Rena tidak pernah menyangka bahwa berusaha biasa saja di depan Aga, akan menjadi sesakit ini. Dia harus berusaha untuk menyembunyikan perasaan sukanya ketika tengah berada di dekat cowok itu. Bahkan Rena harus ikut terlihat baik-baik saja saat melihat Aga berdekatan dengan perempuan lain. Di sini Rena tidak memiliki hak, jadi rasa sakit itu juga adalah wujud dari risiko yang harus dia terima.
Waktu yang membuatnya dewasa. Namun, ketika adegan ini terjadi, Rena hanyalah seorang remaja yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta kepada kakak kelasnya.
Aga yang keadaannya sudah jauh lebih baik, tentu tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sakit. Hal itu membuatnya jadi pusat perhatian ketika pertama kali kembali ke sekolah. Beberapa rekan basketnya juga turut merasa senang karena dirinya sudah terlihat jauh lebih baik.
"Udah, ya. Gue nggak mau ngebahas hal yang udah terjadi. Lagian, nggak ada untungnya juga. Yang ada gue malah ngeri sendiri kalo inget soal itu," kata Aga, kemudian meminum es teh manis yang dibelinya.
"Tau. Udah, sih. Gue juga ngeri, tau, bayanginnya," sambar Ella.
"Iya, deh, iya. Yang penting Aga udah masuk sekolah," timpal Givan seraya merangkul temannya dengan penuh sayang. "Geli, woy," keluh Aga sembari menjauhkan tangan Givan.
Rena saat itu tidak sedang berada di antara mereka, melainkan tengah mengerjakan perintah gurunya untuk mengembalikan buku di perpustakaan. Namun, ketika sudah selesai dengan urusannya, gadis itu merasa sedikit lapar dan berniat untuk membeli sesuatu di kantin.
Tepat beberapa detik setelah gadis itu menginjakkan kakinya di kantin, dia justru mendapati meja basket yang tengah dipenuhi oleh banyak murid. Namun, yang membuatnya tetap melihat ke meja itu, adalah keberadaan Aga yang sekarang tengah mengobrol dengan beberapa murid perempuan. Awalnya Rena bingung karena merasa kalau murid-murid perempuan itu bukan berasal dari ekskul basket, tapi kenapa boleh menempati kursi di sana?
Karena sadar kalau gadis itu sudah diam terlalu lama, Rena memilih untuk mengabaikan pemandangan yang sempat membuat hatinya panas. Murid-murid perempuan itu terlihat sangat perhatian dengan Aga. Hal itu mungkin juga disebabkan karena ini merupakan hari pertama Aga kembali ke sekolah.
Rena memilih untuk membeli siomay. Lalu dia menunggu di salah satu kursi terdekat dari kios siomay itu. Siapa sangka kalau gadis itu tidak bisa menjaga arah pandangannya karena terus mencuri pandang untuk melihat ke tempat seniornya berada.
"Ren? Lo ngeliatin siapa, sih?"
Tubuh gadis itu seketika membeku. Dia sangat terkejut ketika mendengar sebuah pertanyaan yang ditujukan untuknya. Rena menoleh ke sumber suara, yang ternyata adalah Nanda. Gadis itu semakin terkejut dibuatnya.
"N-Nan? Lo ngapain di sini??" tanya Rena.
"Jajan." Nanda tampak menunjukkan bungkusan cilok dan es jerung di tangannya.
"O-oh," balas gadis itu, berharap dia sudah cukup membelokkan pembahasan di antara keduanya.
Namun, Nanda justru menolehkan wajahnya ke arah di mana temannya melihat tadi. "Lo ngeliat ke meja basket? Kenapa nggak disamperin sekalian?" tanyanya.
"A-ah, nggak. Gue lagi nunggu siomay," balas Rena, membuat Nanda mengerutkan kening.
"Tapi kayaknya lo cuma fokus sama sesuatu," ceplos Nanda, "kayak cuma ngeliatin seseorang."
Rena sedikit membulatkan matanya, masih berusaha untuk tidak terlihat gugup. "Perasaan lo aja, kali," katanya.
"Jangan-jangan ...."
"Nanda ... jangan nebak yang aneh-aneh, deh," ingat Rena dengan wajah serius.
"Hahaha," tawa Nanda setelah melihat ekspresi temannya, "ya udah, deh. Terserah lo aja."
Tidak lama setelah itu pesanan siomay Rena selesai. Gadis itu segera memberikan uang pas kepada si penjual. "Udah, nih. Ayo ke kelas," ajak Rena.
"Nggak ke meja basket?" goda Nanda.
Walau Rena ingin menganggap serius ucapan Nanda barusan, tapi dirinya segera berpikir jernih karena merasa kalau sekarang dia sedang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rena justru merasa takut kalau terlalu lama berada di satu area yang sama dengan Aga, dia bisa ketahuan.
"Nggak, deh. Gue laper banget. Plus, cape disuruh bawa buku setumpuk sama Pak Ali," kata Rena dengan nada meyakinkan.
"Ya udah, deh. Ulululu, kasiannya temen aku," sahut Nanda sembari merangkul bahu Rena.
Keadaan kantin yang lumayan ramai, berhasil menutupi keberadaan Rena di sana. Gadis itu sedikit bersyukur karena sepertinya tidak ada anak basket yang melihatnya sehingga perlu untuk memanggilnya bergabung ke meja basket.
***
Hai-hai! Selamat tanggal 27!
Beneran, aku nggak nyangka kalau sekarang aku masih bisa nulis di platform ini!
Padahal 7 tahun yang lalu, aku cuma iseng-iseng doang nulis di sini. Kayak beneran iseng!
Semoga 27 Januari pada tahun-tahun berikutnya, kita masih bisa saling terhubung sebagai teman, ya? Ya. Teman. Kalian adalah temanku terhitung pertama kali aku publish cerita Secret Admirer. Pertama kali mendapatkan vote. Pertama kali membaca komentar kalian.
Terima kasih. Tanpa kalian, mungkin aku udah kehilangan harapan untuk menulis lebih banyak karya. Bahkan beberapa ada yang sudah bisa dipeluk versi cetaknya. Hal itu belasan tahun lalu hanyalah sebuah mimpi, tapi sekarang berhasil kubuat nyata.
So ... ini deleted scene dari cerita Secret Admirer.
Kenapa nggak dimasukin? Karena aku merasa kalau karakter Rena nggak kayak gitu, hehehe. Kesannya dia terlalu genit sama Aga (walau cuma bisa terbaca lewat gestur, bukan ucapan). Itu yang bikin aku kurang buat masukin scene ini di novel. Ditambah lagi Aga, kesannya kayak cowok dingin gimana gitu, hehehe.
Kalau cowok dingin, kalian kan udah tau title itu udah paling cocok dikasih sama anakku yang namanya Julian ;)
Eh tapi, ini tulisannya udah melalui tahap penulisan yang baik, ya. Kalo dulu, mah, jangan ditanya. Tulisannya masih berantakan banget :'D
Jadi, masih perlu deleted scene cerita SA 2 sama SA 3, nggak? Atau ini udah cukup?
Komen di sini, yaaa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer Series
Novela Juvenil[DIMOHON UNTUK FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] . Kalian pernah menyukai seseorang dalam diam? Atau bahkan sampai melabeli diri kalian sebagai Secret Admirer-nya? Mungkin kalau kalian pernah melakukannya, akan memahami bagaimana sulitnya untuk memendam...