Part 4

394 31 7
                                    

    Rama melirik ke arah gadis di sampingnya, dia terus menatap ke arah jendela samping mobil ketika Rama mengantarnya ke kampus tempat perempuan itu menimba ilmu.

Keadaan di dalam sana begitu hening, tak ada satupun di antara mereka yang berniat membuka percakapan. Gadis itu sendiri entah kenapa seakan-akan menghindarinya, bahkan.. ketika dengan sengaja Rama memperlambat laju mobilnya, dia benar-benar diam tak berkomentar apapun.

Ini aneh. Tak biasanya gadis ceriwis itu mendadak diam seperti ini.

Rama menghentikan laju mobilnya saat mereka telah sampai di depan kampus. Laki-laki itu menoleh ke samping mendapati Shinta tengah melepas sabuk pengamannya. Saat gadis itu hendak turun, dengan segera Rama mencekal pergelangan tangannya.

Shinta menoleh, "ada apa?"

Rama balas menatap Shinta dengan dahi sedikit mengerut dan tatapannya yang berubah tajam. "Harusnya mas yang tanya, kamu kenapa? Kamu diam terus dari kemarin, kalo ditanya jawabnya dikit-dikit, pengen sok cuek kamu?" Cecar Rama. Nada laki-laki itu terlihat kesal saat melihat Shinta membuat tatapannya ke arah depan.

Shinta menghela napasnya pelan, lalu menoleh ke arah Rama. "Nggak apa-apa, kok," jawabnya pelan. Dia segera menundukkan kepalanya, tidak kuat beradu tatap dengan Rama yang menatapnya dengan tatapan intimidasi.

"'kan! 'kan! Kamu selalu aja jawabnya begitu, apa apa, Shinta?" Desak Rama terlihat frustrasi. Cekalan di tangannya makin lama makin menguat, menunjukkan emosi yang dirasakan laki-laki itu.

Shinta diam tak menjawab apa-apa, lidah gadis itu terasa kelu untuk membalas pertanyaan Rama.

Kenapa? Shinta sendiri tidak tahu kenapa, dia sendiri juga bingung dengan apa yang terjadi dengan dirinya. Ditambah dengan wajah Rama yang terlihat tidak mengenakkan, itu benar-benar membuat Shinta takut. Ia terbiasa dengan wajah kesal atau wajah dingin laki-laki itu, tapi tidak dengan wajah penuh intimidasi seperti itu.

Melihat wajah tak nyaman Shinta, membuat Rama menghela napasnya. Hah.. seharusnya dia tidak boleh terlalu gegabah seperti itu, seharusnya dia sadar kalau istrinya itu masihlah anak remaja yang baru menginjak dewasa. Istrinya itu.. pasti tidak nyaman.

"Maaf.."

Gadis itu menoleh menatapnya. "Kenapa minta maaf?"

"Mas udah buat kamu nggak nyaman, ya? Maaf.. mas cuma ngerasa aneh aja ngeliat kamu yang biasanya banyak omong mendadak diem kayak gini, apalagi itu udah dari kemarin," terang Rama, kali ini dengan nadanya yang lebih lembut dari sebelumnya.

Shinta tersenyum tipis menatap Rama. "Nggak apa-apa, salah aku juga kok."

"Kenapa, hm..? Apa karena kata-kata mas kemarin, yang mau buat kamu bunda kuliah?" Tanya Rama.

Dia tidak bisa menahan kekehan gelinya saat melihat kepala Shinta mengangguk-angguk dengan ragu.

"Aku syok."

Rama tidak bisa menahan tawanya saat kalimat penuh keluguan itu keluar dari bibir istrinya, membuatnya gemas sekali. "Mas nggak mungkin melakukannya tanpa persetujuan kamu, Shinta. Mas juga sadar kalo kamu baru aja masuk kuliah, masa langsung mundur?" Hening sebentar sebelum Rama melanjutkannya, "kalaupun ya, kalaupun nih.. kamu hamil, itu ketika kamu sendiri sudah siap, Shinta. Mas nggak segila itu memaksa kamu," jelasnya membuat mata gadis itu membuka, lalu tersenyum penuh kelegaan.

"Aku emang belum siap, maaf.. tapi, yang katanya—"

"Mas emang nggak suka kamu panggil mas 'om', sih, aneh aja dengernya, mas bukan om kamu, tapi suami kamu, sah secara hukum dan agama," paparnya.

Shinta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku akan berusaha." Kini perasaannya jauh lebih baik, tidak merasa kalut lagi seperti kemarin dan tadi, dia merasa hatinya lebih ringan mendengar penuturan Rama. Awalnya, dia sempat mengira kalau Rama serius dengan ucapannya, bagaimanapun juga laki-laki itu 'kan sudah sangat pantas menyandang gelar "Ayah", jadi.. Shinta merasa cukup terbebani dengan itu semua.

Ah.. ternyata..! Suaminya tidak seperti itu. Semoga Rama masih bisa menahannya—doa Shinta dalam hati.

Rama tersenyum kecil, dia mengelus puncak kepala Shinta yang tertutup hijab berwarna abu-abu. "Yaudah, sana masuk kelas sebelum telat," perintahnya.

Shinta menunduk melihat jam di tangannya, sudah pukul 07.50, sepuluh menit lagi masuk kelas. Gadis itu mendongak menatap Rama dengn wajah cemberutnya, dia segera melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Rama.

"Liat, sepuluh menit lagi aku telat," kesalnya.

Rama menepuk puncak kepalanya, "yaudah sana masuk."

"Ishh..!" Walau terlihat kesal, Shinta mengambil tangan Rama untuk diciumnya dengan penuh hormat.

Rama untuk beberapa kalinya merasa tertegun melihat sikap istrinya itu, dia tidak pernah menyangka kalau sebuah ciuman di tangan tanda hormat begitu se-syahdu ini. Hati laki-laki itu bergetar, bahkan ketika istrinya merasa kesal pun dia masih bisa memberi hormatnya.

Shinta mendongak menatap Rama. "Aku masuk dulu, ya? Wassalamu'alaikum, mas.. hati-hati kalo mau ke kantor," ucap Shinta dengan nada yang begitu lembut di dengar.

Rama—ah! jangan ditanya betapa berdebar hatinya. Bahkan saking berdebarnya, sampai Rama tidak yakin kalau Shinta tidak mendengarnya.

Shinta membuka pintu mobil, lalu keluar dari sana, dia berbalik ke arah Rama lalu tersenyum begitu manis. "Semangat kerjanya, mas Rama!" Serunya sembari mengepalkan tangan tanda semangat.

MasyaAllah.. nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Ram?

◻️◻️◻️

Haii!! Setalah beberapa hari nggak up gara-gara gue ada UTS 😌

Doain semoga nilai gue bagus-bagus, ya? Aamiin..

Terima kasih,
Bayyyy

19 Maret 2021

Hei, You! Come to MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang