BAB 2

45 9 5
                                    

Tidak lama setelah bel masuk berbunyi, terdengar pemberitahuan dari perwakilan anggota OSIS, yang menyuruh seluruh murid baru untuk segera menuju ke gedung olahraga. Karena pelaksanaan demo ekskul akan berlangsung di sana.

"Ren, nanti kita duduk di barisan bawah aja, ya?" kata Nanda saat kami berdua tengah berjalan menuju ke gedung olahraga.

Aku menoleh kepadanya. "Kenapa emangnya?" tanyaku.

"Biar deket, hehehe," balas Nanda diakhiri tawa.

Aku hanya geleng-geleng kepala setelah mendengar jawaban temanku. Namun, kalau memang itu yang Nanda inginkan, sepertinya aku akan menurut saja. Jadi ketika kami sampai di sana, Nanda langsung menarikku ke barisan bawah yang sepertinya sudah lumayan penuh oleh murid-murid baru.

"Euhm, Nan, kayaknya udah nggak ada tempat," kataku pelan, ketika melihat Nanda yang tampak mengubah raut wajahnya menjadi kecewa.

"Yah ... padahal tadi masih ada dua kursi, tapi udah ditempatin duluan," balasnya.

"Udah, udah, kita di tengah aja, yuk—masih ada beberapa kursi yang kosong," kataku sambil merangkul pundaknya.

Akhirnya kami berdua mengisi tempat yang masih kosong di barisan ketiga. Dari sini kami juga masih bisa melihat jelas orang-orang yang sekarang tengah bersiap-siap di pinggir lapangan.

"Hei, udah dong, masih cemberut aja," kataku saat melihat Nanda yang belum juga kembali tersenyum. "Ada yang mau lo liat, ya?" tambahku dengan nada meledek.

Tiba-tiba saja raut wajah Nanda berubah, tampak sedikit malu-malu. "Ng-nggak ada," balasnya sambil memalingkan wajah, sedangkan aku hanya tertawa kecil melihatnya.

Beberapa murid berbalutkan jaket OSIS kebanggaan sekolah, sekarang terlihat tengah menelusuri masing-masing barisan. Mereka memberikan lembaran kertas berisikan daftar ekskul yang harus diisi oleh setiap murid baru.

Aku hanya melihat sekilas, merasa ragu—sepertinya aku tidak akan mengikuti ekskul apa-apa. Karena memang aku hanya menjadikan sekolah ini sebagai batu loncatan. Jadi aku berpikir untuk tidak terikat oleh hubungan apa-apa dengan kegiatan sekolah.

"Rencananya, lo mau ikut ekskul apa, nih Ren?" tanya Nanda yang masih belum mengalihkan pandangannya dari kertas di tangannya itu.

"I-itu—"

"Eh liat, deh! Masa, di sini tulisannya setiap siswa itu, wajib ikut satu ekskul." Nanda langsung memotong perkataanku yang bahkan baru terucap sedikit.

Namun, ucapan Nanda justru membuatku terkejut. Aku segera melihat kertas milikku sendiri, menjatuhkan pandangan di bagian pojok bawah kertas itu. 'Setiap murid diharuskan mengikuti satu ekstrakurikuler, berkaitan dengan penambahan nilai'.

Gawat.

Sekarang aku harus bagaimana? Sepertinya aku akan menjebak diriku di dalam satu ekskul. Lebih baik memilih yang mudah untuk bisa ditinggalkan. "Kalau lo sendiri, mau ikut ekskul apa?" tanyaku kepada Nanda.

"Gue sih, tertarik sama yang berbau seni gitu. Mungkin band," balas Nanda.

Aku sedikit takjub setelah mendengarnya. Bila dilihat dari penampilannya, aku juga merasa kalau Nanda sepertinya memiliki bakat di bidang itu. Jika tidak salah menebak, ia pasti pandai menyanyi, atau mungkin pandai dalam bermain alat musik.

"Selamat pagi adik-adik semua!" kata seseorang yang tengah berdiri di tengah-tengah lapangan, remaja perempuan dengan rambut diikat satu, di sebelahnya juga ada remaja laki-laki. Keduanya adalah anggota OSIS—dilihat dari jaket yang dipakainya.

"Pasti udah pada nungguin, ya, pendemoan dari masing-masing ekskul? Dijamin bakal keren-keren banget! Iya kan, Frey?" sambung si cowok.

Keadaan di dalam gedung olahraga itu mulai ramai dengan sahutan murid-murid baru. Mereka sepertinya sangat bersemangat menantikan penampilan para senior, sedangkan aku masih bingung untuk menentukan pilihan soal ekskul yang harus kuikuti.

Sampai-sampai ketika MC memanggil ekskul pertama yang akan tampil, aku belum juga mengangkat wajahku. Barulah ketika tidak sengaja melihat Nanda yang tampak berubah antusias, aku mengalihkan pandanganku kembali ke lapangan. Terlihat beberapa senior sudah berada di sana dengan membawa alat musik masing-masing.

Aku akhirnya tersadar kalau yang akan menjadi penampil pertama adalah ekskul band. Bahkan karena itu, hampir sebagian murid tampak sangat antusias ketika para personel band itu mulai memainkan lagu.

"Fix masuk," kata Nanda seraya menyilang kotak di sebelah tulisan band.

Aku tertawa pelan. "Gue jadi bingung, deh, mau masuk ekskul apa," kataku.

Setelah Nanda menyelesaikan tulisannya, ia menoleh kepadaku. "Lo hobinya apaan? Biasanya, itu kan juga bisa jadi pendorong," tanya Nanda.

"Hmm, sebenernya gue nggak mau ikut ekskul ... tapi karena diwajibin minimal satu, gue mungkin bakal ikut ekskul olahraga," kataku.

Demo ekskul dilanjutkan hingga semua ekskul seni seperti tari-tari tradisional, teater, lukis, dan paduan suara tampil. Setelah itu dilanjutkan dengan penampilan ekstrakurikuler olahraga, seperti basket, futsal, bulu tangkis, dan voli. Namun, beberapa ekskul yang masuk ke lapangan hanya langsung memperkenalkan diri tanpa melakukan permainan.

Aku kembali melihat ke arah lapangan, ketika beberapa senior dengan balutan kostum basket berwarna maroon—laki-laki dan perempuan—baru saja memasuki lapangan. Awalnya aku hanya biasa saja, sampai akhirnya dibuat terkejut ketika melihat salah seorang senior yang baru saja nge-dunk.

"Gila sih, padahal dia nggak tinggi-tinggi banget," kata seseorang di sebelahku, yang jujur, juga aku setujui perkataannya.

Entah kenapa setelah melihat penampilan dari ekskul basket, aku merasa kalau ekskul itu akan menjadi pilihan pertama dan mungkin terakhirku. Kayaknya kalau gue masuk basket, gue juga nggak bakal terikat. Dulu pas SMP, ekskul olahraga juga cuma gitu-gitu aja, batinku.



Secret Admirer SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang