Shinta membuka matanya yang berat, dia menguap lebar-lebar lalu melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul tiga pagi, saatnya Shinta bangun untuk menunaikan ibadah malamnya.
Gadis itu berbalik ke belakang lantas terkejut bukan main.
"Innalilahi..!" Pekiknya dengan suara tertahan.
Shinta menghela napasnya pelan. Sudah satu Minggu berlalu mereka menikah, tetapi dia masiiiih saja terkejut seperti tadi saat membuka mata dan melihat kehadiran Rama di ranjangnya.
Shinta jadi ingat akan kejadian beberapa hari yang lalu.
Hah.. sejujurnya Shinta malas sekali kalau harus mengingatnya, tapi.. kenapa, kenapa! KENAPA!! Otak MasyaAllah-nya ini selaluuu saja membuatnya overthinking di setiap jengkal waktu yang ia punya.
Jadi, hari itu adalah hari pertama Shinta menyandang gelar seorang istri. Istri dari seorang Ramadhanu Jenggala. Pagi itu tidak seperti biasnya, Shinta terlambat bangun—sebenarnya bukan terlambat juga, sih, karena waktu itu dia terbangun pukul lima pagi.
Shinta yang pada saat itu tiba-tiba panic attack tanpa ada acara bengong-bengongan pasca bangun, Shinta segera berlari memasuki kamar mandi untuk mandi dan berwudhu.
Nah! Di sini poin pentingnya! Shinta yang dari dulu tidak pernah membawa baju ke kamar mandi, dengan pedenya keluar dari sana dengan balutan (kali ini bukan bathrobe tak beradab yang membuatnya serangan jantung semalam) selembar handuk berwarna putih yang melilit tubuhnya.
Dan betapa terkejutnya Shinta tatkala netranya menangkap sesuatu yang membuatnya ingin sekali hilang dari peradaban. Shinta melihat semua orang berada di sana—mamanya, maminya, papinya (papa mertua Shinta), lalu ada om-nya, tante-nya, dan tentu saja ada Rama.
Mereka semua menatap Shinta dengan pandangan membulat. Shinta tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi dia sempat melihat senyum aneh dari mami mertuanya sebelum dia berbalik lagi menuju kamar mandi.
Tapi sangat disayangkan saat hendak berbalik dan berlari kepala Shinta malah menghantam pintu kamar mandi, lalu—ah sudahlah sudah.. Shinta jadi malu sendiri kalau mengingatnya.
Apalagi di bagian saat maminya berkata seperti ini, "aduh.. aduh.. menantu mami.. pagi-pagi udah mandi keramas aja.. aturan jangan dulu atuh, nanti juga bakal keramas lagi."
Ah tolooongg..! Shinta jadi overthinking ini!
Shinta menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyingkirkan ingatan laknat itu dari pikirannya. Sudah cukup! Jangan awali paginya dengan overthinking, sudah! Sudah!
Shinta perlahan menyingkap selimutnya hati-hati, lalu turun dari ranjang. Baru saja mau melangkah tiba-tiba tangannya ditahan oleh sebuah tangan dari seseorang—yang Shinta yakin sekali kalau itu Rama.
"Mau kemana?" Tanya laki-laki itu dengan suara serak khas bangun tidurnya. Matanya perlahan terbuka lalu menatap Shinta.
"Mau wudhu," jawab Shinta.
Rama melihat jam di dinding lalu menatap Shinta lagi. "Tunggu, mas juga mau."
Dan jadilah mereka sholat tahajud berjamaah, walau harus dengan paksaan dulu dari Rama agar Shinta mau. Gadis itu sangat keras kepala, berkata bahwa lebih baik sendiri-sendiri saja, tapi pada akhirnya—setelah diancam macam-macam—Shinta menurut juga.
Shinta menyodorkan tangan kanannya ke arah Rama setalah sholat dan berdoa selesai. Awalnya lelaki itu terlihat bingung dengan apa yang dilakukan Shinta, "minta salim, om."
Seketika Rama tersenyum cerah, laki-laki itu dengan senang hati menyambut tangan Shinta.
Shinta mengecup penuh Hidmat tangan suaminya itu, dan Rama membalasnya dengan mengusap puncak kepala Shinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, You! Come to Me
Roman d'amourShinta tak pernah menyangka akan menikah di usianya yang masih belasan tahun. Oh, bukan! Ini bukan sebuah perjodohan yang direncana, ini lebih merujuk pada ... ah, sejujurnya Shinta sendiri juga bingung menyebutnya apa. Satu bulan pasca kematian aya...