Malam hari...
Seorang pria berjalan menghampiri dua orang yankee sembari membawa kantong berisi uang yang dirampasnya dari warga lain di pemukiman itu. Dia menaruh kantong tersebut di atas etalase di depan toko.
"Semua uang dari orang-orang melarat itu sudah terkumpul. Aku yakin Tuan Besar akan senang mendapat uang tambahan dari mereka," katanya.
"Heh, mereka juga tidak akan bisa membayar bunganya. Aku yakin orang-orang itu takkan berdaya kalau kita rampas lagi uang mereka."
"Lagipula Tuan Besar juga licik, menipu hingga belasan juta yen sebagai bunga dari pinjamannya."
Ketiga pria itu tertawa, lalu meneguk botol wine masing-masing setelah puas dengan hasil buruan mereka. Hari sudah semakin malam ketika cahaya bulan mulai meninggi. Para yankee tersebut menikmati wine di depan toko dengan santai dan menghitung jumlah uang yang mereka rampas dari para warga pemukiman yang miskin.
Salah satu yankee kemudian melihat seseorang melewati gang tempat mereka tengah berkumpul saat ini, tampaknya tengah kebingungan. Sosok itu kemudian berlalu sambil merapatkan mantel lusuh yang dikenakannya. Sesekali terlihat menggosokkan kedua tangan karena kedinginan.
"Wah, tampaknya ada harta karun lewat malam-malam barusan," katanya. "Pasti menyenangkan kalau dia bisa diajak minum-minum dengan kita."
"Hampiri saja dia, lalu ajak kemari. Siapa tahu dia bisa menemani kita saat dingin-dingin begini," usul yang satunya.
"Baiklah. Tapi jangan harap dapat jatah lebih, ya."
Yankee tersebut pun menaruh botol wine-nya dan menghampiri sosok dengan mantel tersebut. "Hei, Nona. Kau butuh bantuan?"
Sosok itu menoleh. "Ah, kebetulan sekali. Aku baru saja diusir dari rumah dan sekarang tidak punya tempat tinggal. Aku benar-benar kedinginan," ucapnya dengan nada memelas.
"Hoo, ternyata begitu. Yah, kebetulan aku dan teman-temanku tinggal tidak jauh dari sini. Mungkin kami bisa memberikan tempat tinggal untukmu."
Sosok itu mengangguk. "Silahkan. Aku akan lakukan apa saja, selama kalian bisa memberikan tempat tinggal untukku."
"Apapun?"
"Apapun akan kuberikan. Perhiasan atau uangku, semuanya," sosok itu kemudian memeluk yankee tersebut. "Aku malah senang kalau kau mau mengajakku ke tempatmu."
Yankee tersebut menyeringai. "Baiklah, kalau kau memang bilang begitu. Ayo kita segera kembali ke tempatku. Bahaya sekali untuk seorang wanita dibiarkan kedinginan malam-malam be—"
Kalimat pria itu mendadak terputus ketika sebuah benda tajam menusuk perutnya. Darah menetes mengotori jalanan yang bersalju. Tanpa ampun, belati tersebut ditarik keluar sampai yankee tersebut berteriak, mengagetkan kedua rekannya yang masih berada di depan toko.
Tak berapa lama, kedua yankee lainnya mendatangi gang. Mereka terkejut ketika melihat jasad dari pria barusan yang kini terkapar di di atas kubangan darahnya. Di hadapannya, sosok gadis tadi masih berdiri dengan gemetaran.
"T-Tolong...," pintanya lirih.
"Apa yang terjadi?! Kenapa bisa dia seperti ini?!"
Sosok itu menggeleng. "T-Tadi ada orang yang tiba-tiba muncul dan menikamnya... l-lalu kabur begitu saja...,"
"Sial. Kalau begini caranya, Tuan Besar bisa-bisa marah!" ujar yankee yang membawa uang rampasan tadi. "Ke arah mana dia kabur?!"
"Ke gang sebelah sana...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of Vengeance
Mistero / Thriller"Jauh sebelum skenario kebenaran dan cinta, sebuah panggung balas dendam berwarna merah pernah memainkan kisahnya sendiri" Sang iblis yang senang bermain dengan nyawa orang harus berada di atas panggung yang dimainkan olehnya. Tetapi siapa sangka, j...