BAB 4

30 7 5
                                    

Ternyata benar tebakanku tadi, tidak berselang lama terdengar pemberitahuan kepada murid yang mendaftar ekstrakurikuler olahraga, untuk berkumpul. Namun, berbeda dengan ekstrakurikuler di bidang seni yang memiliki ruang kegiatan masing-masing. Anggota ekskul olahraga harus rela berbagi dan mengatur jadwal latihan bersama dengan ekskul olahraga yang lainnya.

Seperti misalnya sekarang, saat tadi kakak kelas kami memanggil semua murid kelas sepuluh yang mendaftar ekskul basket untuk berkumpul, terjadi sedikit perdebatan dengan ekskul olahraga lain yang juga ingin mengadakan pertemuan di gedung olahraga.

"Maaf, tapi tadi saya sudah lebih dulu meminta izin dengan pembina olahraga. Ekskul basket yang akan memakai lapangan ini untuk pertemuan pertama," ucap Fero, salah satu senior basket yang memiliki perawakan badan yang cukup tinggi, juga kulit putih, dan rambut yang tampak tertata rapi.

"Nggak bisa gitu, dong Fer. Tadi gue juga udah minta izin sama kesiswaan," bantah remaja laki-laki lainnya, sambil mendorong dada cowok itu dengan tidak bersahabat.

"Eh, eh. Ya bisa santai aja, nggak?! Pake dorong Fero segala." Seseorang yang berdiri di sebelah Fero langsung memajukan langkahnya, tapi langsung ditahan oleh rekannya itu.

Aku yang sekarang tengah berdiri di antara Yogi dan satu anak basket dari kelas lain, hanya bisa melihat perdebatan itu. Hingga seseorang datang untuk melerai keduanya. "Udah, udah. Fer, mendingan kita pindah ke sebelah lapangan outdoor aja. Tadi gue cek belom rame," ucapnya.

Ketika aku melihat seseorang itu, aku seperti teringat sesuatu. Karena aku yakin sekali kalau sebelum ini, aku pernah bertemu dengan cowok itu. Ah iya, dia kan yang tadi rebutan beli minum sama gue, batinku.

"Ish, si Aga, baru dateng," kata laki-laki yang sepertinya teman dari murid bernama Aga itu. "Sekarang mending suruh junior-juniornya pidah tempat, deh," suruh Aga.

Setelah itu, Fero langsung meminta salah satu rekannya untuk membawa para junior pergi dari gedung olahraga. Yogi segara menyadarkanku yang masih terdiam. Aku sepertinya masih memikirkan kehadiran cowok bernama Aga itu.

"Ren, kok bengong? Kita di suruh ke lapangan luar," katanya.

"E-eh, oh gitu?" balasku.

"Iya. Kamu bengong terus, sih," sambung Yogi.

Aku hanya tersenyum malu, lalu mengikuti langkah cowok itu dan rekan-rekan basket yang lainnya. Namun, aku masih sempat menoleh ke belakang, melihat ketiga seniorku, Aga, Fero, dan seorang lain yang masih berdiri berhadapan dengan lawan bicaranya tadi.

"Makan tuh, gedung olahraga," decihnya kesal, kemudian berbalik arah. "Sekarang lo puas-puasin deh, main bola di sini. Selagi bisa." Aga menambahi dengan nada serius.

Saat mereka bertiga sudah berjalan ke arah pintu keluar, aku masih bisa mendengar seseorang berseru, dan sepertinya ucapan itu bukan hanya didengar jelas olehku. "Masih ada aja, ya? Daftar di ekskul yang nggak punya prestasi! Kerjaannya cuma bikin masalah aja!"

Pada saat itu juga, aku melihat salah satu kakak kelasku tengah memasang raut wajah menahan amarah, dengan tangan kanan yang terkepal kuat. Orang itu adalah Aga, senior yang berhasil menarik perhatianku.

<><><>

Posisi duduk untuk para junior dibagi menjadi dua, untuk perempuan dan laki-laki dipisah. Jadi aku sekarang sudah tidak berada di sebelah Yogi lagi. Saat pengarahan dimulai, para senior kembali memperkenalkan diri mereka, juga diikuti dengan kelas dan sedikit harapan mereka untuk para anggota baru.

Namun, aku seperti tidak memerhatikan ketika mereka memperkenalkan diri masing-masing. Mungkin karena saat demo ekskul tadi, aku juga sudah tau nama-nama mereka, atau mungkin ... karena memang ada hal lain yang tengah memenuhi kepalaku saat ini.

"Kamu yang duduk di sebelah Sisca," ucap seseorang.

Awalnya aku tidak sadar untuk siapa kalimat itu diucapkan, tapi karena setelahnya ada yang menyenggol lenganku, aku langsung melihatnya dengan bingung. Gadis itu, Sisca. "Ren, lo disuruh perkenalin diri," ucapnya.

Aku benar-benar kaget, kemudian kembali melihat ke depan. Dengan perasaan sedikit gugup, aku memberanikan diri untuk bersuara. "Perkenalkan, nama saya Rena Gunawan dari kelas X IIS 3—maaf tadi saya melamun, kak," ucapku, terdengar sedikit pelan karena malu.

Astaga ... bisa-bisanya gue bengong di saat seperti ini? Memalukan sekali.

Yang lebih memalukannya lagi. Aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau senior-seniorku di depan sana, sekarang tengah tertawa. Apakah mereka tengah menertawakan kebodohanku? Tentu saja!

"Jadi ... nama lo Rena, ya?" kata Aga. Seniorku itu dalam posisi menyilangkan kedua tangannya di dada, tapi cowok itu juga tengah memasang senyum kepadaku.

Pandangan lurus antara matanya yang masih melihatku, berhasil membuatku seketika jadi salah tingkah. Bukan karena apa, aku hanya takut. Ditambah lagi, ucapan dari senior yang lain, berhasil membuatku terkejut.

"Boleh maju sebentar, nggak?" kata Givan.

Karena tidak mau membuat mereka menunggu, aku memberanikan diriku untuk berdiri, lalu berjalan ke depan di mana para senior basketku tengah berkumpul. Awalnya aku masih bisa melihat mereka satu per satu, sampai akhirnya aku hanya mampu menundukkan wajah saat sudah sampai di depan. Entah kenapa, saat mereka melihatku, rasanya menakutkan sekali.

Ke mana sosok Rena yang percaya diri???

Mungkin ke laut.

"Hai Rena," kata Givan.

"H-hai, Kak," balasku gugup.

"Jadi ... kamu dari tadi beneran ngelamun?" tanyanya pelan, tapi tentu bisa didengar oleh semua anggota basket yang tengah berkumpul di sana.

"I-iya, Kak. Saya bener-bener minta maaf, saya nggak mak—" Sebuah jari yang tiba-tiba berada di depan bibirku, berhasil menghentikan ucapanku.

Aku melihat kedua bolamata yang sekarang tengah memandang ke arahku, dan setelah pandangannya terbalas,orang itu langsung menyingkirkan telunjuknya. "Sorry, gue cuma nggak betah denger lo ngomong baku kayak gitu.Santai aja, kali," kata Aga.

Aku belum juga bersuara. Rasanya masih kaget dengan perlakuan kakak kelasku barusan. Lagipula, apa salahnya berbicara formal seperti itu? Bukankah wajar saja, ditambah lagi aku juga merupakan murid baru di sini. Kalau aku langsung berbicara tidak formal dengan mereka, yang ada aku ingin membuat masalah dengan masa depanku di sekolah ini.

Secret Admirer SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang