Part 2

573 39 6
                                    

     Shinta berdecak sebal tatkala netranya menangkap sosok lelaki yang pagi tadi sudah sah menjadi suaminya. Shinta semakin merapatkan selimut ke tubuhnya saat Rama dengan pedenya berjalan melewatinya tanpa mengenakan atasan apapun, alias shirtless. Tolong ingat baik-baik, Rama.. shirtless di depannya.

Rama.. shirtless..

Shirtless..

Shirt—

OH MY GOD!!

Shinta memejamkan matanya rapat-rapat saat melihat Rama—entah sengaja atau tidak—berbalik ke arahnya.

"Om! Iiihh..! Pake dong bajunya, jangan naked gituuu..!" Pekik Shinta dengan wajah yang tertutup oleh selimut hotel.

Rama menaikkan sebelah alisnya dengan raut wajah datar. "Kamu nggak bisa bedain naked sama shirtless, ya?" Tanya Rama dengan intonasinya yang tajam.

"Iiihh..! Tapi tetep ajaa..! Aku 'kan masih kecil, ooomm.. nggak boleh liat gituan."

Rama sekuat tenaga untuk tidak tertawa mendengar rengekan dari istrinya itu. Apa katanya? Masih kecil? Perlukah Rama ingatkan kembali kalau "Si Kecil" itu akan membuatnya jatuh cinta?

Ah.. Rama hampir saja melupakannya. Membuat orang jatuh cinta 'kan keahlian anak kecil, hm.. benar sekali.

"Tapi kamu 'kan sekarang sudah menjadi seorang istri, Shinta," balas Rama.

Dengan perasaan kesal Shinta menyingkap selimutnya dan beradu tatap dengan Rama yang masih anteng berdiri tanpa mengenakan atasan.

"Ih! Om Rama resek!" Dengus Shinta. Kemudian dengan kasar gadis itu turun dari ranjang lalu berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan.

Rama mengelus dadanya sabar. Mau bagaimana lagi? Ini risikonya karena menikahi gadis yang KTP-nya saja baru jadi kemarin.

Tak ingin membuat sisa malamnya menjadi waktu untuk overthinking, Rama segara mengenakan pakaian tidurnya lalu membuka laptopnya lantas mulai bekerja.

Huh, apa itu libur bekerja di hari pernikahan? Kalimat itu sangat tidak cocok dengan dirinya.

Tak berselang lama pintu kamar mandi terbuka, lalu muncullah Shinta dengan balutan bathrobe putih yang menyelimuti tubuh kecilnya. Gadis itu berjalan dengan santai ke arah koper baju yang berada di samping nakas tempat tidur.

Rama terpaku, layar laptop yang menampilkan kurva mengenai kondisi keuangan perusahannya tampak begitu tidak menarik dibandingkan dengan pemandangan indah di depannya. Ini pertama kalinya bagi Rama dapat melihat surai hitam istrinya yang begitu indah selama kurang lebih tiga bulan saling mengenal.

Entah harus bersyukur seperti apa Rama dapat melihat Shinta yang lepas dari baju gamis atau dengan pakaian panjangnya itu.

"Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan, Rama?"

Saat Shinta hendak berjalan kembali ke kamar mandi, Rama menahannya dengan suara bass-nya.

"Mau kemana kamu?"

Shinta melayangkan tatapan bingungnya ke arah Rama.

"Mau ke kamar mandi lah," balasnya dengan intonasi malas.

Tanpa mendengar balasan dari dirinya, Shinta melenggang pergi begitu saja. Namun—sekali lagi, Rama menahannya.

"Kamu nggak berniat melakukan kewajiban kamu sebagai seorang istri, Shinta?"

Pertanyaan itu membuat tubuh Shinta menegang. Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Tubuh Shinta terasa membeku seiring dengan tubuh kekar Rama yang berjalan mendekatinya.

Hei, You! Come to MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang