Pagi di rumah ini memang tidak pernah senyap. Akan selalu ada ramai yang mengisi meski hanya sesederhana kokok ayam tetangga depan rumah, atau nyaring peralatan dapur yang dimainkan Ayah. Seperti bagaimana pagi ini Laksa mendengar suara mangkok plastik yang jatuh dan disusul umpatan Ayah, ia tahu dapurnya sekarang pasti sudah berubah jadi kapal pecah.
Anak itu mendengkus keras, kemudian merapikan rambutnya yang masih setengah basah. Membawa sebagian helainya ke depan untuk menutup memar di dahi tempat kemarin ia jatuh, sebelum akhirnya menyambar ransel hitam lusuhnya dan bergegas menghampiri Ayah.
"Ayah, tuh, lagi bikin sarapan apa ngajak tawuran, sih? Ribut banget perasaan," seru Laksa tepat setelah menutup pintu kamar. Cowok itu melangkah pelan-pelan sembari mengancingkan bajunya yang semula masih berantakan.
Sementara Ayah yang baru selesai menyeduh kopi di dapur segera beralih ke meja makan, menyambut Laksa yang baru datang.
"Jangan salahin Ayah. Salahin aja tangan Ayah yang terlalu glowing, shining, shimmering, splendid ini sampai-sampai mangkok aja minder pas Ayah pegang. Saking mulusnya tangan Ayah, nih."
Laksa menarik kursi di depan Ayah lalu duduk dan meraih satu gelas air putih yang telah lelaki itu siapkan. Tatapannya meremehkan, mencoba menyangkal apa yang Ayah katakan, tetapi lelaki itu hanya memberi senyuman dan menyeruput kopinya pelan-pelan.
"Pengalihan isu. Bilang aja kalau Ayah, tuh, sebenernya emang udah bosen ngurus urusan dapur tiap hari. Makanya kerjaannya jadi nggak ada yang bener." Laksa ikut meminum air putih yang tadi ia sambar begitu saja, berusaha membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba kerontang saat Ayah mulai bertingkah dengan pikiran halunya.
"Kan aku udah bilang, cari istri sana! Biar ada yang belanjain sekaligus masakin tiap hari. Ayah itu ganteng, ya walaupun nggak seganteng aku, sih. Tapi kok betah banget jadi jomblo dari dulu. Heran aku, tuh. Ini Ayah nggak doyan cewek atau emang nggak laku?"
"Sembarangan. Kamu pikir makhluk berjenis kelamin wanita mana yang berani nolak wajah setampan ini? Ayah, tuh, standarnya tinggi. Kalau enggak bisa dapat yang selevel Bae Suzy, mending Ayah ngejomblo sampai mati. Udahlah, selera ecek-ecek kayak kamu nggak akan ngerti. Makan aja, tuh. Udah Ayah buatin telur mata sapi. Agak gosong dikit karena tadi gorengnya terlalu pakai hati."
Fokus Laksa seketika teralih pada piring di hadapannya, menatap telur mata sapi buatan Ayah yang tepiannya sedikit kelebihan warna. Namun, ia memilih untuk tidak berkomentar apa-apa. Tidak ingin membuat Ayah merasa kecewa. Lelaki itu rela bangun pagi-pagi demi membuatkan sarapan, padahal Laksa tahu semalam Ayah baru tidur menjelang dini hari karena batuknya kambuh lagi. Laksa hanya ingin membuat Ayah merasa bahwa usahanya selalu dihargai.
Cowok itu tersenyum tipis kemudian menambahkan nasi ke piringnya, tidak lupa ia mengambilkan untuk Ayah juga.
"Untung aja aku bukan Chef Juna yang kalau ketemu makanan overcooked auto melotot matanya. Jadi aku masih bisa terima masakan Ayah, gimanapun bentuknya. Lagian harga telur juga mahal, kalau cuma gara-gara gosong dikit langsung dibuang, aduh ... kasian si ayam yang udah susah payah ngeluarin ini dari tempatnya."
"Jadi kamu lebih menghargai perjuangan si ayam daripada perjuangan ayah?"
"Kalau bukan karena si ayam, apa telur ini sekarang bisa ada di piring kita?"
"Kalau bukan karena Ayah, apa kamu mau makan telur mentah?"
Mendebat Ayah adalah hal yang menyebalkan, karena Laksa selalu kalah. Cowok itu hanya mendecak kemudian menyendok nasinya dengan cepat, membiarkan Ayah kembali merasa menang setelah membuatnya tertindas. Namun, saat isi piringnya tinggal setengah, ia kembali menatap Ayah. Mencoba mengamati bagaimana lelaki itu meniupi kopinya yang masih mengepulkan uap, sembari merekam garis-garis halus di wajahnya yang tampak pucat. Berusaha membaca apa yang Ayah simpan di balik matanya yang sedikit sembap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
أدب المراهقينHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...