Setelah guru olahraga yang mengajar hari itu berbalik untuk membawa rombongan menuju lapangan tempat pengambilan nilai, Gara juga segera mengambil arah berlawanan. Membawa langkah patah-patahnya menuju tanah lain yang lebih lapang. Kemudian mulai menjalankan perintah yang Pak Hans berikan sebagai hukuman karena pagi ini ia tidak berseragam.
Sial sekali. Semua gara-gara ia yang lupa memasukkan pakaian olahraga ke dalam tasnya tadi pagi.
Satu putaran terlewati dan kini Gara bisa menangkap suara langkah lain di belakang. Awalnya Gara pikir itu bagian dari murid kelasnya yang mungkin ditugaskan melakukan sesuatu di sana, tetapi sampai setengah putaran, langkah di belakang Gara masih belum hilang. Di detik itu juga Gara menoleh untuk memastikan, namun yang ia lihat justru mengejutkan.
"Hai!"
Di sana, Laksa menyapa dengan senyum secerah angkasa kemudian menyejajarkan langkah mereka. Membiarkan alas-alas sepatu keduanya menggema dalam tempo yang sama, seirama, seperti bagaimana udara pagi ini menyisir lapangan senada dengan pergerakan mega di atas kepala. Seperti bagaimana cowok itu pergi begitu saja dan sekarang kembali seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Semua terlihat sama. Datang dan perginya Laksa seperti telah terencana.
Sampai akhirnya Gara tersadar dan berpaling ke depan. Sembari diam-diam menghitung sisa putaran yang harus ia kerjakan.
"Habis ngapain lo sampai harus dijemur di sini juga?" tanya Gara di antara derap langkah mereka. Ia bisa mendengar Laksa tertawa sebelum akhirnya membuka suara.
"Gue lari di sini karena gue emang butuh olahraga. Emangnya lo, dihukum gara-gara nggak bawa seragam olahraga. Jadul banget alasannya."
Lebar langkah mereka masih konstan. Cara Laksa bicara juga masih terdengar gamblang, sama seperti saat pertama kali anak itu datang. Gara tidak melihat beban, atau apa pun yang kemarin menjadi alasan anak itu menghilang. Untuk itu ia mencoba tidak peduli dan menambah kecepatan berlari.
"Heh! Nggak usah pake power larinya, santai aja. Sisa putaran lo masih banyak. Kalau tenaga lo diforsir sekarang, bisa-bisa lo pingsan sebelum hukuman lo kelar."
Tetapi Gara tidak ingin mendengarkan. Ia tetap berlari dan meninggalkan Laksa di belakang. Sampai ia merasa seragamnya ditarik, lalu suara Laksa menyusul tanpa penekanan. Satu hal yang justru membuat Gara kesal.
"Apa, sih?" bentaknya.
"Sorry, buat yang kemarin. Lo luka gara-gara gue."
Panas yang sempat menyala di dada Gara kini padam seketika. Suara Laksa masih terdengar sama ringannya, tetapi kali ini Gara seperti menangkap sinyal berbeda. Kenyataan bahwa anak itu justru meminta maaf lebih dulu ternyata cukup menampar Gara.
"Kenapa jadi lo yang minta maaf?"
"Emang harusnya siapa? Lo? Nggak mungkin, kan? Bahkan walaupun gue nggak salah, tetep gue yang harus minta maaf."
"Kalau emang lo nggak salah, harusnya nggak perlu minta maaf."
Ada makna lain yang dapat Gara tangkap di antara tarikan senyum Laksa. Yang sayangnya tidak mampu ia terjemahkan artinya. Sampai cowok itu kembali membuka suara.
"Gue harus lakuin ini supaya kakak lo berhenti neror gue. Sumpah, dia bikin gue ngerasa jadi pelaku kriminal."
Topik tentang Raja selalu dapat menarik perhatian Gara. Ditambah lagi kali ini nama lelaki itu keluar dari mulut Laksa. Seketika langkah Gara memelan untuk kemudian berhenti, membuat Laksa ikut melakukan hal serupa.
"Kakak gue ngapain lo?"
"Lo nggak liat gimana waktu itu dia teriak di depan muka gue? Dia semarah itu gara-gara lo luka dan mikir kalau gue sengaja bawa lo ke sana. Awalnya gue juga marah. Gue nggak terima. Tapi setelah gue pikir lagi, kayaknya kakak lo bener. Semua salah gue. Waktu itu lo ada di sana gara-gara ngikutin gue, Gar. Jangan lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Ficção AdolescenteHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...