Raja sudah lupa kapan terakhir kali meja makan di rumahnya dipenuhi tawa. Karena yang ia temukan sekarang hanya nyaring denting piring di antara uap kopi Mama yang meninggi, lalu pecah di udara. Tidak ada sapa untuknya. Kehadiran Raja di sana hanya seperti tiada, tertutup oleh kesibukan Mama dengan ponsel juga lembaran brosur iklan di meja.
Pekerjaan wanita itu memang selalu lebih penting dari segalanya.
Cowok itu menghela napas kasar dan meletakkan sendoknya begitu saja. Nafsu makannya hilang. Menu sarapan yang dijejer sedemikian pun kini tak lagi menggiurkan. Raja sudah cukup kenyang hanya dengan melihat Mama berkali-kali menjawab panggilan telepon sampai melupakan nasi di piringnya yang baru tersentuh sebagian. Bahkan hari libur pun wanita itu tetap tidak bisa lepas dari pekerjaan.
"Okay, baik. Nanti tolong hubungi saya lagi, ya. Saya tunggu kabar baiknya. Terima kasih."
Air di dalam gelas Raja sudah tandas saat Mama akhirnya mengakhiri panggilan. Sejenak cowok itu memperhatikan senyum Mama yang menghilang setelah panggilan dimatikan. Menyisakan tegas di antara garis-garis wajahnya yang tampak tak menua berkat perawatan mahal.
"Makan, Ma. Ngurus kerjaan terus-terusan nggak akan bikin Mama kenyang," ucap Raja kemudian. Ia akhirnya bisa melihat wanita itu mengangkat pandangan dan menatap tepat ke matanya yang tak lagi menyimpan kehangatan.
"Ada project iklan untuk brand baru yang harus selesai minggu depan. Banyak banget yang harus Mama handle. Belum selesai kerjaan yang satu, ini malah bintang iklannya mendadak batalin kerja sama. Pusing Mama."
Raja hanya mendengarkan tanpa menaruh minat di sana. Dunia kerja Mama tidak pernah sedikit pun menarik perhatiannya, dan ia pun tidak pernah ingin tahu apa-apa. Sama seperti bagaimana wanita menolak mendengar cerita tentang apa yang Raja suka. Atau seperti bagaimana ia menghindar setiap kali Raja mulai membahas tentang musik yang membuatnya bahagia. Sekarang, Raja hanya ingin melakukan hal yang sama.
Cowok itu kemudian mendorong piringnya menjauh, merasa sudah cukup dengan sarapan pagi ini. Tetapi alih-alih pergi, ia justru membuka suara kembali.
"Sibuk banget berarti, ya, Mama?"
"Seperti yang kamu lihat. Nggak ada waktu luang. Nggak ada liburan."
"Oh, gitu. Tapi aku baru tau kalau kesibukan bisa ngubah seseorang jadi egois dan cuma mentingin dirinya sendiri."
Di detik itu perhatian Mama sepenuhnya tertuju pada Raja. Ada tatapan tidak suka yang berhasil Raja tangkap melalui bagaimana mata wanita itu menyala. Namun, setelahnya kalimat Mama seperti menarik Raja untuk meluapkan semua yang ditahannya.
"Jangan main sindir-sindiran sama Mama. Kalau ada yang mau kamu sampein, bilang aja."
Bagus. Memang ini yang Raja inginkan. Diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang sebelumnya ia pendam. Setidaknya satu kali saja, Raja ingin menjadi pembangkang. Tidak apa-apa jika setelahnya ia akan semakin direndahkan. Selama ia melakukan semua untuk Gara, maka ia juga akan menerima segala risiko tanpa keberatan.
"Aku nggak sengaja dengar obrolan Mama sama Gara kemarin, dan aku nggak bisa berhenti kepikiran. Aku nggak masalah kalau Mama ngatur hidupku sepenuhnya. Mama setir aku sampai aku sendiri nggak punya hak nentuin apa-apa. Mama bikin aku nggak bisa milih apa yang aku suka, juga nggak bisa mutusin sesuatu buat hidupku sendiri. Aku nggak apa-apa, Ma. Aku terima. Tapi jangan Gara. Anak itu udah banyak ngelewatin hal-hal berat, Mama jangan bikin dia makin tertekan."
Akan tetapi, seharusnya Raja tidak lupa bahwa keputusan Mama tidak pernah mengenal bantahan. Seketika wajah wanita itu menegang. Ia menatap Raja tajam, seolah sedang meneriakkan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Novela JuvenilHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...