Tadi, Laksa masih baik-baik saja. Meski ia datang ke sekolah dengan kepala yang luar biasa berat dan wajah yang terasa panas, ia masih bisa mengikuti pelajaran sampai menjelang istirahat ke-dua. Di dua jam pelajaran pertama ia bahkan masih bisa ikut olahraga walaupun berkali-kali harus menepi karena pandangan yang kabur tiba-tiba. Setelah itu, ia mengikuti pelajaran selanjutnya dengan tubuh yang sudah tidak keruan rasanya.
Namun, kendati begitu, ia benar-benar masih dapat mengikuti semuanya dengan sempurna. Ia masih mencatat seluruh materi yang diberikan, juga mengerjakan tugas ketika diminta. Sampai akhirnya, menjelang menit-menit terakhir pelajaran sebelum bel istirahat ke-dua dibunyikan, ia tidak bisa lagi menangkap suara-suara di sekitar. Hal terakhir yang Laksa tahu adalah saat itu ia sedang duduk di bangkunya, meremas perutnya yang terasa nyeri luar biasa, dan setelah itu ia tidak ingat apa-apa.
Hingga ketika ia berhasil menangkap lagi suara-suara yang sempat menghilang, ternyata ia sudah berada di ranjang dingin ruang kesehatan. Dengan bau minyak kayu putih yang tumpah ruah di udara, juga selimut tipis motif garis-garis yang sepertinya baru dicuci karena rasanya nyaman sekali.
Butuh beberapa menit untuk Laksa akhirnya memahami apa yang terjadi pada dirinya dan menghela napas panjang kemudian. Berusaha mengurangi linu yang masih merambat di kepala, juga rasa tidak nyaman di sekujur badannya. Anak itu meringis ketika tidak sengaja bergerak dan masih merasakan nyeri di perutnya. Sampai kemudian seorang guru penjaga UKS datang dengan satu gelas minuman hangat di tangan. Beliau menghampiri Laksa dengan tatapan khawatir, kemudian bertanya pelan-pelan.
"Laksa, bisa dengar suara Ibu? Ada yang sakit?"
Fokus Laksa seketika tertuju ke sana. Sekuat tenaga ia menjaga suaranya agar tidak bergetar. Sembari diam-diam berharap semoga belum ada satu pun yang menghubungi Ayah dan mengatakan bahwa ia baru saja pingsan di penghujung jam pelajaran.
"Nggak apa-apa, Bu. Udah mendingan, kok."
"Alhamdulillah, kalau gitu. Memang tadi rasanya kayak apa, Nak? Kok enggak langsung ke UKS aja buat istirahat atau minta obat?"
Laksa hanya menurut ketika guru tersebut menuntunnya untuk duduk dan menyodorkan segelas minuman. Bibir pucat anak itu perlahan membentuk satu garis senyuman sembari ia menerima gelas teh yang terasa hangat ketika digenggam.
"Saya kira cuma nggak enak badan biasa aja, dan saya masih bisa tahan. Soalnya biasanya juga gini, Bu."
"Sering kayak gitu?"
"Enggak sering juga, sih. Cuma pernah beberapa kali aja." Laksa mencoba tidak memperpanjang obrolan dan berharap wanita di depannya itu paham. Topik tersebut tidak pernah terasa nyaman untuk dibicarakan. Bahkan kepada Ayah pun Laksa lebih sering diam.
"Ya sudah, minum dulu biar badannya hangat. Tadi udah makan?"
Anak itu mengangguk pelan, meski tadi pagi ia hanya sempat makan beberapa suap nasi dan sepanjang jam istirahat pertama tadi tidak makan apa pun lagi. Selanjutnya, guru wanita dengan kerudung biru muda itu meraih obat di nakas untuk kemudian memberikannya kepada Laksa. Tanpa diperintahkan, anak itu langsung paham apa yang harus ia lakukan. Ia menerima obatnya tanpa bertanya lalu meminumnya tanpa bantahan.
"Makasih, Bu," ucapnya kemudian, sembari menyerahkan kembali gelas minumnya untuk diletakkan.
"Kamu mau istirahat di sini dulu sampai baikan, atau mau diantar pulang?"
Pertanyaan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapat jawaban. Pulang tentu bukan pilihan yang baik untuk sekarang dan untuk itu Laksa menggeleng pelan.
"Izin buat istirahat di sini dulu, ya, Bu? Nanti pulangnya bareng aja sama anak-anak yang lain. Ibu ... belum kasih tau Ayah saya, kan?"
"Belum, kok. Ibu masih ingat pesan kamu waktu itu supaya kalau ada apa-apa jangan langsung hubungi Ayah kamu. Makanya Ibu tunggu kamu sadar dulu. Tapi kalau tadi kamunya enggak bangun-bangun dan kondisi kamu mungkin butuh penanganan yang lebih serius, mau nggak mau Ibu tetap harus hubungi pihak keluarga kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Teen FictionHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...