Tadi, ketika Laksa memutuskan membawa Gara ke tempat ini, ia tidak memiliki pertimbangan apa-apa selain hanya ingin lari. Bukan hanya untuk Gara, tetapi juga dirinya sendiri. Semua terasa melelahkan akhir-akhir ini, Laksa hanya ingin sejenak bersembunyi.
Namun, saat asap-asap kendaraan menjadi polutan yang mengiringi langkah mereka menjejak tempat ini, lalu gelak tawa terdengar sayup-sayup dari balik jembatan yang kumuh sekali, tujuan Laksa seketika berubah. Ia ingin memperlihatkan sisi kehidupan yang berbeda kepada Gara. Ia ingin menunjukkan padanya bagaimana selama ini semesta bekerja.
Untuk itu, dengan satu kantong plastik besar berisi makanan yang tadi Laksa beli dari hasil merampok dompet Gara, cowok itu berseru sembari mengulas senyumnya.
"Selamat datang di dunia yang sesungguhnya. Dunia yang real, bukan dunia Wattpad, dunia halu, apalagi dunia tipu-tipu."
Di sampingnya, Gara berdecak. Pipinya memerah. Mungkin anak itu lelah karena dari tadi Laksa terus menyeretnya tak tentu arah, dari mulai membeli makanan sampai menyisir trotoar dengan sebungkus es krim yang meleleh terkena panas. Lalu sekarang tersesat di balik jembatan tua yang kotor dan penuh sampah.
"Lo nggak lagi meratapi nasib dan menyesali keputusan lo buat ikut gue tadi, kan?" Seolah bisa membaca isi pikiran Gara, Laksa bertanya tiba-tiba. Membuat anak itu menoleh untuk kemudian mendengkus keras.
"Lo sebenernya mau nunjukkin apaan, sih? Jangan-jangan lo cuma modus minta jajan doang dan sebenernya dari awal lo nggak punya tujuan."
Sepertinya memang benar, Gara sudah kesal. Terbukti melalui bagaimana suaranya meninggi dan tatapannya yang seperti mau menerkam orang. Tetapi Laksa berusaha menanggapi dengan senyuman, kemudian memutar sedikit tubuh Gara untuk melihat apa yang dilihatnya sekarang.
"Liat dulu, tuh. Baru komen. Jangan kebiasaan nyerocos duluan sebelum tau apa-apa, kayak netizen."
Telunjuk Laksa mengarah tepat kepada sekumpulan anak-anak yang sedang tertawa. Seolah hidup mereka sempurna dan di dalamnya hanya ada bahagia. Di detik itu juga Gara mengernyit, tetapi ingatan Laksa justru berkelana. Mencoba membayangkan seperti apa rasanya hidup tanpa harta, juga tanpa keluarga. Tanpa pernah tahu esok akan makan apa dan hidup dengan siapa. Karena seandainya Ayah tidak pernah ada, Laksa mungkin juga akan ada ada di sana, hidup seperti mereka.
"Terus tujuan lo apa? Gue masih nggak paham. Lo bilang mau nunjukkin tempat yang lebih menarik dari sekolah, yang isinya bukan sampah. Tapi dari tadi kita jalan dari depan sana ke sini ketemunya sampah di mana-mana. Serius, gue mending cabut kalau ternyata lo nggak jelas gini."
Suara Gara memecah pikiran Laksa tentang hidupnya. Seketika ia mendecak dan merangkul anak itu untuk kemudian menyeretnya. Anak ini lama-lama lucu juga. Belajar ngelawak dari mana coba?
"Lo lumayan banyak omong hari ini, Gar. Tapi buat sekarang coba mingkem dulu terus ikutin gue tanpa banyak tanya."
Setelahnya Laksa tidak memberi kesempatan Gara bicara. Dengan langkah setengah berlari ia menghampiri anak-anak itu dan membiarkan Gara mengikuti di belakang meski dengan keberatan juga wajah tertekuk sebal.
"Halo ... lagi pada apa, nih? Kakak ganteng boleh gabung enggak?" seru Laksa begitu langkahnya tiba di antara anak-anak jalanan yang sedang duduk beralaskan dedaunan, entah sebelumnya sedang menceritakan apa.
Anak-anak itu tampak terkejut selama beberapa detik, tetapi saat Laksa mengangkat plastik di tangannya, tatap-tatap yang semula waspada itu berubah ceria. Laksa bisa melihat harap yang berpendar melalui bagaimana mata anak-anak itu menatapnya. Seperti mengatakan bahwa mereka kelaparan. Sekarang Laksa juga jadi ikut memperkirakan kapan terakhir kali tangan-tangan berdebu itu menyentuh makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Novela JuvenilHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...