"Kapan ya sekolah ini kebakaran..." jawan Shuhua persis niru nada ngomong Nancy.
Hari itu di aula, sebagai formalitas menyambut kelulusan. Aku duduk diantara Nancy dan Shuhua, itu bisa ditebak. Selanjutnya dua kursi ke kanan setelah Shuhua, di barisan depannya, kau bisa tebak disitu siapa. Dia nengok ke belakang, yang bukan ke arahku tapi kemudian matanya melaluiku dan berhenti tepat saat itu.
Aku gak pernah bicara apapun lagi dengan Jeno setelah kami putus. Bukan karena aku marah, atau malu, kurasa cuma gak ada yang perlu dibahas atau dilakukan. Bukan cuma aku yang merasa, Jeno juga kayaknya. Sebab semua yang kulakukan pada akhirnya sama dengan apa yang dia lakukan juga. Simplenya, kami tetap kenal meski gak akrab.
"Eh, kemaren ada kating dm gue, ni cewek kayaknya mau labrak gue, deh. Karena sebelumnya cowoknya ngedm mulu, gak pernah gue ladenin sumpah."
"Kuliah aja belom astaga, udah diincer."
"Bantuin kek, tai jadi temen gak ada gunanya."
Gak mau lama-lama, aku kembali memusatkan pandangan kedepan. Setelah acara selesai, aku keluar aula dan kembali ke kelas sama seperti yang lainnya.
"Hei! Gue ada yang harus disampein!" suara Haechan siang itu sambil angkat kertas. "HEI!"
"IYE."
"APAAA?"
"Jadi ini data kampus yang fix, tolong diisi, sesuai absen disitu ada nomornya estafet ngular aja."
"Hah? Apaan ngular?"
"Kayak ular jalurnya."
"Gak ngerti."
"KAYAK GAME ULAR."
"S GITU JALURNYA."
"Ah dah lah!" Haechan naro kertasnya di meja Renjun yang ada diujung kanan, paling depan.
Kertasnya langsung diisi yang terus mundur ke belakang sampai ke mejaku. Mau ditolak pun, secara refleks mataku baca data seseorang yang aku gak tau kalau dia pilih Universitas yang gak ada disini. Saat itu juga aku angkat kepalaku dan lihat ke tempat duduknya. Lalu muncul pertanyaan,
'Kok gue bisa gak tau?'
Enggak, bukan maksudnya aku harus tau segala sesuatu tentang dia. Namun karena kita sekelas harusnya bisa aja aku tau. Lagian gak heran, gak aneh aku selalu telat untuk tau tentang apapun.
Pulang sekolah lebih cepat hari itu, kedepannya sekolah bisa jadi cuma sebagai formalitas, atau kalau masih mau caper di sekolah juga bisa. Di kelas tinggal beberapa orang saat itu, yang pasti aku, Nancy dan Shuhua masih di kelas. Ada anak-anak lain, termasuk Jeno.
"Jel,"
Aku menoleh, ini pertama kali kudengar dia maggil namaku lagi. Sebab biasanya urusan apapun kalau bisa lewat Nancy atau Shuhua, gak mungkin langsung padaku.
"Beli minum, yuk." ajaknya, dengan nada seolah selama ini kita gak ada apa-apa.
Gak masalah kalau itu yang dia rasa, sebab aku juga. Sesampainya di kantin, aku gak tau sih apa tujuannya tapi kuiyakan. Kangen juga ya ternyata, dikit aja.
"Apa kabar?" tanyanya.
Bibirku kebuka dan keangkat sebelah sudutnya, "Kamu bisa liat tiap hari."
"Luar dalam sama aja emang?"
"Maksudnya?" kutanya lagi.
Dia malah menggeleng, lalu agak menunduk, lalu angkat kepala lagi. Lalu matanya yang mencar kesana-sini dipusatkan padaku lagi.
"Kayaknya kamu udah tau."
"Soal?"
"Aku mau kuliah dimana."
"Oh, baru tadi, waktu isi data."
"Iya, jadi gitu." katanya.
Aku gak jawab apapun, mau dengar dia bilang apa lagi.
"Aku bakal pindah, sekeluarga. Maaf baru kasih tau-"
"Emang anak kelas tau?"
"Tau." jawabnya.
Oh, oke, aku kecewa, dikit. Gak sih, gak perlu.
"Oke." kubilang.
Jeno kelihatan aneh, kayak ada yang dipendam, kayak mau bicara lagi tapi tertahan sesuatu. Alhasil aku juga cuma diam sambil menatapnya lalu nanya,
"Apa?"
Dia terkekeh, "Enggak, cuma pikiran aku aja."
"Apa?"
"Aku pernah mikir kalopun kita gak putus, kita bakal LDR. Aku sih yang gak bisa. Deket aja banyak yang gak nyambung, banyak miss com, apalagi jauh." katanya.
Dua alisku terangkat, aku setuju.
"Tapi 'kan apa yang harusnya selesai, emang harus selesai. Dilanjutin juga ngapain."
Dua kali, aku setuju lagi. Orang lain mungkin bakal berpikir seharusnya aku gak putus dengan Jeno setelah masalahnya selesai, tapi rasanya gak lagi sama. Anggap aja aku cupu dan Jeno juga belum cukup siap buat punya cerita yang harus berjalan lama.
"Jel, makasih ya."
"Buat?"
"Gak tau, semuanya."
Aku mengangguk, "Makasih juga, buat semuanya. Aku seneng banget kenal kamu, Jen." kubilang begitu sebab dua detik sebelumnya tiba-tiba perasaanku jadi hangat dan hancur lagi secara bersamaan, lebay.
Aku lega putus namun sedih juga karena dia gak lagi ada.
"Pulang bareng, yuk?" ajaknya.
Belum kujawab dia ngomong lagi.
"Eh, salah. Kita harus pulang bareng." katanya, pertanyaan diubah jadi pernyataan.
Aku masih aja dibuat heran dengan tingkahnya, kujawab anggukan.
"Oke. Bentar lagi aja, ya? Aku maunya kita pergi berdua dulu tapi gak bisa, aku harus beres-beres barang bantuin Bunda."
Kok dadaku rasanya aneh, ya. Kujawab lagi dengan anggukan. Bisa aja aku menawarkan diri,
'Aku boleh bantuin, gak?'
Tapi, enggak, aku gak mau. Nanti hasilnya aku cuma sakit hati karena Jeno bakal tetep pergi. Kupikir keadaanku selama ini dengan dia yang gak banyak lagi sapa dan bicara udah yang paling benar buat kita berdua.
"Semoga nanti kita ketemu lagi, ya."
Aku mengangguk, "Semoga."
"Kamu kenapa nangis... hm?"
BLUE
officially end bluehanabi
dibawah ini gak usah dijawab. saya udah gak nanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kalo saya nanya gitu jawabnya satu aja, itu pilihan. malah ada yang jawab yang laen juga. bagian ini kayaknya sudah paling akhir, gak ada lagi tambahan.