihara Akane."
"Aku tidak ingat pernah menerimamu di rumah ini. Amit-amit memiliki adik ipar sepertimu." Akane menyahut dingin. "Berani juga kau menyebut kakak ipar dengan enteng, Akizuki Atsuki."
"Ehhh, kenapa? Padahal aku berbaik hati untuk berkunjung dan ingin meminang adikmu, agar kalian bisa terbebas dari utang. Tentunya kalian tidak mau jika hidup dikejar-kejar oleh utang, 'kan?" Atsuki tidak mempedulikan tatapan dingin Akane. "Ayolah, terima saja nasibmu. Aku sebentar lagi memang akan menjadi bagian dari keluargamu."
Akane menyemburkan tawa. "Dalam mimpimu. Sampai kapanpun kau takkan bisa mendapatkan hati adikku. Ah, dan kau juga sedikit terlambat untuk bahkan berusaha meminangnya. Sudah ada pemuda yang bersedia untuk menjalani hubungan dengan serius. Kigiku lebih pantas dengan pemuda itu dibandingkan kau."
Atsuki menggeram. "Jadi menurutmu aku tidak serius dengan Kigiku, setelah apa yang kulakukan untuk membuatnya menerimaku? Sampai kau menjodohkannya dengan orang lain?!"
"Menurutmu bagaimana? Kau hanya ingin menikahi adikku agar utang kami lunas, bukan karena kau mencintainya. Mana mungkin aku merestui hubunganmu dengan Kigiku?"
"Akan kubuktikan kepadamu, Fubukihara Akane! Akan kubuktikan jika aku serius menjalani hubungan dengan Kigiku! Camkan itu!" tukas Atsuki dengan keras.
Akane tersenyum sinis. "Silahkan saja," tantangnya. "Lagipula pemuda itu jauh lebih kaya dan bermartabat dibandingkan dengan kau. Sementara kau hanya mau melampiaskan nafsu kotormu kepada Kigiku setelah kalian menikah. Di antara semua pria yang pernah kukenal, kau orang paling hina dan keparat."
Atsuki naik pitam mendengarnya. "Apa katamu?!"
"Telingamu tuli atau bagaimana?! Kau lelaki paling hina yang pernah kutemui. Dasar mesum!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of Vengeance
Misterio / Suspenso"Jauh sebelum skenario kebenaran dan cinta, sebuah panggung balas dendam berwarna merah pernah memainkan kisahnya sendiri" Sang iblis yang senang bermain dengan nyawa orang harus berada di atas panggung yang dimainkan olehnya. Tetapi siapa sangka, j...