7 | Tentang Kita yang Takut Kehilangan

4.3K 939 788
                                    

Jujur saja, Raja tidak pernah memercayai siapa-siapa selain keluarganya. Hanya Papa, Mama, dan Gara. Lalu setelah Papa tiada, kepercayaan yang semula utuh untuk Mama pun seperti ikut terkikis hingga menyisakan garis tipis saja. Satu-satunya yang ia percaya sekarang hanya Gara.

Maka saat ia memutuskan untuk meninggalkan motornya pada Laksa, ia tidak pernah berpikir bahwa anak itu akan benar-benar mengurus semuanya. Awalnya, ia hanya ingin melihat seberapa jauh anak itu akan bersandiwara. Karena jika benar dugaannya bahwa Laksa tidak pernah tulus membantunya, anak itu pasti akan meninggalkan motornya begitu saja. Atau malah sengaja merusaknya. Yang jelas, Raja yakin sekali Laksa tidak mungkin mau repot-repot mengurus barang milik orang yang bahkan tidak dikenalnya.

Namun, kenyataan seolah mematahkan seluruh pikiran buruk Raja tentang Laksa. Tawa merendahkan yang sempat diam-diam ia gaungkan selama perjalanan menuju bengkel ini pun kini mati seketika. Motor yang ia dapat dari Mama dua tahun lalu itu sekarang ada di depan mata, meraung-raung, seperti sengaja mempermalukan Raja. Menertawakan ia yang sempat begitu angkuh dengan pikiran buruknya.

"Tuh, udah nyala, ya, Mas. Udah nggak ada masalah. Tadi udah saya coba bawa jalan juga, dan semuanya fine."

Suara mekanik muda itu seketika memecah pikiran Raja. Buru-buru cowok itu beralih, meraih dompet dari saku celananya.

"Berapa jadinya?"

"Dua ratus lima puluh. Sekalian ganti oli tadi."

Raja tidak berkomentar dan langsung menyerahkan uang sejumlah yang lelaki itu sebutkan. Sembari mengucap terima kasih singkat kemudian membiarkan lelaki tadi melanjutkan pekerjaan. Helm yang tadi pagi Raja tinggalkan kini juga sudah kembali ia genggam. Seharusnya ia hanya perlu menaiki motornya dan pergi karena hujan sudah tidak selebat saat ia datang.

Tetapi rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tinggal. Ada satu tanda tanya besar yang masih harus ia pecahkan. Untuk itu ia berbalik lagi dan memberanikan diri membuka obrolan.

"Sorry, tapi lo beneran kenal sama orang yang bawa motor ini tadi pagi?"

Lelaki itu refleks berhenti dari kesibukannya dan menatap Raja. Tatapannya menyelidik, tetapi kemudian ia tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Kebetulan dulu dia teman adik saya waktu SMP. Lumayan sering main ke rumah, jadinya saya juga cukup akrab. Tapi waktu tahun ajaran baru, adik saya pindah, ikut sama Neneknya di Bandung. Dari situ saya udah jarang ketemu dia. Makanya saya agak kaget tadi pagi pas dia tiba-tiba dateng ke sini sambil nuntun motor mahal. Saya kira dia habis begal orang."

Lelaki itu kemudian tertawa, sedang Raja masih mencoba mencerna semuanya. Nama Laksa yang hadir menjadi topik utama mereka pun kini seperti bergema, memiliki nyawa, menembus lebih dalam isi kepala Raja.

Sampai ia sendiri yang kemudian membuka suara.

"Dia tinggal di deket sini?"

"Ya ... kira-kira dua kiloan lah dari sini. Enggak deket-deket banget. Dulu waktu adik saya masih suka main ke rumah dia, saya sering jemput ke sana. Pernah sekali saya jalan kaki, dan pegel juga ternyata. Tapi anak itu hebat banget. Ke mana-mana dia jalan kaki. Padahal kebanyakan anak muda jaman sekarang disuruh jalan seratus meter udah kayak disuruh kerja rodi setengah abad."

Tawa lelaki itu terdengar meremehkan. Raja juga bisa melihat bagaimana mata sehitam arang itu merekamnya dalam, seolah menyudutkan. Mungkin, kalimatnya bermakna sindiran. Tetapi bukan itu yang penting sekarang. Semakin dalan nama Laksa dibawa, entah mengapa Raja merasa ada sesuatu yang semakin ingin ia pecahkan.

Tetapi sebelum Raja sempat melanjutkan, lelaki di hadapannya itu lebih dulu melanjutkan.

"Laksa itu beda banget sama anak-anak lain seumurannya. Dia mungkin kekanakan di luar, tapi sebenarnya dia dewasa banget di dalam. Keadaan yang maksa dia jadi dewasa sebelum waktunya. Hidup berdua cuma sama ayahnya, bikin dia punya tanggung jawab besar sama semua hal. Sekarang saya nggak heran kenapa dia mau-maunya bantu bawa motor Mas ke bengkel ini, sementara Masnya sendiri pergi. Itu karena dia emang terbiasa bantu orang lain."

Sebelum Senja Tenggelam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang