Langit tidak pernah terlihat seteduh ini. Lampu-lampu di sepanjang trotoar yang satu per satu mulai menyala juga tidak pernah terlihat seindah itu saat cahayanya menabrak punggung-punggung kendaraan yang melintas dan sebagian memantul kembali di antara para pejalan kaki. Gara tidak tahu apa yang membuat senja hari itu tampak berbeda selain keberadaan Raja di seberang jalan, sedang membelah kendaraan dengan dua botol minuman dingin di tangan. Tidak ada yang istimewa. Tetapi entah mengapa ia menyukai langit sore ini lebih dari hari-hari biasanya.
Mungkinkah karena ini sore cerah pertama setelah satu minggu sebelumnya hampir selalu diguyur hujan? Atau karena ini adalah sore pertama di mana ia akhirnya bisa pulang tanpa Pak Adi, setelah sekian lama? Sebab, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menempati ruang kosong di bagian belakang motor Raja. Cara Mama membatasi ruang geraknya selama ini benar-benar seperti merenggut hampir seluruh waktu yang ia punya. Dan mungkin, hari ini ia perlu berterimakasih kepada takdir yang membuat wanita itu harus berangkat ke luar kota dengan Pak Adi yang juga harus mengantarnya.
Sehingga di sinilah sekarang ia berada. Di trotoar jalan, berdiri menyandar pada badan motor Raja yang sepuluh menit lalu mesinnya berhenti secara tiba-tiba. Sial sekali. Dari sekian banyak hal yang ia syukuri hari ini, motor butut Raja yang payah itu akhirnya menjadi hal pertama yang ia umpati.
Cowok itu mendengkus kasar, menatap kembali jarak antara ia dan Raja yang kian terpangkas karena pemuda itu akhirnya tiba di seberang jalan tempat ia menunggu sendirian. Satu botol minuman pemuda itu sodorkan dan langsung Gara ambil alih tanpa berkomentar.
"Minum yang banyak. Habis ini lo gue suruh dorong nih motor sampe perempatan depan soalnya."
Kalimat itu terdengar menjengkelkan, ditambah cara Raja bicara yang seolah tanpa beban. Namun, Gara hanya melirik sebentar dan kemudian kembali menenggak minumannya sampai nyaris tandas. Jalanan sudah semakin padat saat ia melempar lagi pandangannya ke depan. Mobil-mobil pribadi merayap, menjadi satu dengan kendaraan-kendaraan roda dua yang mungkin juga sedang memburu waktu untuk pulang. Cowok itu tidak pernah suka keramaian. Lebih dari itu, ia membenci jalanan. Satu-satunya yang ia sukai saat itu hanyalah latar berupa langit kemerahan di kejauhan, dengan matahari yang sudah separuh tenggelam.
"Jual, minta ganti yang baru ke Mama. Motor nyusahin gitu ngapain dipelihara lama-lama?"
"Mulut lo! Ini motor belum ada dua tahun. Lagian biasanya juga enggak gini," sangkal Raja. Pemuda itu kemudian berjongkok di sisi motornya, mengintip ke bawah seolah paham di mana letak permasalahannya. Padahal,sebagai manusia yang paling mengenal Raja di bumi ini, Gara berani bertaruh, orang itu tidak tahu apa-apa.
Menutup kembali botol minumannya, cowok itu berdecak dan kemudian membuka suara.
"Gaya lo kayak ngerti mesin aja."
"Diem lo!"
"Kalau cuma ngeliatin sambil ngelus-elus kabel gitu doang gue juga bisa anjir."
"Berisik lo, ya." Bersamaan dengan itu, Raja bangkit, menyisir rambut hitamnya yang mulai memanjang dengan asal kemudian berkacak pinggang. "Gue nggak setolol itu soal mesin. Ini businya yang minta ganti, tau gue."
"Masa?"
"Iya."
Kali ini Gara diam. Akan tetapi, tatap meremehkan yang ia berikan pada saat itu sepertinya berhasil membakar rasa tidak terima Raja karena wawasannya diragukan.
"Apa? Nggak percaya?"
"Enggak."
Di detik itu juga Gara bisa mendengar Raja berdecak sebelum kemudian tangan pemuda itu bekerja lebih cepat dari yang Gara perkirakan, menjadikan kepalanya sebagai sasaran. Ia yang tidak pernah suka disentuh sembarangan itu pun seketika menghindar, sembari menepis tangan Raja yang masih mengacak-acak rambutnya dengan brutal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Fiksi RemajaHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...