Seventh Act

8 0 0
                                    

Setelah Shion lahir, kediaman Hanazuki pun semakin berwarna. Kigiku memberikan perhatian penuh kepada anak pertamanya disela-sela kesibukan untuk masuk ke departemen kepolisian. Biasanya Akane ikut mengurus keponakan pertamanya sepulang bekerja dari kedai ramen, bahkan menemaninya ketika Kigiku dan Kuroba bekerja.

Tahun demi tahun berlalu, Shion menginjak usia tiga tahun. Bicaranya mulai lancar dan kini masuk ke taman bermain. Biasanya tiap sore dia akan ditemani bermain dengan Akane, yang juga ikut mengantarnya ke taman bermain sebelum pergi bekerja. Malamnya, setiap menunggu Kigiku dan Kuroba pulang, anak bermanik merah tersebut selalu minta sang bibi salah satu dari mereka membacakan cerita sebelum tidur. Para pelayan pun terkadang ikut diajak bermain hingga banyak yang menyukai gelagat anak itu.

Sebuah berita mengejutkan datang dari Kigiku. Ternyata dia mengandung lagi, malah ada dua janin sekaligus di dalam perut. Akane sampai terkejut ketika suatu hari mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan dan mengetahui adiknya mengandung dua anak kembar perempuan.

"Kuroba, kau menggunakan santet apa sampai adikku mengandung anak kembar?" tanya Akane.

"Kau bertanya kepadaku, aku tanya ke siapa, neesan? Aku sendiri kaget Kigiku sampai mengandung dua anak sekaligus," jawab Kuroba sambil menghela napas, namun tetap menyunggingkan senyum. "Tampaknya kediaman ini akan tambah hidup dengan keberadaan anak kembar."

Akane ikut tersenyum. "Jadi aku bertambah keponakan, ya. Aku tidak sabar ingin segera melihat mereka lahir."

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa usia kandungan Kigiku sudah hampir sembilan bulan. Sebentar lagi si bayi kembar akan lahir. Kuroba berusaha sebisa mungkin untuk memberikan perhatian penuh kepada istrinya, apalagi dia sudah naik pangkat menjadi inspektur. Akane pun selalu membantu Kigiku meski dirinya lelah setelah bekerja.

Awal bulan April, Akane terlihat melayani pelanggan yang mampir ke restoran kecil tempatnya bekerja. Meski kecil, namun restoran tersebut cukup ramai dan sering dikunjungi, terlebih ketika hari libur atau akhir minggu. Tanpa terasa hari sudah mulai gelap. Pengunjung pun hanya tersisa dua orang wanita yang tengah mengobrol sembari menikmati ramen. Sudah saatnya mereka membersihkan dapur dan segera menutup restoran setelah pengunjung terakhir pulang.

"Hanazuki, kau bisa buang ini ke tong sampah di depan? Besok pagi harus diangkut," pinta si pemilik restoran.

"Baiklah."

Akane menyeret dua kantong sampah dan menaruhnya ke bak sampah. Dia menghela napas panjang setelah menyelesaikan tugasnya. Semakin hari pengunjung restoran mulai semakin banyak, meski tidak sampai membludak. Namun tetap saja rasanya lelah bolak balik melayani pelanggan yang berdatangan, apalagi rata-rata adalah turis dari luar pulau.

Selesai membuang sampah, Akane kembali ke dapur untuk mencuci tangan dan menaruh peralatan masak dan makan yang sudah dicuci. Sembari melakukan tugasnya, dia sempat mendengar pembicaraan yang menarik perhatiannya.

"Eh, pembunuh?"

Akane menoleh ke arah kedua pelanggan yang ada di meja dekat jendela. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu.

"Iya, kudengar pembunuh itu sudah lama berkeliaran di Tokyo. Rumornya, sih, pindah ke pulau ini untuk menguntit keluarga yang jadi targetnya."

"Wah, itu sih sudah parah sekali. Aku takut ada yang jadi target. Memang siapa yang dikuntit oleh pembunuh itu?"

"Katanya keluarga bangsawan yang pindah baru-baru ini. Hanya saja aku tidak tahu yang mana."

Akane tertegun. Dia menajamkan pendengarannya dan diam-diam menguping pembicaraan dari kedua wanita tersebut.

[End] Chrysanthemum & Camellia: Stage of VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang